Tren wisata yang telah berubah hari ini diprediksi akan memengaruhi cara orang berlibur pasca pandemi nanti. Bisa dibilang, virtual tour dan staycation akan tetap jadi pilihan sekalipun pandemi usai. Pertimbangannya bisa jadi bukan lagi protokol kesehatan, melainkan karena sudah menemukan keseruan.
Nah, selain virtual tour dan staycation, slow tourism adalah tren wisata yang diprediksi akan makin digandrungi wisatawan nantinya. Buat yang belum tahu apa itu slow tourism, yuk simak penjelasannya.
ADVERTISEMENTS
Slow tourism dapat membuat wisatawan menikmati liburan tanpa harus diburu-buru waktu
Slow tourism atau juga dikenal dengan istilah slow travel, adalah melakukan perjalanan wisata dengan tidak terburu-buru dan lebih santai. Sederhananya, slow tourism dapat membuat wisatawan lebih menikmati liburan, karena nggak perlu mengejar target seperti harus mengunjungi semua destinasi wisata di sebuah daerah.
Sebagai contoh, alih-alih menghabiskan waktu seminggu di Lombok dengan menyambangi semua gili yang ada, slow tourism menawarkan konsep wisata yang lebih dinamis, di mana kamu bisa betul-betul menikmati hari libur tanpa diburu-buru target yang seringkali mengurangi keseruan liburan.
Akademisi dan peneliti dari James Cook University Australia, Hera Oktadiana mengatakan slow tourism nggak akan membuat wisatawan stres sebagaimana mass tourism, fenomena wisata yang disebabkan kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi. Dengan slow tourism pertimbangan mengunjungi satu destinasi bisa jadi bukan lagi karena viral dan lain sebagainya.
“Orang kalau jalan-jalan seminggu ke suatu destinasi, dari pagi hingga sore harus sudah berkunjung, foto-foto, selesai. Jadi mengejar target,” kata Hera dikutip dari Kompas, Rabu (27/1).
Meski begitu, slow tourism punya satu “kelemahan”, yakni wisatawan nggak bisa mengunjungi destinasi wisata sebanyak yang ditawarkan paket-paket perjalanan. Kendati demikian, Hera mengatakan dengan slow tourism wisatawan dapat lebih santai dan menikmati liburannya dengan lebih memahami destinasi yang dituju.
“Wisatawan bisa menikmati hari libur mereka, karena lebih mengetahui destinasi yang dituju. Jadi lebih banyak waktu untuk melihat-lihat dan melakukan kegiatan wisata,” imbuhnya.
Hera juga mengatakan Bali yang kini terkenal over-tourism karena mengusung mass tourism, akan mengalami perubahan menjadi non-tourism. Maksud dari non-tourism adalah terjadi pergeseran kebiasaan wisatawan, dari yang semula mass tourism menjadi slow tourism.
ADVERTISEMENTS
Slow tourism berkaitan erat dengan praktik berkelanjutan
Nggak cuma dapat menghindari wisatawan dari stres, slow tourism biasanya juga dikaitkan dengan praktik berkelanjutan. Melansir Tourism Teacher, hal tersebut karena wisatawan ketika menerapkan slow tourism secara nggak langsung mempertimbangkan dampak perjalanan terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi.
Dengan kata lain, slow tourism bisa pula dimaknai untuk segala perjalanan liburan yang mempertimbangkan aspek berkelanjutan. Misalnya dengan memilih tinggal di homestay alih-alih hotel mewah, atau menggunakan kendaraan ramah lingkungan alih-alih transportasi seperti pesawat.
Dijelaskan pula bahwa dalam slow tourism, wisatawan diajak untuk lebih intens dengan komunitas lokal dengan cara berjalan-jalan alih-alih berburu destinasi viral, menyambangi museum, atau menjajal aktraksi yang kurang terkenal di sebuah daerah. Buat penggemar segala hal yang underrated, konsep ini cocok kayaknya~
Nah, slow tourism sebenarnya bisa dilakukan lewat beragam jenis wisata. Tapi yang populer adalah backpacking, road trip, perjalanan bisnis, volunteer tourism, mudik atau mengunjungi saudara, hiking, bersepada atau kegiatan aktif lainnya.
Selain mempunyai dampak positif dalam praktik berkelanjutan, slow tourism juga mendorong dampak sosial yang positif dari pariwisata. Di antaranya wisatawan bisa mempelajari lebih dalam tentang budaya lokal dan memiliki pengalaman liburan yang otentik, hingga menyemarakkan perekonomian di masyarakat.