Pulang/pu·lang/v pergi ke rumah atau ke tempat asalnya
Begitulah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita. Namun sejatinya, kata PULANG sendiri memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap individunya. Bukan hanya sekadar mengantarkan raga ke tempat tujuan masing-masing, tapi juga selalu ada perasaan dan cerita yang dibawa.
Mungkin bagi sebagian orang, pulang adalah sesuatu yang biasa saja. Rutinitas rutin tanpa makna. Tidak ada yang spesial selain ingin makan, mandi, tidur dan kembali pergi beraktivitas esok harinya. Pulang bagi mereka mungkin hanya sebagai singgah sementara, terlebih karena tidak ada tempat tujuan lain. Tapi untuk sebagian orang lainnya, pulang memiliki makna yang jauh lebih dari itu.
“Sebab seperti kau yang punya tempat untuk pulang di senjakalamu, begitu juga kelana yang ada dalam dirimu, yang senantiasa jauh dan sendiri. Rumahmu adalah tubuhmu yang lebih luas. Ia tumbuh di bawah matahari dan tidur di ketenangan malam, bukannya tanpa mimpi.” – Kahlil Gibran
ADVERTISEMENTS
Karena pulang tak melulu dalam bentuk rumah atau bangunan fisik, bisa pula berupa sosok atau apapun yang membuat hatimu nyaman
Jika membahas mengenai ‘pulang’, selanjutnya kata ‘rumah’ adalah kata terdekat dengannya. Kalau memang benar begitu, lalu bagaimana dengan orang-orang tuna wisma? Mereka yang benar-benar tidak memiliki ‘rumah’ dalam bentuk fisik, apakah mereka lantas tak boleh mengenal kata pulang?
Percayalah, setiap orang selalu memiliki ‘rumah’, disadari ataupun tidak. ‘Rumah’ mereka adalah tempat dimana mereka bisa meletakkan hatinya dengan nyaman, meskipun beralas aspal panas dan beratap bintang gemintang. Semua orang selalu punya tempat persinggahan tubuh dan hatinya. Ketika rumahmu di Semarang misalnya, tapi kamu selalu berkata jika pulang itu harus bertemu ibu. Sementara ibumu seringkali bertugas ke luar kota setiap akhir pekan. Akhirnya, kamu pun pulang menuju ibumu, di kota manapun dia sedang bertugas saat kau harus pulang. Ya, menuju sosok yang membuat hatimu nyaman.
“Bagi sebagian orang, rumah adalah kasur kecil yang ditaruh di atas lantai kamar berukuran empat kali empat meter. Bagi orang yang lain, rumah adalah bangunan minimalis besar di kawasan Kebayoran Baru. Bagi orang lain, rumah mereka adalah jalanan karena tidak punya rumah. Rumah adalah sesuatu yang bisa melindungi kita dari gelap, hujan, dan menawarkan kenyamanan.” Manusia Setengah Salmon – Raditya Dika
ADVERTISEMENTS
Bagi anak rantau, pulang tak selamanya berarti tanah kelahiran. Namun bisa berganti ke tempat yang memberi banyak pembelajaran, dan saat dia merasa dirinya diterima
“Dil, weekend depan kemana? Mantai yuk..”
“Waduh sorry, aku mau pulang.”
“Pulang? Ke Bandung?”
“Enggak, mau ke Brebes.”
“Hah ngapain? Bukannya rumahmu Bandung?”
“Ya nggak papa, kangen aja.”
Kata pulang menjadi perwakilan dari seribu satu rasa yang tertuju pada kerinduan-kerinduan dengan sesuatu yang sudah menjadi ikatan kuat dalam diri seseorang. Sesuatu yang (setidaknya kamu merasa) tidak mungkin untuk dipisahkan, karena dari situlah kamu menemukan jati diri atau mendapat banyak pembelajaran.
Saat kamu sebagai anak rantau mendapat banyak ilmu dari kota tempatmu kuliah selama empat tahun misalnya, atau di kota dimana kamu menjalani pekerjaan pertama. Kota yang begitu berarti dalam memberi makna dan pembelajaran di kehidupanmu kelak. Ya, dimana di kota itu pula kamu merasa diterima. Hingga kamu yang tadinya datang kesana sendiri, kini telah menjadi koloni. Menemukan banyak kawan di seantero kota itu. Hingga tanpa sadar, kamu pun menyebut kata pulang ketika mendatanginya. Tak melulu kota kelahiran kan?
ADVERTISEMENTS
Bagi sebagian orang, pulang bahkan hadir dalam bentuk mimpi. Ya tentang rumah, tentang pertemuan dengan orang-orang yang disayang, yang selama ini terpisah jarak
Bagi seorang TKI misalnya, yang sudah bertahun-tahun bekerja di luar negeri dan bisa kembali ke tanah air. Pulang mungkin adalah sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud. Sekian lama tepisah jarak dan perbedaan waktu dengan suami, istri, anak dan anggota keluarga lain, menjadikan pulang sebagai sesuatu yang mahal.
Ketika kamu ada di posisi mereka, kamu akan rela menukarnya dengan pekerjaan yang gajinya tak sedikit dan berhadapan dengan resiko ketidakpastian nasib karir mereka setelah pulang. Semua itu hanya untuk bertemu, memeluk mereka, menyentuh pipi dan tangan, mengobrol dan bertatapan langsung dengan mereka yang disebut keluarga. Dan kamu akan membawa perasaan rindu yang selama ini ditekan kuat-kuat dan hanya dapat disalurkan melalui dunia maya. Jadi, bukankah pulang memang begitu layak untuk dirindukan?
ADVERTISEMENTS
Pulang bisa pula berarti kebebasan, pun saat untuk mengistirahatkan apa-apa yang terasa lelah seharian
ADVERTISEMENTS
Terakhir, pulanglah kapanpun ke tempat yang kamu anggap rumah~
Kamu boleh menganggap pulang, ketika bertemu dengan wajah-wajah yang sangat kamu rindukan. Kamu boleh memaknai pulang saat kamu berjumpa dengan kenangan-kenangan yang selama ini hanya bisa direnungkan. Kamu juga boleh menerjemahkan pulang kala bisa merebah kepala dengan tenang, melepas lelah yang datang setelah perjalanan panjang. Kamu pun boleh mengartikan pulang tatkala menemukan damai setelah lama terombang-ambing dalam amukan perang batin.
Semua itu karena pada akhirnya, setiap manusia punya definisi ‘pulang’nya masing-masing. Atau bahwa pulang adalah pulang ke asal? menuju Tuhan? Itu juga sah-sah saja. Tapi ingat, sebelum pulang ke Gusti, kamu kudu punya bekal dulu. Hihiii…
Lalu, kamu mau pulang kemana hari ini?
Asal jangan ke hati mantan aja