Bicara tentang kuliner urban ala Jogja, tentunya nggak paripurna bila tak menyebut warung makan penyetan Mas Kobis. Warung sederhana berbentuk bangunan terbuka ini menyediakan berbagai menu penyetan dan geprekan yang selalu marak jadi tujuan perut-perut keroncongan. Mulai dari mahasiswa hingga para pekerja, dan mereka yang berusia muda hingga tua.
Sesuai dengan namanya, selain penyetan dan juga menu geprek yang selalu jadi andalan, tempat ini juga menyediakan menu kubis goreng sebagai lalapan tambahan yang nggak kalah melegenda. Tapi siapa yang nyangka sih kalau ternyata tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan dari pagi hingga malam hari ini dulu awalnya berdiri sebagai warung makan rames, dan ada fakta-fakta lainnya.
Patut dicatat, warung makan Mas Kobis bukan warung yang baru saja berdiri lantas mendadak jadi salah satu tempat makan idola bagi para warga Jogja. Prosesnya panjang, cuy. Tempat ini bahkan sudah ada sejak sebelum zaman reformasi lo, kita simak yuk gimana perjalanan mereka!
ADVERTISEMENTS
Nama Mas Kobis sendiri ternyata diperoleh dari nama panggilan pemiliknya
Bukan hal yang aneh bahwa orang Jawa selalu memiliki nama julukan yang diberikan oleh teman-teman dekatnya. Begitu pula dengan nama Mas Kobis, meskipun saya tak berkesempatan langsung untuk bertemu dengan orang yang kerap dipanggil “Si Bos” oleh para karyawannya ini, akhirnya saya mengetahui bahwa nama itu didapatkan dari orang-orang di sekitarnya. Julukan tersebut melekat lantaran ia sering membeli kobis dalam jumlah yang banyak untuk dijual sebagai lalapan di warung makannya
ADVERTISEMENTS
Dulunya Penyetan Mas Kobis ini merupakan warung makan rames dan letaknya berpindah-pindah
Kawasan Demangan yang saat ini merupakan resto PKL Mrican adalah titik awal perjuangan Mas Kobis pada tahun 90an lalu. Mulanya ia berjualan nasi rames. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah ke sekitaran kampus UNY, tepatnya berada di salah satu pos ronda bagian timur Fakultas Teknik UNY.
Pada akhir tahun 2015, mereka akhirnya pindah lagi ke sebelah utara pos ronda tersebut setelah direlokasi oleh pihak kampus UNY karena terkait aturan baru bahwa dilarang berjualan di areal kampus. Warung sederhana yang berada di sisi timur Fakultas Teknik UNY inilah yang akhirnya menjadi pusat dari lebih 40 cabang di Sleman.
ADVERTISEMENTS
Menu penyetan dan juga geprekan bukan merupakan konsep awal Mas Kobis, melainkan karena permintaan para pembeli
“Dulunya ya emang nggak pernah kepikiran untuk bikin menu tempe penyet lah, ayam geprek lah atau apapun itu kayak sekarang ini. Tapi karena malah pelanggan mintanya ini-ini terus, dan kebetulan yang laku banget juga emang menu yang sekarang jadi yang dipertahanin ya ini”
Mulanya saya berpikir bahwa warung makan yang menjadi salah satu tempat makan idola para mahasiswa Jogja ini sejak awal memang memiliki menu andalan penyetan dan juga geprekan. Namun ternyata dugaan saya salah, setelah mengobrol dengan salah satu karyawan setianya, menu penyet dan juga geprek ini lahir dan bertahan justru karena permintaan pelanggannya sendiri.
ADVERTISEMENTS
Apakah kamu tahu kalau kubis goreng adalah menu tambahan yang dijual terpisah dengan makanan utamanya?
Selain hargannya yang murah dan cocok untuk kantong mahasiswa banget, ayam geprek dan kubis goreng adalah sepasang menu andalan di tempat ini. Namun satu hal yang rupanya hampir tak diketahui oleh para pelanggan baru Mas Kobis, ternyata menu kubis goreng ini merupakan menu terpisah dari makanan lainnya. Saya sendiri pun sempat berpikir bahwa menu apapun yang dibeli di warung ini secara otomatis akan mendapat kubis goreng sebagai tambahannya.
Apapun, harga untuk seluruh varian makanan yang ada bisa dibilang cocok untuk sobat misqueen dengan standar UMK Jogja seperti saya. Untuk menu tambahan seperti kubis, tempe, tahu, dan juga terong biasanya dipasang harga sekitar 2 ribu hingga 5 ribu rupiah. Sedangkan untuk menu utama seperti nasi dengan telur atau ayam, satu porsinya sekitar 12 ribu hingga 15 ribu rupiah.
ADVERTISEMENTS
Berdiri lebih dari 40 gerai di Sleman saja (udah kayak minimarket~), ternyata warung makan Mas Kubis ini adalah bisnis keluarga
Pertanyaan saya tentang menjamurnya Mas Kobis di berbagai tempat di Kabupaten Sleman ini akhirnya terjawab dengan lengkap. Mas Kobis selaku pemilik utama dari bisnis ini ternyata menerapkan sistem franchise namun terbatas hanya untuk keluarga besarnya saja. Dan satu orang anggota keluarga besarnya bisa memiliki lebih dari dua cabang kios.
Jejaring lokasinya memang masih berada di dalam kabupaten Sleman. Meski begitu, mereka pandai memilih tempat yang benar-benar strategis untuk mendirikan kios. Buktinya, rata-rata mereka bisa mendapat omset 3-5 juta setiap harinya.
ADVERTISEMENTS
Di balik pro kontra impak kubis goreng bagi kesehatan, mereka tetap memperhatikan kebersihan dan kelayakan atas apa yang dijual kepada konsumen
“Apa yang kita jual ke konsumen kalau prinsip kita ya harus bisa kita makan juga. Yakali kita jual makanan ke banyak orang tapi kita sendiri nggak mau makan, kan nggak fair itu namanya”
Meskipun kubis goreng bagi sebagian orang merupakan olahan makanan yang kurang sehat karena mengandung banyak gas dan juga minyak, tapi pihak warung makan Mas Kobis tak lupa untuk memperhatikan kebersihan. Terlebih untuk urusan minyak, mereka segera mengganti dengan yang baru jika minyak yang digunakan telah berubah warnanya.
Dan, bagi saya pribadi, kubis goreng seharusnya memang menjadi salah satu makanan khas Jogja setelah Gudeg, mohon jangan didebatkan.