Dear Mantan Kekasih,
Masih ingatkah kamu saat pertama kali kita bertemu. Aku jatuh cinta padamu saat kita mendaki Mahameru. Kulihat langkah kakimu yang menembus pasir berdebu. Kusaksikan deru nafasmu memburu ketika puncak sudah di depanmu. Wajahmu memerah penuh haru saat menjemput puncak dengan syahdu. Kemudian kamu bersujud penuh rindu. Rindu mencumbu Puncak Mahameru.
Ingatkah kamu saat kita akhirnya menjadi satu, bersama dalam perjalanan cinta yang tiada habisnya. Kita senantiasa bersama membangun rencana, pun juga tak lupa untuk merealisasikannya. Kuajak kau ke Nusa Penida, kau merayu untuk pergi ke Flores penuh manja. Pernah kubawa kau ke Ayutthaya, dirimu memintaku untuk mendaki Annapurna. Ya, meskipun permintaan yang terakhir belum terlaksana. Benakku selalu dalam mengingatnya.
Sayang,
Aku bukan ingin membawa perasaan tentang masa lalu kita. Diriku hanya ingin membangun perasaan yang dulu sempat membesar tak terkira. Ehm, kalau mengingatmu, aku teringat mimpi-mimpi indah yang pernah kita rajut bersama. Angan-angan seru yang dulunya kian menggebu.
Kamu ingat kan, kita berjanji untuk melintasi Tembok China dari ujung ke ujung selepas menikah kan? Ingat kan? Oh iya, kamu juga bilang ingin berbulan madu di Pantai Ora. Bahkan nama anak kita juga sudah kita sepakati, jika lelaki Mahameru kalau perempuan ya Rinjani.
Dear kamu yang sempat singgah di hati,
Impian bersama kita tiba-tiba musnah tanpa angin tiada hujan. Kamu bilang bahwa hubungan ini tak bisa diteruskan. Entah karena apa, aku pun tak tahu mengapa. Masih hangat obrolan kita bulan lalu untuk menikah di tahun ini. Jadi sebuah resolusi hari untuk saling menghalalkan cinta ini. Namun, hatiku yang sedang membumbung tinggi kamu jatuhkan bertubi-tubi begitu saja. Meninggalkanku yang sudah tak berdaya menahan lara.
Oke, sekarang kondisinya sudah berbeda. Minggu depan, pernikahanmu akan dihelat sesuai rencana. Terbersit dalam pikiranku untuk hadir membatalkan hajatan yang sudah kamu rancang sempurna. Hatiku sempat tak rela. Ikhlas bukan sebuah sikap yang mudah dilakukan seringan kata-katanya.
Cerita perjalanan kita berdua tak akan pernah terlupa hingga menutup mata. Indah, bahagia, suka dan duka berpadu menyisakan luka teramat menyiksa. Kini kamu akan segera dipunya seorang pria. Itu, bukan aku. Bukan aku yang sempat merajut masa depan denganmu. Bukan aku yang dulu kau impikan jadi ayah anak-anakmu. Bukan aku, sayangnya bukan aku…
Sebagai manusia yang sempat dicuri perasaannya, aku tak kuasa meneteskan air mata. Mencoba sadar bahwa tak baik menggenggam terlalu lama. Mengambil hikmah bahwa perjalanan bersama sejauh apapun tak menjamin apa-apa. Kini, muara air mataku telah mengering. Berganti samudera maaf yang mengalir dalam dada.
Aku ikhlas, Sayang…
Aku masih akan tetap mencintaimu. Kalaupun tidak bisa memilikimu, aku bisa mencintaimu dengan ratapan doaku demi kebaikanmu. Selamanya kamu akan ada dalam lubuk hati tersembunyi dalam diriku. Semoga kebahagianmu selalu hadir menyertai langkah dan cintamu.
Untuk terakhir kalinya, bolehkah jika aku rindu padamu?