Sabtu, 16 November 2019, Ngayogjazz untuk yang kesekian kalinya berhasil digelar di Jogja, tepatnya di Kwagon, Desa Sidorejo, Godean, Kabupaten Sleman. Ini adalah kali kedua perhelatan akbar tersebut diselenggerakan di tempat yang sama. Sebelumnya, Kwagon juga pernah menjadi tuan rumah Ngayogjazz pada tahun 2016 lalu. Pengambilan Kwagon sebagai tempat berlangsungnya acara ini adalah karena memang memiliki berbagai kelebihan, salah satunya adalah letaknya yang memiliki suasana khas pedesaan.
Namun, ada yang berbeda pada Ngayogjazz tahun ini. Ialah kepergian Djaduk sebagai penggagas sekaligus motor bagi event tahunan tersebut. Meski begitu, acara nampak begitu lancar dengan tingginya antusias penonton yang bahkan berasal dari berbagai daerah di luar Jogja.
ADVERTISEMENTS
Tiga hari sebelum acara digelar, Djaduk dikabarkan meninggal dunia
Berita tentang kepergian Djaduk pada tiga hari sebelum acara digelar ini tentunya menjadi duka dan beban tersendiri bagi para panitia acara. Pasalnya, selain sebagai motor penggerak, Djaduk juga dikenal sebagai orang pertama yang ada di balik Ngayogjazz. Dirinya pertama kali menggagas ‘jazz masuk kampung’ tersebut pada tahun 2007 silam. Suasana duka sebenarnya telah begitu dirasakan sejak panitia mulai menggelar konferensi pers di Hotel Alana, Jalan Palagan.
Rupanya, selain menghadirkan kembali sajian musik kelas dunia ke pelosok-pelosok kampung yang ada di Jogja, Ngayogjazz kali ini juga digelar sebagai penghormatan terhadap Djaduk atas dedikasinya di dunia seni, terlebih pada acara ini.
ADVERTISEMENTS
Mengusung tema ‘Satu Nusa Satu Jazz’, Ngayogjazz kali ini digelar dengan 7 panggung yang berbeda-beda
Bukan Ngayogjazz kalau tak memiliki konsep yang unik. Kali ini panitia menyuguhkan tujuh panggung dengan nama dan lokasi yang berbeda-beda. Mulai dari panggung Blandar, Saka, Usuk, Umpak, Genteng, Molo, dan Empyak. Semua nama panggung tersebut berasal dari bahasa Jawa yang masing-masing memiliki arti sebagai bagian-bagian kecil dalam konstruksi rumah atau tempat tinggal.
Selain itu, tempatnya yang berbeda-beda juga memiliki daya tarik tersendiri. Semua dihadirkan dalam jarak yang tak terlalu jauh. Dan, uniknya panitia bekerja sama dengan para penduduk kampung setempat untuk keberlangsungan acara tersebut. Beberapa panggung yang ada bahkan dibuat di tengah kebun bambu hingga di bekas hamparan sawah penduduk yang telah dibersihkan dan diatur sedemikian rupa pada sebelumnya.
ADVERTISEMENTS
Salah satu hal yang membuat para pengunjung tertegun adalah ketika Frau membawakan ‘Nderek Bunda Maria’ untuk mengenang kepergian Djaduk dan ayah tercintanya
Dari sekian banyak para artis penampil yang berasal dari Jogja hingga luar negeri, ada satu momen di mana para pengunjung benar-benar larut dalam dentingan piano dan lagu sendu yang dibawakan oleh Frau. Di atas panggung kecil yang terletak di antara rimbunnya pepohonan milik warga, Lani membawakan lagu berjudul ‘Nderek Bunda Maria’ yang dinyanyikannya untuk mengenang kepergian Djaduk dan ayah tercintanya.
Suasana mendadak hening dan begitu khidmat ketika perempuan berambut pendek tersebut mulai menarik suara tingginya. Bahkan, beberapa orang yang larut dalam kesedihan lagu tersebut terlihat menangis dari awal lagu dibawakan hingga detik terakhir. Beberapa yang lainnya nampak saling menenangkan satu sama lain sembari berangkulan dan sesekali menyeka air mata yang luruh.
ADVERTISEMENTS
Acara akhirnya ditutup oleh penampilan sang Bapak Patah Hati Nasional dan juga Soimah
Pada panggung utama yang terletak di salah satu sawah milik warga inilah akhirnya acara ditutup. Penampilan Didi Kempot selaku Bapak Patah Hati Nasional yang berkolaborasi dengan sinden nyentrik Soimah pun berhasil membius para pengunjung. Seluruh penonton yang berada di depan panggung tak henti-hentinya ikut bernyanyi saat dua maestro tembang lawas dan tradisional tersebut tampil begitu enerjik.
Sebelumnya, di panggung tersebut juga tampil salah satu musisi jazz modern papan atas Indonesia, Tompi. Beberapa saat kemudian disusul oleh penampilan band asal Belanda sebelum ditutup oleh Didi Kempot. Uniknya, meskipun tak begitu hafal dengan lagu yang dibawakan, para warga sekitar yang turut serta di dalam kerumunan penonton tersebut nampak begitu menikmati suguhan musik yang dibawakan.
Bagi masyarakat Jogja sendiri, Ngayogjazz adalah salah satu acara bergengsi yang dapat membuat mata publik menilai musik jazz dengan sudut pandang yang berbeda. Jika biasanya jazz identik dengan selera musik orang kaya, namun berkat Djaduk, jazz dapat dinikmati oleh siapapun. Sekali lagi, terimakasih Djaduk atas jasa-jasamu!