Pada saat merencanakan pendakian Gunung Semeru, aku tak pernah menyangka bakal mendapat kejadian semenyeramkan ini…
Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Tentu saja gunung ini menjadi salah satu destinasi favorit bagi para pecinta alam, khususnya para pendaki gunung di Indonesia. Tak terkecuali aku, yang punya mimpi menjamah puncak Semeru bahkan sejak duduk di bangku SMA dulu. Dan akhirnya, beberapa saat lalu, aku berkesempatan menjamahnya. Sebuah kesempatan yang begitu berharga.
Dan seperti kekhawatiranku sebelumnya, pendakian ke Mahameru memang tidak mudah…
Mendaki gunung dengan ketinggian 3676 meter mdpl tentu bukan perkara gampang. Dan nyatanya ada petualangan baru yang aku dapatkan. Bukan, bukan, kali ini bukan tentang pengalaman pendakian itu sendiri yang akan ku ceritakan, tapi petualangan yang bahkan sama sekali tidak aku harapkan. Tentang mereka yang tak kasat mata, sekadar berbagi kisah dan semoga kalian tak pernah mengalaminya. Jangan sampai…
ADVERTISEMENTS
Awalnya, semua baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana. Hingga akhirnya, ada sesosok wanita asing yang muncul saat malam pertama
Aku mendaki bersama empat orang karibku. Kala itu, kami berangkat dari Ranupani di kala mentari sedang terik-teriknya. Setelah perjalanan yang relatif landai selama lima jam, sampailah kami di Ranu Kumbolo. Tenda didirikan, barang bawaan yang segede gaban diturunkan, makan malam pun segera disiapkan. Lalu, kami melewati malam sama seperti pendaki-pendaki lainnya. Bernyanyi bersama, menikmati kopi di bawah naungan bintang lengkap dengan api unggunnya, bermain kartu, dan diakhiri dengan cerita dari masing-masing pribadi. Satu per satu mulai pamit menyembunyikan diri dalam sleeping bag-nya. Dasarnya aku yang insomnia, aku pun bertahan seorang diri di depan tenda.
Saat menikmati langit malam dan tenangnya Ranu Kumbolo, aku dikejutkan oleh gumpalan kabut tebal yang datang tiba-tiba dan berputar-putar di tengah danaunya. Belum selesai kekagetanku, gumpalan itu berubah menjadi perempuan berambut panjang. Ia berjalan melintasi danau itu, entah ke sisi mana. Ia sekilas melirikku sambil tersenyum kecil…
Apakah ini yang dimaksud dewi Ranu Kumbolo? Tanpa menunggu kejadian yang makin janggal, aku pun bergegas masuk ke tenda, walau sejatinya rasa kantuk pun belum ada. Bulu ronaku merinding begitu saja. Dan aku berharap sosok perempuan itu tak mengikutiku ke tenda…
ADVERTISEMENTS
Suasana tak enak selanjutnya aku dapati saat di Kalimati. Demi apapun, aku tak ingin berlama-lama di sini
Pagi harinya, aku berusaha mengunci mulut rapat-rapat untuk tak menceritakan apa yang aku lihat malam harinya. Mungkin saat sudah sampai kota adalah waktu yang tepat, atau justru tak usah menceritakan sama sekali kepada mereka. Aku sungguh tak ingin membuat kawan-kawanku jadi ketakutan.
Hari kedua, kami bergegas menuju tanjakan cinta, oro-oro ombo, cemoro kandang, jambangan, dan kemudian aku merinding lagi.
Bukan, bukan merinding karena kehadiran ‘mbak-mbak’ tak dikenal itu lagi, tapi aku merinding melihat sosok Mahameru yang sudah berkacak pinggang secara angkuh di depanku. Ah, akhirnya aku menjejakkan kakiku di sini. Tanpa berlama-lama, langkah kaki terus dilanjutkan. Hingga akhirnya, sampailah kami di Kalimati, saat hari sudah gelap. Tenda kembali dibuka, kami bekerja sama menyiapkan makan malam sebagai asupan tenaga untuk summit tengah malamnya. Pukul 20.00 kami sepakat untuk tidur, karena sekitar pukul 23.00 atau 24.00 kami harus melakukan summit.
Saat tidur inilah, ada sebuah kejadian aneh terjadi, kepada masing-masing kami.
ADVERTISEMENTS
Ku kira hanya aku saja, ternyata empat orang kawanku pun mengalaminya. Tidur kami sama sekali tak tenang, ada yang menarik terus-terusan
Tenda kami cukup besar memang, muat sampai 6 orang. Dalam balutan sleeping bag, aku tidur di paling ujung tenda. Awalnya biasa saja, hanya dingin yang terlalu menusuk yang ku rasa. Dalam upaya memejamkan mata, ada dorongan untuk membuka mata meskipun enggan rasanya. Dan kemudian aku terduduk dan melihat kawan-kawanku yang sudah mimpi entah apa isinya.
Masih dalam suasana mengantuk nan linglung, aku melihat ada 5 orang yang tidur di sampingku. Setelah beberapa saat, aku merasa ini naneh. Kami mendaki berlima, kenapa yang tidur ada 5 orang? Padahal aku masih terjaga. Oh Tuhan, pengen lari ke luar tenda rasanya…
Jumlah kami yang bertambah satu membuatku ketakutan. Sontak, aku langsung masuk dalam sleeping bag sembari menutup mata dengan cepat. Syukurlah aku cepat tertidur. Tapi belum nyenyak tidurku, aku terbangun bersamaan dengan kawan-kawanku. Kakiku serasa ditarik-tarik. Kami duduk dan saling berpandangan, mencoba menyelidik siapa yang iseng narik kakinya masing-masing. Dan ternyata, kami semua tidak ada yang se-iseng itu. Mereka semua merasa ditarik kakinya!
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Perjalanan menuju puncak bisa dibilang sukses, tapi ketika turun, ada kejanggalan lagi yang ku alami. Ada yang terus memukul saat perjalanan turun, aku pun terus berusaha santun
Di Arcopodo, entah kenapa aku merasa saat itu sangat sepi. Kaki kiriku terasa berat, hingga aku berpikir, mungkin begini rasanya lumpuh. Jalanku makin melambat. Lalu bergantian pada kaki kanan, mual pun aku rasakan. Setelahnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi kata teman-temanku, setelah berhenti sejenak dan menegak air minum, bicaraku mulai tak nyambung. Aku masih ikut berjalan bersama mereka, dan beberapa kali pula aku hampir jatuh ke jurang.
Setengah sadar, aku mengingat ada bangunan mirip pemandian putri di kawasan bawah Arcopodo. Satu hal yang aku syukuri, karena tak terjadi peristiwa menyeramkan hingga membuat kami tersesat. Sesampainya di Kalimati, kata mereka ada porter yang membantuku mengeluarkan makhluk lain yang mencoba mengambil alih badan dan kesadaranku. Entah berapa lama si makhluk itu berada dalam badan ini.
ADVERTISEMENTS
Perjalanan pulang, turun kembali ke Ranu Pani, ada seorang laki-laki yang ikut turun bersama kami. Siapa dia, tak seorang pun yang tahu…
Saat aku sedang memegang pundak salah seorang kawan yang berada di depanku, laki-laki itu pun turut memegang pundakku. Dan entah kenapa, bebanku terasa makin berat. Dia pun bertanya-tanya tentang perjalananku dan rombongan ke Semeru. Kala itu, anehnya, tak ada sedikitpun keinginanku untuk bertanya balik kepadanya, atau bahkan menengok untuk melihat wajahnya. Jujur saja, perasaanku tak enak seketika.
Akhirnya, aku meminta kepada rombongan untuk istirahat dulu. Laki-laki itu juga ikut berhenti, wajahnya tak jelas karena tertutup topi dan hari mulai gelap. Kemudian, ada rombongan lain yang datang. Anehnya, laki-laki itu ikut turun bersama rombongan itu. Perasaanku makin tak enak. Lalu, aku melihat sesosok perempuan berbaju putih yang berjalan tepat di depanku.
Singkat cerita, perjalananku dan rombongan selesai. Dengan selamat, kami sampai di pasar Tumpang. Kami pun berkumpul bersama pendaki-pendaki lainnya, dan saling berbagi cerita. Ada seorang guide yang mendengarkan ceritaku dan kemudian berkata,
“Itu bukan orang mbak, itu penunggu yang tinggal di sana. Untung mbak nggak bareng dia pas turunnya, kalau mbak bareng dia nggak tahu gimana jadinya. Dia bisa menyerupai seorang pendaki, bahkan temen sendiri. Mbaknya bener, kalau perasaannya nggak enak mending berhenti dulu.”
Aku pulang dengan perasaan campur aduk. Sesampai di rumah, aku merasa ada yang mengikutiku bahkan di kamar sekalipun. Kamu punya cerita apa di Semeru? Semoga pendakianmu menyenangkan tanpa ada kisah menyeramkan ya..