Setelah tragedi yang mengguncang Nepal pada tahun lalu, jalur pendakian di Everest mulai dibuka pada awal bulan lalu. Alhasil, nggak sedikit pendaki yang ingin segera menambah pengalamannya dalam berpetualang. Bahkan, hingga 11 Mei lalu, tercatat sudah ada lebih dari 400 pendaki yang berhasil sampai di puncak Everest! Gokil!
Pascagempa yang menimpa Nepal tahun lalu, sudah banyak sekali kisah yang tertulis dalam sejarah Everest. Bahkan di tahun ini saja atau tahun pertama musim pendakian Everest dibuka, dua pendaki telah menjadi korban keganasan Everest. Dari Hipwee Travel, inilah ulasan tentang air mata pertama yang terjadi pada awal musim pendakian di Everest.
ADVERTISEMENTS
Pendaki berpengalaman yang juga seorang dosen, Robert Gropel harus merelakan kepergian istri tercintanya sepulang dari puncak Everest.
Adalah seorang dosen dari Universitas Monash Australia, Dr. Robert Gropel dan istrinya, Dr. Maria Strydom yang menjajal mendaki Everest pada tiga hari lalu. Perjalanan terbilang cukup mulus, ketika mereka berhasil menggapai puncak tertinggi dunia. Nahas, pada perjalanannya pulang, sang suami harus merelakan kepergian istri tercintanya, seperti yang disiarkan pengelola di Kathmandu pada Minggu (22/5) lalu. Penyakit ketinggian/altitude sickness telah merenggut nyawa wanita berusia 34 tahun itu. Embusan napas terakhirnya disebabkan oleh frostbite dan kelelahan.
ADVERTISEMENTS
Eric Arnold, pendaki asal Belanda yang akhirnya berhasil mencapai puncak Everest. Sayang, keberhasilannya itu tak mampu menyelamatkan nyawanya sendiri
Sehari sebelum Maria Strydom dikabarkan tewas, nasib nahas pertama dialami oleh Eric Arnold (35), setelah berhasil mencapai puncak Everest. Ini pencapaiannya pertama yang berhasil setelah lima kali melakukan ekspedisi ke Everest. Disiarkan langsung dari Kathamandu, Nepal, Eric diduga mengalami sakit dan kelelahan. Sama halnya dengan Maria, Eric mengalami frostbite atau altitude sickness, penyakit yang muncul dari pendakian di tempat tinggi. Namun hingga hari ini, jasad keduanya belum bisa dipulangkan dari gunung setinggi 8.850 mdpl tersebut.
ADVERTISEMENTS
Penyakit ketinggian di Everest, bukan lagi Hipotermia. Ada gangguan lain yang perlu diperhatikan; Frostnip dan Frostbite
Diduga, ketiga pendaki yang tewas ini mengalami penyakit ketinggian. Bukan lagi hipotermia seperti yang sering pendaki Indonesia alami, melainkan penyakit ketinggian yang tergolong sudah sangat parah, yakni frostnip dan frostbite.
Frostnip adalah keadaan di mana jaringan tubuh membeku akibat terpapar udara dingin 15°C (59°F) yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Penyakit ini cenderung terjadi pada orang yang jauh dari pusat tubuh atau menyerang lapisan atas/terluar kulit, seperti hidung, pipi, daun telinga, jemari, dan kaki.
Sementara frostbite terjadi karena pembekuan sebagian organ tubuh yang terpapar oleh suhu dingin yang berlebihan, biasanya terjadi pada suhu 0°C (32°F). Sama halnya dengan frostnip dan jauh lebih parah, penyakit ketinggian ini juga dikenal sebagai radang dingin, yang menyebabkan kerusakan pada jaringan sel di dalam tubuh akibat pembekuan. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan penderita frostbite adalah dengan mengamputasinya.
ADVERTISEMENTS
Tak pernah bosan mengingatkan. Tetaplah waspada, kematian tak pernah mengenal waktu dan usia. Ingat, gunung bukan untuk ditaklukkan, ya!
Kematian memang tak bisa kita hindari, ke mana pun kita pergi, dan ke mana pun kita lari. Tak peduli seperti apa kegiatanmu, kematian selalu mengintai siapa pun juga. Terlebih, kalau kita menyukai kegiatan outdoor yang memiliki risiko kematian cukup tinggi.
Gunung, bukanlah alasan untuk kita mengakhiri hidup, bukan pula tempat kita untuk menyelesaikan semua permasalahan hidup. Melainkan sebagai media untuk merelaksasikan pikiran yang terlalu beban. Tujuan pendaki naik gunung adalah untuk turun gunung. Ingat, rumah adalah sebaik-baiknya orang berpulang melepas rindu.
Selamat jalan para penakluk Everest!