Sayang, kutulis surat ini bukan untuk menghakimi atau menuntutmu dengan berat hati. Aku hanya memohon kelapangan-dadamu. Aku hanya memohon pengertianmu sedikit saja. Kukira tak ada yang salah dengan permintaanku ini. Tanpa berbelit-belit dan menyita waktumu yang padat, akan kumulai saja suratku ini.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Aku bisa menerima kelebihan dan kekuranganmu, bagaimana kalau kamu juga melakukan hal yang sama?
Bukankah sebagai pendampingmu, aku sudah cukup bisa menerima kelebihan dan kekuranganmu, ya? Bukan, bukan aku mempertanyakan kesetiaan dan menuntut keadilan. Melainkan aku hanya ingin kau tahu, kalau itu menjadi kekuranganmu, maukah kamu menjadikan itu sebagai kelebihanmu? Paling tidak, kelak anak kita akan tahu, bahwa ayahnya seorang yang memiliki kelebihan atas kesehatannya.
ADVERTISEMENTS
Sebenarnya aku tak pernah keberatan atas pilihanmu. Tapi, sekali ini saja, pilihlah untuk kepentingan kita bersama, juga untuk buah hati kita kelak
Sejujurnya, calon imamku, aku tak pernah keberatan atas pilihanmu. Aku tak pernah menuntutmu ini-itu, dalam berbagai hal. Kecuali aku tahu bahwa itu tidak baik untuk dirimu, diriku, dan untuk kita. Sama halnya dengan pilihanmu untuk merokok. Aku juga paham betul bahwa tak mudah untuk menghilangkan kebiasaan, apalagi telah kamu lakukan sejak bertahun-tahun lamanya. Bahkan jauh sebelum kita bertemu. Tapi aku mohon, calon imamku. Tolonglah sekali ini saja, berhentilah untuk merokok. Demi aku, calon istrimu, dan juga calon anak-anak kita.
ADVERTISEMENTS
Bukan sepenuhnya aku tak suka dengan keputusanmu, tapi kesehatanmu dan anak-anak kita nanti yang akan jadi taruhannya
Sayang, aku tak pernah keberatan dengan semua keputusanmu. Bahkan, keputusanmu menunda pernikahan kita setahun lalu. Tapi kali ini, sekali saja, aku mohon. Kenapa tak segera kamu akhiri kebiasaanmu itu? Bukan apa-apa, tapi semua ini demi kesehatanmu sendiri, demi anak-anak kita nantinya. Aku tahu betul, kamu tak akan pernah rela menjadikan calon keluargamu ini sebagai taruhan, bukan? Sebab aku mempunyai kenangan buruk atas kebiasaan ini: kepergian Ayahku.
ADVERTISEMENTS
Kamu adalah lentera penuntunku menuju jalan yang terang, bukan? Aku butuh bukti, bukan sekadar janji
Cewek manapun pasti sejalan dengan pemikiranku. Cewek manapun tentu tak butuh janji-janji manis dari pasangannya. Sama halnya aku. Aku tak butuh janji darimu, aku hanya butuh bukti sebagai penepatan janjimu. Kalau hanya janji, apa yang bisa menjadi jaminannya? Sayang, kamu adalah calon imamku, kamu adalah lentera penuntunku untuk menuju jalan yang lebih terang. Maka, tolonglah untuk memenuhi permintaanku sekali ini saja.
ADVERTISEMENTS
Sayang, bukankah kita sepakat bahwa hubungan yang sehat karena adanya pengertian satu sama lain?
Sayang, sejatinya kita tak perlu membahas soal hubungan kita lagi. Sebab, kita telah mafhum bagaimana hubungan kita seharusnya berjalan. Kita telah melalui banyak hal. Berbagai kenangan telah kita goreskan pada album emosional kita. Timbunan masa telah kita jalani bersama. Langkah kita terlalu dewasa untuk membicarakan masa-masa pacaran seperti remaja di luar sana. Sudah bukan waktunya lagi kita mempertanyakan konsep sebuah hubungan, bukan? Karena kita telah sepakat bahwa hubungan yang baik adalah hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan dan pengertian satu sama lainnya. Bukankah begitu, calon imamku?
Maka, dengan ini kutawarkan padamu. Sekaligus sebagai permintaanku sebelum akhirnya kita melanjutkan hubungan ke pelaminan. Maukah kamu mengakhiri kebiasan merokokmu itu?
Salam cinta,
Calon istrimu