Indonesia begitu kaya akan tradisi di tiap daerahnya masing-masing. Pun dengan tradisi turun temurun di tanah Jawa. Untuk mendoakan calon bayi yang berada dalam kandungan, sebagian masyarakat Jawa biasanya ada yang melaksanakan tradisi mapati dan mitoni. Tradisi dan upacara tersebut dilakukan oleh calon ayah dan ibu semata-mata untuk mendoakan yang terbaik bagi anaknya kelak.
Kedua tradisi tersebut dilaksanakan juga untuk mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa atas segala nikmat dan kesehatan yang diberikan. Meski begitu, tradisi upacara Mitoni atau Tujuh Bulanan lebih sering dikenal oleh masyarakat daripada upacara Empat Bulanan atau mapati nih, Moms. Nah jadi apa sebenarnya perbedaan antara keduanya? Ini penjelasannya~
ADVERTISEMENTS
Ini makna di balik tradisi upacara Empat Bulanan Mapati atau Ngupati. Sebagian dari kamu mungkin ada yang kurang familier nih~
Dilansir dari laman warisan budaya Kemdikbud RI, upacara mapati merupakan tradisi asli yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Istilah mapati sendiri diambil dari kata papat yang berarti 4. Lebih dikenal dengan sebutan ngupati, upacara ini diadakan pada saat usia kehamilan telah menginjak bulan keempat. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan saat kandungan berusia 120 hari, roh mulai dimasukkan ke dalam calon bayi. Maka melalui upacara mapati atau ngupati ini dimohonkan agar roh tersebut merupakan roh yang baik.Â
Upacara mapati atau ngupati berupa selamatan kenduri yang umumnya digelar di rumah orang tua ibu calon bayi atau tempat tinggal pasangan suami istri. Isi sesaji selamatan berupa tumpeng nasi megono, jajan pasar, bubur abang putih, dan kupat sumpel. Yang membedakan tradisi ini dari upacara adat kehamilan lainnya yakni terdapat sajian kupat pada kenduri ngupati, kupat dimasukkan ke dalam besek (wadah dari bambu) yang dibawa pulang oleh tamu undangan. Upacara adat ngupati atau mapati ini harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut perhitungan tanggal Jawa, ya Moms…
ADVERTISEMENTS
Nah, tradisi upacara Tujuh Bulanan yaitu mitoni atau tingkepan biasanya dilakukan setelah usia kehamilan melampaui usia 7 bulan dan dianggap sudah melampaui ‘usia-usia kritis’ kehamilan
Kalau tradisi yang satu ini merupakan tradisi dari daerah Provinsi D. I. Yogyakarta, Moms. Namun, melansir Kemdikbud RI, tradisi Tujuh Bulanan mitoni tidak hanya berada di Yogyakarta saja juga ada di Jawa Timur dan Demak, Jawa Tengah. Upacara mitoni atau tingkepan juga dianjurkan sebaiknya diadakan pada hari Rabu atau Sabtu di tanggal ganjil sebelum tanggal 15.Â
ADVERTISEMENTS
Apa saja yang perlu dipersiapkan saat akan mengadakan upacara Tujuh Bulanan atau mitoni?
Berbeda dari mapati, mitoni ini digelar saat usia kehamilan sang ibu sudah 7 bulan. Bayi dalam kandungan yang berusia 7 bulan dianggap sudah melampaui masa kritis, maka perlu dilakukan upacara peringatan yang disebut dengan mitoni. Istilah mitoni sendiri berasal dari bahasa Jawa ‘pitu’ atau tujuh. Unsur-unsur dalam upacara Mitoni selalu berjumlah tujuh, Moms. Inilah yang melambangkan usia bayi dalam kandungan ibu. Perlengkapan upacara mitoni yaitu seperti jenang 7 buah, 7 tumpeng pada bulan kehamilan ketujuh, mengenakan 7 macam motif kain dan yang terakhir adalah disiram dengan air dari 7 sumber yang berbeda.
Sama seperti mapati, tradisi mitoni ini juga dilakukan semata-mata untuk mendoakan kesehatan dan keselamatan sang ibu beserta calon bayi di dalam kandungannya. Tradisi Tujuh Bulanan ini sebenarnya tidak selalu dilakukan dalam bentuk upacara besar, Moms. Bagi sebagian orang, budaya ini juga kerap diselenggarakan dalam bentuk syukuran dengan pengajian dan doa bersama yang mengundang tetangga serta keluarga dekat saja. Terutama di masa pandemi begini, banyak yang lebih memilih acaranya digelar privat dan hanya bersama segelintir kerabat.Â
Apapun tradisi yang ada di Indonesia, ada baiknya kita memaknainya sebagai hal positif untuk ibu dan jabang bayinya, ya!