Buat kamu cewek atau cowok keturunan Jawa, pasti sudah tak asing lagi dengan istilah Malam Midodareni dalam pernikahan. Apalagi buat kamu yang memiliki orangtua yang masih kental berbudaya Jawa. Midodareni ini merupakan proses upacara pernikahan adat Jawa yang sepertinya telah mengalami sedikit revolusi alias pergeseran, entah itu prosedurnya atau pemaknaannya.
Nah, kali ini Hipwee Wedding akan mengulas tentang fakta seputar Malam Midodareni yang menjadikan calon mempelai wanita sebagai orang paling istimewa di muka bumi. Cekidot!
ADVERTISEMENTS
Menurut mitos Jawa, Midodareni berasal dari legenda Jaka Tarub dan Nawangwulan. Kunjungan Sang Dewi untuk putrinya, Nawangsih yang hendak menikah
Upacara Midodareni ini berasal dari cerita legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Dikisahkan, Nawangwulan adalah seorang bidadari yang turun dari kahyangan ke bumi untuk menjenguk putrinya, Dewi Nawangsih yang akan menikah. Berangkat dari cerita inilah, masyarakat Jawa mulai mengenal Malam Midodareni yang berasal dari kata /widodari/ atau /bidadari/. Artinya, mereka percaya bahwa malam sebelum pernikahan, para bidadari dari kahyangan turun ke bumi dan menyambangi rumah calon pengantin wanita.
ADVERTISEMENTS
Malam Midodareni bisa juga diartikan sebagai pingitan untuk calon pengantin wanita. Malam sebelum prosesi pernikahan esok harinya
Mungkin orang lebih akrab dengan istilah pingit bagi calon pengantin wanita. Ya, karena memang dia hanya diperbolehkan berdiam diri di kamar dengan busana biasa dan rias yang sangat sederhana, setelah sebelumnya melakukan acara siraman. Di malam ini, calon pengantin wanita di kamar dengan ditemani oleh sepupu dan kerabat, biasanya juga ditemani oleh sesepuh yang memberikan wejangan dan gambaran dalam kehidupan setelah berkeluarga nantinya.
ADVERTISEMENTS
Malam midodareni diawali dengan mempelai pria yang datang ke rumah calon istrinya dengan berjalan kaki. Janggolan atau nyantri dengan membawa seserahan
Konon, pada tradisi Jawa, malam Midodareni ini diawali dengan perjalanan calon pengantin pria yang menyambangi kediaman calon pengantin wanita. Tapi, si pria harus berjalan kaki dari tempat tinggalnya bersama walinya, untuk menemui calon mertuanya. Ingat, kedua calon pengantin tak boleh bertemu lho, ya! Satu lagi, calon pengantin pria ini hanya diperbolehkan bertamu hingga teras rumah dan diberi suguhan minum air putih saja.
Nah, setelah itu, calon pengantin pria ini menyerahkan beberapa bingkis seserahan yang berjumlah ganjil, disertai dengan maksud dan tujuannya; menyatakan kemantapan hatinya untuk menikahi wanita pujaannya. Seserahan ini berisi segala keperluan sehari-hari calon pengantin wanita. Simbolis, bahwa si pria ini nantinya dapat menafkahi istrinya ketika sudah berumah tangga.
ADVERTISEMENTS
Setelah melakukan janggolan, kedua orangtua melanjutkan dengan tantingan. Menanyakan kemantapan hati calon mempelai wanita
Baru setelah melakukan jonggolan atau nyantri dengan membawa seserahan, orangtua dari kedua mempelai mengunjungi kamar calon pengantin wanita dengan maksud menanyakan kemantapan hatinya. Apakah sudah siap lahir batin menikah dan menjadi istri untuk calon pengantin prianya. Satu yang unik dari proses ini adalah, cuma ibu dari kedua mempelailah yang boleh masuk ke kamar calon pengantin wanita.
ADVERTISEMENTS
Acara dilanjutkan dengan pemberian wejangan bagi calon pengantin pria, disebut pula Catur Wedha. Empat pedoman dalam bahtera rumah tangga
Setelah kedua calon pengantin setuju dan mantap untuk menghabiskan hari-hari berdua dalam bahtera rumah tangga, maka ibu dari calon pengantin wanita memberikan sepaket wejangan kepada calon menantunya alias Catur Wedha. Empat pedoman hidup dalam berumah tangga ini merupakan sebuah peninggalan berharga dari nenek moyang Jawa ketika dua pasang anak manusia hendak memasuki gerbang pernikahan.
Adapun isinya, antara lain:
1. Hangayomi
Dalam bahasa Jawa, hangayomi berarti mengayomi atau melindungi. Secara arti luas, pria harus melindungi istrinya dengan sepenuh hati, sama halnya orangtua yang melindungi anak-anaknya tanpa pamrih. Hingga istrimu kelak benar-benar merasa aman dan damai.
2. Hangayani
Hangayani berarti menyejahterakan, dalam bahasa Jawa. Sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab kepala keluarga untuk menyejahterakan atau mencukupi segala kebutuhan istrinya, bukan? Karena sebuah ikatan rumah tangga hanya akan kekal ketika kepala keluarga bisa menyejahterakan istrinya.
3. Hangayemi
Pasangan mana yang tak menginginkan kenyamanan dari pasangannya? Hangayemi dalam bahasa Jawa berarti memberikan rasa nyaman. Wejangan ini harus selalu diterapkan sang pengantin pria untuk istrinya nanti. Karena hanya kenyamananlah yang bisa membuat pasangan memiliki segudang cinta tanpa alasan.
4. Hanganthi
Dalam bahasa Jawa, hanganthi berarti menuntun atau memimpin. Pria harus menjadi penuntun atau pemimpin bagi istrinya. Itulah kenapa pria menjadi kepala rumah tangga. Dialah yang nantinya akan menahkodai perjalanan rumah tangga bersama istri dan anak-anaknya.
ADVERTISEMENTS
Wilujengan Majemukan dan penyerahan angsul-angsul menjadi penutup untuk acara Malam Midodareni. Selamat berbesan!
Setelah memberikan wejangan, acara dilanjutkan dengan Wilujengan Majemukan, yang berarti silaturahmi antarkedua pihak keluarga dengan maksud membicarakan kerelaan dan keikhalasan kedua keluarga untuk anak-anaknya menikah. Sebelum pulang, calon pengantin pria mendapatkan angsul-angsul atau oleh-oleh dari calon mertuanya berupa makanan. Sementara calon menantunya memberikan sebuah kancing gelung yang berupa seperangkat busana yang bakal dikenakan calon pengantin wanita nantinya, serta sebuah pusaka atau keris (simbol yang bermakna sebagai alat pelindung bagi keluarganya nanti).
Nah, seperti itulah kurang lebihnya Malam Midodareni yang harus dilakukan oleh pengantin dengan adat Jawa.