Pulau seribu masjid, begitulah orang menjuluki Pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang aku kunjungi ini. Aku menyeberang melalui Pelabuhan Padang Bai pukul 13.10 WITA. Harga tiket untuk satu penumpang domestik sekitar 45 ribu rupiah. Waktu yang ditempuh sekitar 4 sampai 5 jam perjalanan di atas kapal dari Pelabuhan Padang Bai, Bali menuju Pelabuhan Gili Manuk, Lombok. Sore itu di dermaga sudah banyak antrian penumpang yang didominasi oleh turis asing. Biasanya turis asing menuju Lombok menggunakan speedboat dan jarang sekali pergi menggunakan Kapal Ferry. Tapi karena ombak yang besar dan cuaca yang buruk, mau tidak mau mereka harus naik Kapal Ferry. Kapal pertama datang pukul 14.50, namun kami gagal berangkat karena kapal ini sedang mengalami kerusakan mesin diterjang gelombang badai ditengah laut. Kami harus menunggu sekitar 2 jam kemudian hingga kapal kedua datang dan akhirnya berlayar sekitar pukul 17.00.
Di kapal inilah aku bertemu dengan teman-teman baru seperti Laura dari Jerman, Alexa dari Kanada, Ilu dari Vietnam, Chris dari Kanada dan Theo dari Kanada. Senang bisa berkenalan dengan mereka, karena aku bisa belajar bahasa Inggris secara praktis dan gratis. Di atas kapal, mereka banyak bercerita tentang alasan mereka datang ke Indonesia. Laura, Alexa dan Chris bahkan keluar dari pekerjaannya untuk keliling dunia, Theo yang tidak menyukai musim dingin di negaranya memilih cuti dari pekerjaannya untuk kemudian datang mencari sinar matahari ke Indonesia, sementara Ilu menjadikan Indonesia batu pijakan menuju Dili, Timor Leste. Kami berhenti bercerita ketika badai dan gelombang besar yang membuat kapal mau tenggelam datang menerjang. Namun, alhamdulillah kami sampai di pelabuhan Gilimanuk Lombok dengan selamat sekitar pukul 10 malam. Sampai di Gilimanuk, aku sudah dijemput oleh Iwan mahasiswa Universitas Mataram dan menginap semalam di kos Iwan. Kemudian esok harinya aku memulai keliling Lombok selama 10 hari.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Takjub akan megahnya Islamic Center Kota mataram, pusat dan ikon Negeri Seribu Masjid
Pukul 10 pagi aku berangkat dari kos Iwan dan berkeliling Kota Mataram yang menjadi Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram sangat asri, hijau dan di sekitar kota banyak tumbuh pohon-pohon rindang. Ada kemiripan Kota Mataram dan Jogjakarta, Mataram juga sering dikenal dengan kota pendidikan karena banyak sekolah dan kampus berdiri di sini. Salah satu landmark kota ini Islamic Center yang berdiri megah di tengah kota. Masjid Raya Hubbul Wathan Islamic Center NTB menjadi ikon yang wajib di kunjungi pengunjung jika datang ke kota ini. Aku cukup kagum dengan pulau ini karena banyak sekali berdiri masjid megah di setiap daerahnya. Di sepanjang jalan sekitar 500 meter selalu ada masjid yang berdiri, seakan-akan orang di sini berlomba-lomba untuk membuat masjid yang keren dan megah. Aku rasa memang pantaslah pulau ini dijuluki Negeri Seribu Mesjid.
ADVERTISEMENTS
Singgah di Pantai Senggigi dan bermalam di musala kantor polisi
Puas berkeliling Kota Mataram, siangnya aku melanjutkan berjalan ke arah Pantai Senggigi yang menjadi tempat transit turis asing sebelum menuju Gili Trawagan. Jarak Pantai Senggigi dengan Kota Mataram tidaklah terlalu jauh, sekitar 30 menit menggunakan Engkel (kendaran umum) dengan biaya 5 ribu rupiah. Sampai di Senggigi, aku langsung menuju pantainya yang setengah berpasir hitam di selatan dan pasir putih di utara namun cukup kotor karena banyak sampah laut yang berserakan. Bagi aku pribadi, tidak ada hal menarik yang bisa kita nikmati di Senggigi. Aku juga heran kenapa tempat ini banyak direkomendasikan, memang banyak hotel bagus, air laut juga tenang enak buat berenang, kita juga bisa surfing tapi tidak ada alasan bagi aku untuk kembali lagi ke pantai ini. Mungkin, karena aku yang nggak punya uang banyak kali ya, jadi tidak bisa menikmati fasilitas menarik sehingga banyak orang merekomendasikan tempat ini. Namun, Pantai Senggigi bagiku pribadi hanya memperoleh poin 4 dari 10 yang berarti kurang merekomendasikan tempat ini untuk di kunjungi, maaf. Malamnya, karena aku nggak punya uang buat sewa hotel, setelah minta izin kemudian aku menumpang menginap di musala kantor polisi yang berada di dekat Pantai Senggigi.
ADVERTISEMENTS
Ternyata nggak gampang nebeng atau mencari tumpangan gratis, butuh kesabaran hingga bisa naik mobil pick up menuju Gili Trawangan di Lombok Utara
Selesai shalat subuh, aku langsung siap-siap untuk pergi ke destinasi selanjutnya yaitu pulau Gili Trawangan di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Jarak Pantai Senggigi dan Gili Trawangan cukup jauh dan dapat ditempuh selama 2 sampai 3 jam perjalanan. Biaya untuk bayar bus dari Mataram menuju Lombok Utara bagi aku cukup mahal. Jadi aku memutuskan untuk mencari tumpangan dan itu nggak gampang. Karena dari Senggigi tidak banyak yang mobil truk yang langsung menuju Lombok Utara, aku harus jalan kaki 1 jam perjalanan ke pasar Gunung Sari yang banyak dilalui oleh kendaraan. Alhamdulllah, walaupun aku harus menunggu satu jam hingga ada mobil pikap yang membawa muatan kelapa berhenti dan memberi tumpangan. Dari sini aku belajar cara nebeng yang baik. Selama di perjalanan, bapak supir yang memberikan aku tumpangan banyak bercerita tentang masa lalunya ketika menjadi TKI di Malaysia, termasuk susahnya kerja di kelapa sawit dan upah yang dibayar sedikit hingga hampir ditangkap oleh polisi Malaysia karena masa berlaku tinggal yang sudah habis.
Tips Nebeng 1 “ Carilah jalan yang banyak dilalui oleh kendaraan menuju ke tempat yang akan kita tuju dan berdirilah di tempat yang mudah untuk mobil berhenti seperti di jalan lurus dan jangan berhenti di jalan yang berbelok. ”
Tips Nebeng 2 “ Di atas mobil tumpangan, sering-seringlah bertanya dan jangan diam saja, berceritalah”
ADVERTISEMENTS
Menyeberang ke Gili Trawangan, pulau kecil yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara
Di Tanjung, ibu kota dari Kabupaten Lombok Utara, aku turun dan berpamitan. Kemudian aku pergi ke pelabuhan dan menyeberang menuju Gili Trawangan dengan nebeng mobil orang jualan. Aku membayar biaya penyeberangan dari Pelabuhan Bangsal menuju Gili Trawangan sebesar 15 ribu rupiah dan menempuh waktu sekitar 20-30 menit. Sampai di Gili Trawangan, aku menumpang inap di hotel tempat Chris dan Theo yang aku temui waktu di kapal Padang Bai.
Ada beberapa hal menarik yang perlu kamu ketahui sebelum datang ke Gili Trawangan:
Serasa bukan di Indonesia, hampir separuh atau 50 persen dari penghuni yang tinggal di Gili Trawangan didominasi wisatawan asing
Ya, ketika pertama kali aku sampai di pelabuhan Gili Trawangan, hal yang paling mencolok terlihat adalah keberadaan turis asing. Hampir setiap sudut dari pulau ini selalu disambangi turis asing, bahkan beberapa dari mereka membuka toko makanan, pakaian dan hotel di sepanjang jalan di Gili Trawangan ini. Jadi jangan heran jika tempat ini seakan bukan berada di Tanah Air kita.
Tidak hanya wisata lautnya saja yang menjadi daya tarik, setiap malam Gili Trawangan selalu dihiasi oleh pesta gila para turis asing
Bagi wisatawan asing, Gili Trawangan sangat terkenal akan pesona pantai, diving, snorkling, hingga surfing-nya. Tapi tak hanya itu, Gili Trawangan juga dikenal dengan pesta malamnya. Dari pagi hingga sore, para pengunjung akan berjemur di pantai, berenang, dan snorkling di laut, bermain surfing di tengah ombak, hingga menikmati pesona bawah laut dengan diving. Ketika malam menjelang tiba, dentuman musik para penikmat pesta akan membuat bergembira dan berjoget bersama. Awalnya aku diajak oleh Chris, Theo dan Laura untuk makan malam, tapi karena nggak punya uang maka aku makan roti aja. Kemudian mereka mengajak aku ke acara pesta malam di Gili Trawangan. Ya Allah, sebagai orang kampung melihat tindak tanduk mereka berjoget, minum-minum, bikin sering-sering menyebut nama Tuhan rasanya 🙂
Masih penasaran ingin mengikuti perjalananku di Gili Trawangan? Klik Halaman Selanjutnya!