Jauh sebelum keluarga kami saling bertemu untuk menentukan tanggal baik dilangsungkannya pernikahan, kami sudah berkali-kali membicarakan bagaimana nanti aku memakai gaun putih bersandingan dengannya yang memakai jas berwarna abu-abu gelap dan kami saling membagi tawa, menularkan kebahagiaan kepada setiap yang datang. Tak perlu banyak undangan, jadi biar kami saja yang berputar menyalami mereka di sebuah joglo dalam sebuah acara kami yang semi outdoor.
Kami tak akan duduk selama berjam-jam karena memang tak ada pelaminan. Bayangan itu sudah sangat jelas kami bahas berkali-kali, diselingi cubitan kecil karena gemas atau tatapan yang masih seringkali membuatku salah tingkah. Semakin hari, detailnya semakin jelas hingga suatu hari di akhir pekan saat tanggal akhirnya didapat…
ADVERTISEMENTS
Kami sedang duduk memilih desain undangan, ayah dan ibu mulai mengingatkan, apakah bapak yang ini dan ibu yang itu sudah dicatat namanya
Mbak, Bu Sinta sudah dicatat belum? Ibu setiap hari ketemu lo di pasar.
Aku dan calon suamiku sedang duduk berdua di ruang tamu, memilih desain mana yang paling cocok dengan selera kami saat ibu akhirnya menyampaikan pertanyaan tersebut. Nama yang asing, bahkan aku baru mendengarnya. Saat itu kami iyakan saja. Namun, semakin ke sini ayah juga ikut-ikutan, menambah panjang daftar orang asing yang namanya harus ditulis di undangan. Kami sepakat untuk membicarakannya. Menolak beberapa nama agar konsep pernikahan tak keluar jalur, namun hasilnya kami justru bersitegang. Mungkin benar kata orang bahwa saat akan menuju sah, akan timbul berbagai masalah.
ADVERTISEMENTS
Belum selesai dengan orang tua, saat berniat mencari inspirasi lewat media sosial jutru pikiran lain menggangguku
Kulihat teman lama yang juga baru saja menggelar pesta. Banyak unggahan dari orang yang datang yang dikirim kembali melalui fitur story-nya. Kulihat bagaimana ayunya dia, suami yang tak kalah gagahnya dan yang paling mencuri perhatian dekorasi megah di pelaminan mereka. Band pernikahan memainkan musik yang menjadi latar suara unggahan-unggahan tersebut. Membuatku berpikir kembali bahwa menikah hanya sekali, apa tak sebaiknya digelar dengan semeriah ini juga?
ADVERTISEMENTS
Hari-H tiba-tiba datang. Aku dan suamiku yang sudah sah beberapa jam yang lalu akhirnya…duduk di pelaminan
Kuperhatikan banyak wajah asing yang datang. Tapi sesekali kulirik orang tua kami terlihat sumringah saat mereka naik untuk bersalaman. Kuputar lagi pandanganku ke sekitar. Tetap ada obrolan antar tamu, suamiku tetap memakai jas abu-abu gelap di sampingku yang memakai gaun putih. Namun, tamu yang menghampiri kami untuk salaman, kami benar-benar menjadi raja dan ratu seharian. Suasana ini tak asing, kurang lebih sama dengan unggahan teman lamaku yang kulihat kemarin. Lampu-lampu gemerlapan di dalam gedung ini dengan iringan musik dari band yang mengisi.
ADVERTISEMENTS
Walau ada sedikit kecewa karena intimate party yang kami rencanakan dari lama akhirnya tak terlaksana, melihat semua tersenyum sedikit membuatku lega
Segala bayangan tentang teman dekat dan keluarga saja yang datang harus kami ikhlaskan. Pernikahan yang tadinya ingin dibuat intim dan personal menjadi sebuah hajatan yang akhirnya membesar. Tapi kulihat sekali lagi orang tua kami tersenyum, tamu yang datang juga tersenyum, semua orang yang tersenyum membuat kecewaku sedikit menguap.
Setelah seharian mengikuti serangkaian acara yang melelahkan, aku mengecek ponsel dengan notifikasi yang berkali lipat lebih banyak dari biasanya. Banyak orang menandai di Instagram story, banyak pula ucapan selamat memenuhi kotak masukku. Aku hanya mampu senyum, mencoba menghapus keinginan yang sudah terlalui dengan cara berbeda.