Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

review hotel artotel Yogyakarta

8.5/10

Hotel yang berani serius menyuguhkan seni kontemporer sebagai sajian penting, tak semata sebagai hidangan visual melainkan juga dirayakan dengan kesinambungan menggelar kegiatan-kegiatan seni yang bergairah

Belum genap setahun usianya, Artotel menjadi salah satu hotel berbintang anyar yang paling mencuri perhatian di Jogja. Pertama, lokasinya terletak di Jalan Kaliurang bagian dalam lingkar Ring Road yang sehari-harinya dilewati anak-anak kampus. Kedua, Artotel menawarkan hal yang belum disuguhkan oleh hotel-hotel yang lain. Bukan cuma beda, melainkan memang relevan dan beralasan untuk ada.

Sesuai olah kata di namanya, Artotel menjadikan seni kontemporer sebagai senyawa penting dalam konsepnya. Lebih dahulu ada di Jakarta, Surabaya, dan Bali, keberadaan Artotel di Jogja memang sebelumnya seperti tinggal menunggu waktu mengingat Jogja–sebagai kota budaya dan ladangnya seniman-seniwati–seharusnya merupakan pasar yang ramah bagi Artotel. Seperti ada lubang besar yang belum terisi di semesta perhotelan Jogja sebelum Artotel muncul.

Saya sendiri pertama kali berkesempatan ke Artotel dalam rangka mendatangi konferensi pers Art Jog, pameran seni terbesar di Indonesia. Namun, baru pada lawatan kedua ini saya benar-benar mencermati seluk beluk menarik dari hotel satu ini.

ADVERTISEMENTS

Sedari di lobi, Artotel sudah menawarkan pengalaman visual-aural yang artsy

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

Saya merasa ada yang unik dari Artotel sejak dari pilihan lagu yang diputar di lobi. Sepintas dengar ada “Born to Die” dari Lana Del Rey, “Let It Happen” milik Tame Impala, hingga The XX (tidak tahu judul lagunya, tapi saya hafal suara vokalnya). Pilihan lagu-lagu itu seakan mengerucutkan sasarannya ke kalangan anak muda dengan selera musik tertentu.

Itu baru secara aural, secara visual lebih kentara lagi aspek seni yang ingin ditonjolkan. Mulai dari corak lantai, kursi-meja tunggu, desain di hampir sekujur ruang dan ornamen-ornamennya sangat kontemporer.  Bahkan terdapat artspace terbuka berisi karya-karya seni yang langsung bisa bebas kamu tengok. Sebuah seluncuran berwarna emas di depan lift juga pasti mengundang rasa penasaranmu. Di kunjungan pertama dulu, saya sempat mengira ini hanya sebuah karya seni yang berfungsi sebagai pajangan. Faktanya seluncuran ini memang bisa digunakan suka-suka untuk turun dari lantai 2 ke lantai 1. Gokil. Silakan mencoba, asal  nggak malu kalau (siapa tahu) lantai satu lagi ramai-ramainya rombongan umrah pas kamu sampai di bawah. Bodo, tamu mah bebas ~

Sajian semacam ini bukan cuma di lobi, perjalanan ke kamar pun diiringi sudut-sudut yang instagrammable. Teruntuk yang gila foto, tiap langkah bisa diberhentikan oleh godaan spot-spot lucu. Apalagi, tiap lantai punya desain yang beragam, karena seniman yang mengerjakannya memang berbeda-beda. Waktumu bisa-bisa habis di hotel ini untuk berburu konten media sosial.

Selain bangunan hotelnya, karyawan Artotel juga punya tampilan yang lebih informal. Kebanyakan memakai sneakers, bahkan ada yang mengenakan kaus dan bertato di bagian restoran (ROCA). Walau begitu, secara perlakuan tetap ramah dan sopan kok.

Jika saja Artotel berdiri di Jogja dua tahun lebih cepat, kemungkinan besar adegan pertama Cinta bertemu Rangga di AADC? 2 mengambil set di sini 🙂

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

ADVERTISEMENTS

ADVERTISEMENTS

Kamarnya tidak besar sih, tapi desainnya memikat tanpa harus berlebihan

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

Pada dasarnya area tanah Artotel memang tak terlalu luas. Akibatnya, hotel ini terasa serba minimalis soal ukuran, mulai dari lobi, lift, sampai kamar (apalagi kamar mandinya, padat sekali). Tapi toh kalian mau bawa berapa orang ke kamar sih? Mau main tong setan di dalam kamar? Enggak kan? Artinya, nggak jadi masalah juga sih, karena interiornya didesain sedemikian rupa hingga tampak menjadi ruang minimalis yang modern.

Selain penggunaan anyaman dalam konsep rancang desainnya, yang lebih istimewa lagi adalah desain mural yang merias dinding kamar. Tiap lantai dikerjakan oleh seniman yang berbeda, dan mereka adalah insan-insan ternama. Total ada enam seniman, dan beberapa di antaranya cukup saya kenal kiprah malang melintangnya di medan kesenian, seperti Uji Hahan dan Soni Irawan. Mereka dikurasi oleh Heri Pemad, sosok terpenting di balik helatan Art Jog. Jadi ada nilai artistik yang bisa dipertanggungjawabkan di tiap sentuhan. Saya sendiri berkesempatan menginap di lantai 9 yang mana digarap oleh Fatoni Makturodi dengan lukisan dinding yang bergaya ekspresionis dengan dominan warna hijau putih. Memang untuk Artotel Jogja, lukisan-lukisan mereka dilekatkan ke dinding dalam bentuk stiker, alih-alih menggambarnya langsung. Tapi ini adalah metode yang kemudian direspons tidak asal-asalan juga.

Untungnya, Artotel tetap sadar proporsi ornamen itu, bahwa kreasi seni yang meriah itu tak boleh terlalu banyak atau nyeleneh masuk kamar sebagaimana di bagian luar. Mural itu oke, tapi ya jangan sampai ada miniatur patung Rahwana atau Reog Ponorogo di sebelah ranjang ~

ADVERTISEMENTS

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

ADVERTISEMENTS

ADVERTISEMENTS

Yang unik-unik juga masuk di restorannya, ROCA (Restaurant of Contemporary Art)

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

Semua Artotel mengandalkan ROCA untuk memenuhi kebutuhan makan dan nongkrong bagi para tamunya. Asyiknya, ROCA buka 24 jam, mengingat beberapa restoran di hotel punya jam tutup. Sebagaimana ruang-ruang lainnya, interior ROCA juga didesain khusus, termasuk muralnya oleh Rara Kuastra dan Putut Utama yang menerjemahkan Dewi Sri atau dewi kesuburan dalam goresan. Di sampingnya terdapat kolam renang  yang walaupun lagi-lagi tidak besar tapi wujudnya memikat. Kolam renang itu didesain memiliki permukaan yang tinggi dengan diperelok tanaman gantung. Di sinilah pernah digelar beberapa acara seperti Aksi Earth Hour yang diisi ajakan melukis dalam gelap bersama para seniman sembari lampu dimatikan selama dua jam.

Saya mencoba sarapan juga di ROCA. Menunya tidak terlalu beragam, standar, tapi rasanya tidak mengecewakan. Sayangnya, memang penataan makanannya agak absurd. Misalnya, ketika saya sedang mengambil nasi goreng beserta lauk-pauk padanannya di meja main course sesuai urutan, tiba-tiba ketemu roti dan sosis. Akhirnya bikin gagap, masa mau digabung dalam satu piring dengan nasi? Kalau mau ambil piring lagi, berarti harus memutar antrian dari awal. Pun orang yang mencari roti dan sosis sejak awal tak akan mengira ia ada di bagian main course, tepat di tengah-tengah mi dan ikan.

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

Bukan sebatas fasilitas ini-itu, Artotel memang aktif menghidupkan nuansa artistiknya dengan menjadi ruang yang menggiatkan kesenian

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

Apa yang paling harus diapresiasi dari Artotel adalah usahanya yang tak sekadar menghadirkan pengalaman estetis dalam bentuk konsumsi karya seni sebagai benda mati semata, namun juga menghadirkan alam seni yang hidup. Misalnya, setiap dua bulan sekali, artspace di lobi akan berganti. Foto-foto di artikel ini saya ambil ketika artspacenya sedang memamerkan karya-karya dari Mahaputravito dan Rebellionik–sebelumnya dipamerkan di Manila, Filipina. Namun, dua bulan setelahnya kemungkinan isinya akan beda lagi.

Seniman-seniman memang dibudidayakan. Seringkali acara-acara seni beragam rupa digelar di sini. Salah satu yang paling gres adalah  Art Summer Camp yang diselenggarakan dari tanggal 1 Juli sampai 19 Agustus 2018 di seluruh cabang Artotel. Art Summer Camp menghadirkan kelas seni seperti kelas melukis dan kelas fotografi yang didukung oleh lebih dari 10 seniman dan sederet organisasi pendukung seni. Dengan keseriusan semacam ini, pantas saja jika Artotel mesti punya art management-nya sendiri.

Review Artotel Yogyakarta: Separuh Hotel, Separuh Galeri Seni

Sebenarnya tak jarang adanya hotel yang mencoba menjual gimmick kesenian. Namun, tak semua bisa mengartikulasikannya dengan baik, beberapa nanggung atau berakhir sekadar tempelan. Sementara Artotel tampak percaya diri mengoptimalkan keunggulannya ini. Memang, ada sejumlah konsekuensi, seperti tidak tampak mewah di aspek-aspek tertentu. Misalnya, karyawan dengan pakaian yang kasual untuk sebagian orang mungkin malah dipandang kurang sopan atau mengurangi kelas hotelnya sendiri.

Artotel kelihatannya memang cukup berani menetapkan segmentasinya. Toh trennya memang mengarah ke sana. Jika Instagram hari ini dianggap memasyaratkan seni visual, maka hotel ini bisa jadi upaya menjawab tantangan pemasaran itu. Artotel adalah tipe hotel yang perlu dicoba, terlepas akhirnya kamu merasa klop atau tidak. Bukan cuma hotel yang mentok di pemenuhan pengalaman bermalam dengan nyaman, melainkan juga peluang berinteraksi dengan seni kontemporer dalam platform berbeda. Naga-naganya Artotel akan menjadi pilihan menginap yang kian menarik hati bagi anak muda ke depannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

ecrasez l'infame