Katanya sih, menjadi mahasiswa itu adalah pekerjaan paling gampang dalam hidup! Pastinya perkuliahan itu nggak sekejam masa-masa SMA, dan pastinya tidak sekejam dunia kerja. Tugas kamu cuma menjadi dirimu sendiri dan banyak belajar demi masa depan. Oleh karena itu, permasalahan mahasiswa ya ujung-ujungnya masalah akademis atau percintaan saja. Tapi, hal tersebut ternyata tidak berlaku lho ketika dibandingkan dengan mahasiswa di Bandung akhir-akhir ini.
Akhir-akhir ini masyarakat Bandung sedang diributkan dengan jasa nikah siri di kalangan mahasiwa. Katanya sih, nikah siri itu sah-sah aja untuk menghindari terjadinya zina! Tapi, apa iya pernikahan tersebut sah secara hukum agama maupun negara? Sebelum Hipwee Wedding mengutarakan pendapat kami mengenai isu yang satu ini, coba deh kita paparkan dulu fakta-faktanya!
Jasa nikah siri ramai di Bandung di kalangan mahasiswa. Bahkan viral di sosial media
Sebuah Facebook Page bernama ‘Nikah Siri’ yang kemudian jadi viral menjelaskan bagaimana cara dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan nikah siri. Layaknya semua hal di era teknologi ini, jasa nikah siri di Bandung tersebar melalui media sosial dan SMS. Bahkan cukup dengan biaya Rp. 2.000.000,00, mahasiswa Bandung dapat menikah siri bersama pasangannya. Dengan biaya tersebut pengesahan pernikahan bisa dilakukan. Plus penyedia jasa bisa memberikan surat keterangan pernikahan jika dibutuhkan.
Mulai menghindari zina sampai mencari restu orangtua jadi alasan banyak mahasiswa
Beberapa mahasiswa yang menggunakan jasa nikah siri tersebut berpendapat bahwa lebih baik menikah siri daripada harus berzinah. Meskipun belum lulus kuliah, tampaknya mahasiswa-mahasiswa tersebut rela untuk terikat secara rohani dengan orang lain. Tak hanya itu, beberapa mahasiswa juga menikah siri dikarenakan terganjal orang tua yang tidak merestui hubungan mereka. Ada-ada saja ya!
Kontroversi jasa nikah siri terletak di penyediaan saksi. Mulai dari yang sama sekali tidak dikenal sampai yang bisa LDR-an via telepon
Ini nih fakta yang bikin banyak orang gregetan. Banyak jasa menikah siri di Bandung dilakukan tanpa wali dan saksi yang tepat. Si calon “mempelai” siri cukup membawa syarat-syarat seperti KTP dan KK, sedangkan si penghulu akan menyediakan dua orang saksi dan seorang wali, meskipun tidak berhubungan darah langsung dengan kedua mempelai. Yang banyak diprotes, kadang si pemberi jasa membolehkan adanya wali nikah yang hadir lewat telpon.
Katanya sih, jasa pernikahan siri tersebut tidak menyalahi aturan UU negara Indonesia. Apakah ini benar sepenuhnya?
Menurut para penyedia jasa pernikahan siri tersebut, jasa mereka tidak menyalahi aturan agama. Menurut UU no.1 tahun 1974 dan juga PP no.9 tahun 1975 tentang pernikahan, sebuah pernikahan akan menjadi sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama masing-masing. Dengan acuan tersebut, para pemberi jasa nikah siri tersebut mengklaim bahwa jasa mereka adalah sah secara agamis maupun hukum negara.
Oke, mungkin nikah siri tidak menyalahi aturan negara, tapi apa iya kamu pengen pernikahan sekali seumur hidupmu menjadi tidak spesial?
Pernikahan seharusnya menjadi salah satu momen yang paling spesial dalam hidup seseorang, terutama si cewek. Sekecil-kecilnya dan sesederhananya acara pernikahanmu nantinya, pastinya kamu ingin dikelilingi oleh orang-orang tercintamu termasuk keluarga dan teman-teman. Masa iya sih, kamu mau menikah secara diam-diam dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak atau kurang kamu kenal?
Lagipula, pernikahan tanpa wali nasab itu tidaklah sah menurut syariat Islam. Boro-boro wali nasab, wali hakim pun tak ada!
Dalam hukum Islam, menikah memang hanya bisa sah apabila hadir seorang wali dan dua orang saksi. Meskipun begitu, wali pun wajib berasal dari keluarga pengantin, terutama si cewek. Dalam Islam ada yang namanya wali nasab, atau wali yang berhubungan langsung dengan si pengantin cewek.
لا نِكَاح إِلا بوَلِي وشَاهِدي عَدلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali (pihak wanita) dan dua saksi yang adil (amanah).” (HR. Turmudzi dan lainnya serta dishahihkan Al-Albani)
Wali nasab sendiri ada urutannya, mulai dari ayah pengantin wanita. Jika ayah dari pengantin wanita sudah tiada, wali nasab bisa digantikan dengan kakek, buyut, dan saudara laki-laki antara lain.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya)
Memang sih, ada yang namanya wali hakim, wali yang diutus oleh menteri agama ketika garis wali nasab sudah tidak ada. Tapi tahu nggak sih, pernikahanmu tidak akan sah ketika kamu menikah dengan wali hakim, padahal wali nasabmu masih ada.
Wanita akhirnya jadi pihak yang paling dirugikan. Jika begini kenapa masih mau dilakukan?
Pernikahan itu bukan masalah mengejar birahi, tapi juga masalah menyatukan dua insan dan keluarga. Ketika memutuskan menikah siri harus diakui bahwa wanita akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Mulai dari hak sebagai istri, hak anak, sampai urusan se-remeh Kartu Keluarga sama sekali tidak dilindungi negara.
Sebagai mahasiswa, sebaiknya kamu fokus ke dunia akademismu, bukan malah mikirin yang nggak-nggak!
Sebagai mahasiswa, lebih baik kamu fokus ke studimu dan kegiatan-kegiatan akademis lainnya deh. Tidak ada salahnya kok memiliki pacar, tapi nggak sampai menikah siri juga sih. Kalau memang takut berzina, jawabannya adalah menghindari, bukan menikah siri. Seandainya kamu memang ingin menikah, kenapa nggak lulus dulu saja? Pasti kalau kamu sudah lulus, mendapat restu dari orang tua akan lebih mudah. Atau kalaupun kamu ingin menikah selagi kuliah, apakah nggak sebaiknya dilakukan di rumah dan dengan wali nasab yang sah? Pikirkan kembali kebahagiaan orang tuamu.
Masa-masa kuliah sebaiknya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bisa meningkatkan kualitasmu sebagai seorang manusia. Belajar yang rajin, cari banyak teman, bangunlah jaringan-jaringan sosial dengan mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra, dan perbanyak juga ibadah, tapi bukan ibadah yang “itu” juga.