Sejak tahun 2011 lalu, Suriah, negeri di Timur Tengah yang berbatasan dengan Turki, Libanon, Israel, dan Yordania, dilanda kecamuk perang saudara. Perang ini telah memakan setidaknya 251.000 korban jiwa, serta menghancurkan tempat tinggal lebih dari 4 juta warga sipilnya. Bulan Februari 2014 lalu, kamu mungkin pernah melihat foto ini dimuat di berbagai media massa:
Dalam foto di atas, belasan ribu pengungsi di Kamp Pengungsian Yarmouk, Suriah, sedang mengantri bantuan makanan dari PBB. Antriannya masih berlanjut ke sudut yang tak tertangkap kamera. Tanpa PBB, banyak pengungsi yang akan mengais-ngais makanan di jalanan, dengan risiko tewas tertembak oleh mereka yang memegang senjata. Itu hanya secuil dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Suriah saat ini.
Perang Suriah tak hanya membawa petaka bagi manusianya. Global Heritage Fund melaporkan, konflik tersebut telah merusak keenam Situs Warisan Dunia di negara tersebut — bersama dengan ribuan kuil-kuil yang lebih kecil, makam-makam bersejarah, serta situs-situs warisan arkeologinya. Ini adalah hal yang tragis: tidak ada di dunia ini yang menandingi kekayaan dan kompleksitas budaya Suriah. Selama ribuan tahun, negeri itu menjadi tuan rumah untuk berbagai macam bangsa: Babilonia, Asiria, Het, Yunani, Romawi, Sasania, Persia, dan tentu saja, bangsa Arab.
Namun Suriah tak selalu berdarah. Saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri betapa negeri itu pernah elok dan damai. Dan dalam artikel ini, saya akan menceritakan pengalaman saya.
Perjalanan Yang Tak Disengaja
Lawatan saya ke Suriah terjadi 7 tahun yang lalu, ketika saya masih berada di bangku SMA. Saya pergi bersama teman-teman dari sekolah yang sama. Wajar, karena lawatan ini sebenarnya adalah bagian dari program perjalanan sekolah saya.
Suriah sebenarnya tidak ada dalam rencana perjalanan kami. Tujuan utama perjalanan kami adalah Yordania dan Mekah. Di Yordania, kami ditugaskan mempraktikkan kemampuan berbahasa Arab serta menampilkan kebudayaan Indonesia. Sementara di Mekah, kami seharusnya beribadah umrah. Sayang, karena satu dan lain hal rencana umrah kami batal. Untuk menggantikannya, guru kami memiliki ide membawa kami ke Suriah — yang memang bertetangga dengan Yordania.
Ketika tahu bahwa kunjungan kami ke Mekah akan diganti dengan Suriah, saya langsung kecewa. Di pikiran saya ketika itu, Suriah tidak akan beda jauh dengan Yordania: gersang, berdebu, panas, dengan pemandu wisata yang sedikit angkuh.
Pikiran saya salah. Ternyata, di Suriah saya akan menyaksikan hal-hal yang pada akhirnya membuka mata saya.
Perjalanan dari Yordania ke Suriah kami tempuh dengan bus. Pemandu wisata kami adalah orang Suriah asli, dan dia memandu kami dengan sangat ramah. Tak hanya itu, dia juga bisa berkelakar. Dia bercerita pada kami bahwa dia pernah mengerjai serombongan wisatawan mancanegara. Dia berkata pada rombongan yang dipandunya itu bahwa bus mereka tidak bisa pergi ke Suriah, dan harus berbelok kanan menuju Irak! Spontan seluruh anggota rombongan panik. Si pemandu wisata hanya tertawa, sebelum menjelaskan bahwa dia bercanda.
Sebelum memasuki Suriah, rombongan kami harus diperiksa di gerbang imigrasi dulu. Lama sekali waktu yang diperlukan untuk mengantri. Setelah giliran kami tiba, serombongan pria berseragam militer memasuki bus kami sambil membawa senapan laras panjang. Paspor kami diperiksa satu persatu. Kami yang masih SMA pun hanya bisa melongo dan berdoa.
Syukurlah, pemeriksaan berjalan lancar. Bus kami masuk ke Suriah, meskipun ketika kami datang hari sudah dijemput malam. Pemandangan dari kaca bus pun tidak begitu jelas: yang saya lihat hanyalah hamparan bukit demi bukit yang dihiasi kerlip-kerlip lampu. Pemandu kami menjelaskan bahwa padatnya pemukiman urban di Suriah membuat pengembangan pemukiman mulai dialihkan ke daerah perbukitan. Ternyata, hotel tempat kami menginap pun berada di daerah perbukitan tersebut.
Pagi harinya kami berangkat menuju Damaskus. Saat itulah kami kaget: ternyata negeri ini asri sekali. Sepanjang jalan, mata kami disejukkan dengan pemandangan pepohonan yang tumbuh subur. Dari sini, semangat kami untuk menjelajah negeri ini pun mulai muncul.
Menyaksikan Peninggalan Sejarah Islam di Makam Saladin, Masjid Umayyad, dan Masjid Sayyidah Ruqayya
Tujuan pertama kami adalah makam Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, yang masyhur karena berhasil merebut Yerusalem pada tahun 1187 dari tentara Perang Salib Eropa.
Makam ini terletak di bagian utara Masjid Umayyad, tempat suci keempat menurut umat Islam. Di kawasan yang sama pun ternyata terdapat makam Bilal bin Rabah, seorang Muslim kulit hitam dan pengumandang adzan pertama dalam sejarah Islam.
Untuk memasuki kawasan makam dan makam Salahuddin tersebut, wisatawan wanita diharuskan memakai baju terusan dan kerudung, sedangkan yang pria tidak diperbolehkan memakai celana pendek. Namun pihak pengelola sudah menyediakan jubah panjang bertudung, yang bisa dipinjam secara gratis oleh wisatawan.
Makam Sultan Salahuddin tidak besar, bahkan termasuk sederhana untuk figur seperti beliau. Bagian pusaranya diselimuti kain berwarna hijau dengan motif tulisan ayat Quran berwarna emas. Di sampingnya, terdapat peti kosong dari marmer yang merupakan hibah dari Kaisar Jerman Wilhelm II — yang uniknya juga membiayai renovasi makam tersebut pada tahun 1898.
Menjelang siang, kami dibawa ke Masjid Umayyad untuk sholat dzuhur. Baru kali ini saya melihat masjid seindah itu. Dinding-dindingnya dihiasi oleh ornamen mosaik berwarna emas. Tidak heran apabila masjid ini dinobatkan sebagai masjid tercantik di Suriah.
Masjid Umayyad awalnya adalah katedral yang dibangun oleh bangsa Romawi untuk menghormati Yohanes Pembaptis (John the Baptist), sepupu dan pembaptis Yesus. Katedral tersebut dialihfungsikan sebagai masjid setelah pada tahun 634, Damaskus ditaklukkan oleh pasukan Muslim yang dipimpin Khalid bin Abdul Walid. Walaupun bangunan ini beralihfungsi, bentuk khas katedralnya tetap dipertahankan. Wisatawan yang tidak beragama Islam pun akan diizinkan masuk ke dalam.
Ada suatu peristiwa di masjid ini yang masih saya kenang hingga sekarang.
Waktu itu kami baru selesai sholat dzuhur, dan saya mengobrol santai dengan seorang teman di teras masjid. Melihat kami duduk-duduk, 2 orang anak perempuan mendekati kami dan menanyakan nama serta asal kami. Mereka menggunakan bahasa Inggris bercampur Arab. Kami pun berusaha menjawab dengan bahasa Arab yang patah-patah.
Dengan antusias, kedua anak itu lalu menunjukkan sebuah mainan yang baru mereka beli. Ukuran mainan itu kecil, dan muat di kantong baju mereka. Mereka bilang mainan tersebut akan selalu mereka bawa kemana-mana.
Sambil menunjukkan cara kerja mainan tersebut, mereka menunjuk ibu mereka, yang sedang duduk-duduk bersama temannya di bagian teras yang tak jauh dari kami.
Setelah meninggalkan Masjid Umayyad, rombongan kami dibawa menuju Masjid Sayyidah Ruqayya. Lokasi kedua masjid tersebut berdekatan.
Masjid Sayyidah Ruqayya dibangun untuk menghormati Ruqayyah binti Husayn, cicit dari Nabi Muhammad SAW yang meninggal sebagai tawanan perang dalam Pertempuran Karbala. Dinding masjid tersebut tak kalah indah dari Masjid Umayyad, ditempeli mosaik dari potongan cermin yang berkilau.
Di dalam masjid ini terdapat makam Ruqayyah sendiri. Saat saya berkunjung kesana, makam ini masih menyedot massa peziarah. Ritual yang dilakukan oleh para peziarah tersebut adalah berdoa, kemudian mengelilingi makam sambil berusaha merengkuh pagar dan menangis sebagai tanda kesedihan mereka atas tragedi yang menimpa anak cucu Ali bin Abi Thalib di Karbala. Setelah itu, mereka akan memasukkan uang dari celah pagar makam.
Tenggelam Dalam Keriuhan Souq Al-Hamidiyah
Ketika hari menjelang petang, pemandu kami membawa rombongan ke pasar (souq) Al-Hamidiyah, yang terletak di bagian dalam dinding kota tua Damaskus. Al-Hamidiyyah merupakan pasar terbesar dan terlengkap di Suriah.
Barang-barang yang dijual di pasar ini sangat beragam. Tak hanya itu, para pedagangnya pun relatif ramah. Seorang pedagang bahkan mengajak teman saya bercanda ketika teman saya itu menawar barang dengan harga terlalu rendah. Sang pedagang bisa saja memarahi atau memasang muka kesal, namun beliau memilih tertawa.
Suriah sangat terkenal dengan cokelat dan kudapan manisnya. Di pasar itu, kami menemukan banyak kudapan tradisional, permen, serta cokelat merek lokal yang bisa dibeli dalam bentuk kemasan atau ons. Saking populernya cokelat di Suriah, saya sampai menemukan pasta gigi rasa cokelat dari merek Close Up ketika mampir ke super market di kota Aleppo.
“Dia presiden kami.”
Ketika kami melewati dinding kota tua Damaskus, saya melihat sebuah billboard dengan gambar seorang pria yang sedang menyunggingkan senyum.
“Dia presiden kami!” kata sang pemandu sambil tersenyum. “Dia baru saja terpilih lagi menjadi presiden.”
Saya yang waktu itu belum mengerti soal politik langsung berpikiran bahwa presiden itu pasti dicintai rakyatnya. Siapa sangka bahwa orang yang sama akan mendapat perlawanan dari rakyatnya sendiri 4 tahun kemudian?
Suriah Yang Sekarang
Dipicu gerakan demokratisasi Arab Spring, pada pertengahan Maret 2011 warga Suriah berbondong-bondong menuntut mundur Presiden Bashar Al-Assad. Presiden Bashar telah memerintah negeri itu sejak tahun 2000, setelah mewarisi tahta kekuasaannya dari sang ayah Hafez Al-Assad. Gelombang protes ini mulai memakan korban jiwa setelah Bashar Al-Assad mengirim Tentara Nasional Suriah untuk menyerang para demonstran. Puluhan ribu tentara kemudian melakukan desersi: menolak menyerang masyarakat sipil dan kemudian membentuk kelompok perlawanan bernama Free Syrian Army (FSA).
Namun konflik Suriah lebih pelik dari dikotomi negara versus rakyat. Ini karena rakyat Suriah sendiri terbagi menjadi beberapa “faksi”. Ada yang berharap Al-Assad tetap menjadi presiden, karena percaya bahwa dia bisa lebih diandalkan untuk memelihara multikulturalisme di negeri itu. Ada yang ingin Al-Assad mundur supaya Suriah bisa menjadi negara demokratis yang sekuler. Namun, ada pula yang berharap Suriah menjadi negara Islam.
Tak cukup sampai disitu, kini masyarakat Suriah juga menghadapi teror dari gerakan Islamic State of Iraq and Sham (ISIS). ISIS berkuasa terutama di bagian timur negeri ini. Di wilayah kekuasaannya, ISIS memaksa warga Suriah yang tidak beragama Islam untuk memeluk Islam, dan tidak segan mengeksekusi warga yang melanggar interpretasi ISIS terhadap hukum syariah. Selain itu, ISIS juga merusak makam-makam bersejarah di Suriah dengan alasan menghindari syirik.
Tidak ada yang tahu kapan Suriah akan kembali damai. Ide dari negara Barat untuk melakukan intervensi kemanusiaan mendapat banyak tentangan, bahkan oleh masyarakat negara Barat sendiri. Hingga kini, Bashar Al-Assad masih tegak memegang kendali, sementara FSA dan berbagai kelompok perlawanan lainnya tak henti menggempur pertahanan negara. Di tengah-tengah kemelut ini, nyawa jutaan manusia menjadi taruhan.
Yang Tersisa Dari Kenangan Saya
Saya tidak bisa memadamkan ingatan tentang Suriah dari kepala saya. Apakah pemandu wisata kami yang jenaka itu masih berkesempatan untuk mengerjai wisatawan mancanegara yang lain? Bagaimana dengan 2 anak perempuan yang mengajak saya mengobrol di Masjid Umayyad? Masihkah mereka menyimpan mainannya di kantong baju mereka? Apakah ibu mereka selamat? Bagaimana dengan adik-adik atau sepupu mereka, jika mereka punya?
Dari ribuan orang yang saya lihat, dan belasan yang saya ajak bicara tahun 2007 lalu, berapa di antaranya yang sudah menjadi korban jiwa?