Puncak gunung selalu berhasil membuat manusia takjub. Bukan cuma karena pemandangannya yang luar biasa, tetapi juga mengingatkan kita bahwa hanyalah setitik embun pagi di hadapan semesta milik Sang Pencipta.
Petualangan kali ini membawa kami ke Dieng. Kamu pasti udah tahu kawasan Dieng, daerah dataran tinggi di Wonosobo yang sering dijadikan tujuan wisata. Tapi tahu gak sih, kalo di Dieng ternyata juga ada puncak gunung yang asik buat didaki?
ADVERTISEMENTS
Disambut Hujan di Tengah Jalan
Rombongan kami yang berjumlah enam orang bertolak dari gerbang Universitas Gadjah Mada pada Sabtu siang, melalui ruas Jalan Magelang-Yogyakarta yang melewati Candi Borobudur. Kompleks Candi Mendut menjadi tempat persinggahan pertama kami untuk menunaikan salat Ashar, sembari menanti satu orang lagi menyusul kami.
Sepeda motor kami melaju menembus jalur perbukitan di rute Kreteg-Wonosobo. Hujan yang mengguyur beberapa kali sempat menghambat kami perjalanan selama beberapa jam. Kami berteduh bareng beberapa orang yang juga hendak melakukan pendakian ke Sindoro dan Sumbing.
Untuk masuk ke kawasan Dieng, kamu cukup membayar Rp 4.000 per sepeda motor di loket retribusi. Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam ketika kami sampai di sana — menghabiskan sekitar 5 jam untuk perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh selama 3-4 jam dengan kendaraan pribadi. Karena malam semakin larut, kami memutuskan untuk langsung naik ke Gunung Prau, tujuan utama kami kali itu.
ADVERTISEMENTS
Gunung Prau, Gunung yang Santai Tapi Menantang
Gunung Prau merupakan salah satu puncak di Dataran Tinggi Dieng yang tingginya “hanya” 2.565 mdpl. Kalo kamu adalah pendaki pemula seperti halnya saya dan beberapa teman saya, gunung Prau adalah salah satu tempat yang tepat untuk belajar mendaki gunung. Jalur trekkingnya tidak terlalu panjang: sampai ke puncak cukup ditempuh sekitar 3 jam dari base camp di Desa Patak Banteng, yang juga menjadi titik mula kami. Jalur pendakian via Desa Patak Banteng merupakan jalur tersingkat untuk sampai ke puncak, tapi jalur ini lebih curam dari jalur lainnya serta minim bonus pemandangan.
Pada akhir pekan, base camp Desa Patak Banteng dipenuhi kendaraan roda dua milik para pendaki yang hendak naik ke puncak Prau. Saking penuhnya, kami diarahkan untuk memarkir kendaraan di masjid yang jaraknya sekitar 100 meter dari base camp. Mereka yang hendak melakukan pendakian dikenai tarif Rp 5.000 per orang untuk registrasi di base camp. Setelah mengisi perut dengan sekerat roti dan melakukan persiapan lainnya serta tak lupa berdoa, kami pun melangkah menuju pos pertama.
Sepanjang perjalanan ke pos 1, kami dijamu dengan jalan berbatu yang menanjak. Pendakian baru dimulai, tapi kami udah mulai ngos-ngosan. Oh iya, pos 1 ternyata bisa ditempuh naik ojek lho! Dari pos 1, barulah dimulai trekking yang sebenarnya: jalur tanah yang sempit dan terjal.
Karena udah malam, gak banyak yang bisa kami lihat di sepanjang perjalanan selain kelap-kelip lampu permukiman warga dan sesama pendaki. Kami bahkan gak tahu di mana letak pos 2 dan pos 3, karena pos-pos tersebut gak lebih dari sebuah plang yang dipakukan ke pohon. Berhubung saat itu malam minggu, jalur pendakian dipenuhi oleh para pendaki yang menuju ke puncak. Gak sedikit juga pendaki cewek yang bergaya modis dengan jaket dan kaos tipis, celana jins dan sandal jepit! Wah, padahal kami aja pake boots dan jaket tebal untuk mengalahkan dinginnya malam di Dieng.
Semakin mendekat ke puncak, jalur yang ditempuh semakin curam. Para pendaki bergerak setapak demi setapak menghemat napas dan energi di malam yang kini gak lagi terasa dingin. Setelah berjalan selama 3 jam, akhirnya kami berhasil menjejak di puncak Prau.
ADVERTISEMENTS
Puncak yang Jadi Lautan Tenda
Jumlah pendaki yang membludak di akhir pekan menyebabkan puncak Prau menjadi lautan tenda. Beruntung kami masih menemukan spot yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda. Gunung Prau memang bukan gunung berapi aktif, sehingga kamu bisa kemping di puncaknya. Prau juga merupakan salah satu gunung dengan puncak terluas di Indonesia dan bisa menampung ratusan pendaki sekaligus. Jadi, gak heran kalo kamu bakal melihat lautan tenda di Prau pada akhir pekan.
Tengah malam itu, mie instan jadi andalan kami untuk mengisi perut-perut yang lapar. Udara dingin kembali menyergap karena kami sudah berhenti bergerak. Beberapa dari kami bahkan gak bisa tidur karena menggigil kedinginan. Disinilah bergunanya kantong tidur polar. Saat itu, barang bawaan seperti ransel, kantong tidur biasa, bahkan celana yang kamu lepas sebelum tidur bisa jadi sudah basah dan sedingin es!
ADVERTISEMENTS
Mencumbu Fajar di Puncak Prau
Entah gimana, ternyata kami bisa tidur di udara sedingin itu. Begitu membuka mata, cahaya pagi udah merayap malu-malu ke dalam tenda kami. Begitu keluar tenda, pemandangan indah langsung terhampar di depan mata kami. Puncak Gunung Sindoro-Sumbing tampak dekat dari tempat kami berdiri, sementara di kejauhan puncak Merapi dan Merbabu mengintip malu di antara awan.
Setelah puas mengabadikan terbitnya matahari, kami pun sarapan dan berkemas. Tak lupa kami mengabadikan gambar kami yang berlatar Gunung Sindoro-Sumbing. Menjelang siang, para pendaki mulai meninggalkan puncak Prau. Sayang sekali, beberapa dari mereka tidak membawa pulang sampah yang mereka hasilkan dari kemping semalam, membuat keindahan Prau jadi sedikit ternoda.
Matahari sudah semakin tinggi dan beberapa kali puncak Prau tertutup kabut. Puas berfoto, kami pun melangkah ke arah kami datang semalam, kembali ke base camp Desa Patak Banteng (gak lupa membawa pulang sampah tentunya!). Sayang banget, kami gak sempat menikmati keindahan Dieng karena mesti sampai di Jogja sebelum gelap. Ah, semoga saja nasib bisa membawa kami kembali ke sini.