Kamu yang getol mengikuti perkembangan berita pasti sudah kenyang mendengar riuhnya pro-kontra seputar sejumlah pasal kontroversial dalam revisi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai rentan merugikan banyak pihak. Salah satunya adalah pasal tentang aborsi. Seperti dilansir dari laman Kompas, rancangan pasal tersebut dianggap banyak pihak dapat merugikan perempuan korban pemerkosaan dan mereka yang sedang dalam keadaan darurat secara medis karena ancaman pidana yang akan ditanggung jika nekat dilakukan.
Sejumlah pasal-pasal RKUHP seperti 251, 415, 469, 470, dan 471 dinilai berpotensi menjadi pasal karet karena berkemungkinan memidanakan perempuan yang mencoba melakukan aborsi atau meminta tindakan aborsi, tanpa ada pengecualian. Dijelaskan dalam pasal 471 ayat 3 RKUHP tentang Pengguguran Kandungan tersebut, pihak medis yang melakukan aborsi bisa tidak dipidana jika karena indikasi gawat darurat atau korban pemerkosaan, tapi sayangnya tidak dengan perempuan yang menjalani aborsi. Perempuan yang menggugurkan kandungan terancam hukuman paling lama 4 tahun jika RKUHP ini disahkan. Selengkapnya, simak ulasannya dalam Hipwee Young Mom berikut ini ya.
ADVERTISEMENTS
Jika RKUHP berisi pasal Pengguguran Kandungan disahkan, korban pemerkosaan rentan dikriminalisasi jika nekat melakukan aborsi, tanpa pengecualian. RKUHP ini dinilai bertentangan dengan UU Kesehatan yang sudah ada
Dilansir dari laman Fimela, aborsi memang sudah lama dilarang di Indonesia dan hal ini diatur dalam Pasal 75Â Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, dalam pasal 75 ayat kedua ada PENGECUALIAN seperti kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan janin, janin menderita kelainan genetik berat, hingga cacat yang membuat janin sulit untuk bertahan di luar kandungan atau kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma. Dalam pasal 76 pula diterangkan bahwa usia kandungan yang boleh digugurkan adalah maksimal 6 minggu.
Pendiri dan peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Atashendartini Habsjah kepada Fimela, menyebutkan pasal-pasal RKUHP tentang aborsi akan jadi bertentangan dengan UU Kesehatan Pasal 75 dan 76 sebelumnya, yang dinilainya sudah baik. Ditambah lagi, sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) 2016 tentang layanan aborsi khusus korban pemerkosaaan. Pasal kontroversial dalam RKUHP dinilai akan mengabaikan penyediaan layanan aborsi yang aman untuk perempuan, khususnya bagi korban pemerkosaan. Ini nih, yang saat ini jadi polemik di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENTS
Korban pemerkosaan kerap mengalami trauma berat hingga depresi pasca kejadian. Ibu dengan keadaan darurat medis dan nekat melahirkan, harus dihadapkan pada risiko kehilangan nyawa jika perempuan yang aborsi dikriminalisasi
Jika RKUHP disahkan, ada beberapa kemungkinan yang harus dihadapi, seperti pengabaian pada layanan aborsi yang aman bagi perempuan, terutama bagi korban pemerkosaan. Selain itu, praktik aborsi ilegal pun bisa jadi sangat tinggi. Kepada Fimela, Atashendartini mengungkapkan pengesahan RKUHP Pengguguran Kandungan juga akan bertentangan dengan komitmen Presiden di SDG’s (Sustainable Development Goals) soal menurunkan AKI, di mana Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) menyumbang 75 persen angka kematian ibu. Belum lagi risiko Post-partum Depression yang bisa dialami sang ibu, melahirkan dalam kondisi trauma dan guncangan mental hebat.
Bukan cuma risiko kematian, korban pemerkosaan yang mengakses aborsi tidak aman tentu akan merasa kesakitan saat prosedur aborsi ilegal dilakukan. Kalau aborsi tidak berhasil, risikonya adalah kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
ADVERTISEMENTS
Ada beberapa metode yang umumnya dilakukan petugas medis untuk melakukan aborsi untuk alasan kesehatan (jiwa maupun raga). Tapi jangan ditanya deh, risikonya kalau sampai harus melakukan aborsi ilegal, tanpa pengawasan dan prosedur yang tepat
Beberapa risiko yang harus dihadapi lantaran melakukan aborsi ada beberapa, di antaranya berupa pendarahan berat, rusaknya rahim, gangguan sistem reproduksi, mandul, kehamilan ektopik di kehamilan berikutnya, hingga risiko keguguran di kemudian hari. World Health Organization juga menyatakan ada beberapa kategori aborsi yang berbahaya seperti jika dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki keahlian medis yang memadai, fasilitas yang tidak memenuhi syarat kebersihan, hingga peralatan yang tidak sesuai.
Hal ini bisa ditanggulangi dan diminimalisir, jika aborsi dilakukan dengan prosedur yang tepat di bawah pengawasan yang ketat. Ini bakal jadi sulit, kalau pasal karet dalam RKUHP sampai disahkan.
Semoga pihak yang berwenang bisa segera meninjau ulang dengan matang dan mendetail pasal yang mengatur ketentuan bagi para perempuan yang terpaksa harus menjalani pilihan yang teramat sangat berat seperti aborsi. Miris banget kan, sudah dapat musibah terus harus dipidana pula gara-gara ketidakjelasan pasal karet?