Yogyakarta memang memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi siapapun. Entah kapan terakhir kali kamu menginjakkan kaki di Jogja, entah hari ini kamu meninggalkan Jogja, saat itu jugalah kamu merindui kota istimewa ini. Jogja memang seperti candu bagi darah setiap insan yang pernah, sempat, sedang, dan ingin mengunjunginya. Dan kesepakatan ini telah terjadi sejak jauh hari sebelum kita ada.
Maraknya wisatawan, mahasiswa, ataupun perantau di kota ini, membuat pemerintah dan masyarakat Jogja berbondong-bondong memugar hampir seluruh sudut kota Jogja. Sudah begitu banyak perubahan dari mulai tata kota, infrastruktur, hingga destinasi wisata di Jogja yang diremajakan. Kali ini Hipwee Travel akan mengajakmu menapaktilasi kota Jogja dari masa silam ke masa kini. Seperti apa rupanya? Berikut evolusi Jogjakarta yang dulunya syahdu sampai sekarang yang kian gemerlap.
ADVERTISEMENTS
Landmark utama Jogja yang selalu bikin kangen. Tugu Jogja dulu nggak sependek itu loh!
Foto ini disinyalir diambil pada kurun waktu 1925. Sebelumnya, tugu ini memiliki nama yakni Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih. Dinamai Tugu Golong Gilig karena awalnya tugu ini berbentuk gilig (silinder) pada bagian tiang, sementara golong (bulat) pada bagian puncaknya. Hal ini merepresentasikan Manunggaling Kawula Gusti atau semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajah. Dibangun oleh Sri Sultan Hhamengku Buwono I pada tahun 1755, tugu ini ini bernilai simbolis, karena merupakan garis magis yang menghubungkan Segara Kidul, Kraton Jogja, dan Gunung Merapi. Ntap!
ADVERTISEMENTS
Foto perbedaan Alun-alun Kidul yang melegenda. Di sinilah para dewa ber-ngleremke ati.
Dulu, Kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa. Memiliki dua alun-alun yang juga memiliki fungsinya masing-masing. Alun-alun Lor (utara) berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat. Sementara Alun-alun Kidul (selatan) atau yang disebut juga Alkid, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para dewa, sekadar untuk ngleremke ati alias menentramkan hati. Foto di atas adalah perbedaan keadaan Alkid pada tahun 1895 dan sekarang. Adem, ‘kan, nongkrong di sini?
ADVERTISEMENTS
Cuma sedikit perbedaan fisik Masjid Agung Kauman zaman dulu dan sekarang. cari perbedaannya selain pintu masuknya!
Masjid ini dulunya bernama Masjid Gedhe Kauman, yang dibangun oleh pendiri kota Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama dengan Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama), dan diarsiteki oleh Kyai Wiryokusumo. Dibangun pada 29 Mei 1773, hingga kini masjid ini masih kokoh berdiri dan masih digunakan untuk beribadah masyarakat Jogja dan juga para pelancong. Nice one!
ADVERTISEMENTS
Perubahan yang terjadi atas Garis Imajiner Kraton Jogjakarta. Inilah evolusi jalan di Malioboro.
Perbedaan Malioboro pada tahun 1940 dan saat ini. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada jalanan ini. Persempitan jalan, hingga beberapa bangunan yang mulai berkembang dengan marak. Sepanjang jalan Malioboro ini dari dulu memang selalu ramai. Konon, Jalan Malioboro disebut sebagai garis imajiner keraton Jogja loh. Keren, yak?
ADVERTISEMENTS
Penampakan Pasar Bringharjo tahun 1930 dan 2016 yang selalu ramai pengunjung dan pejalan kaki.
Pasar Bringharjo yang berubah total. Foto di atas adalah perbedaan Pasar Bringharjo tahun 1930 dan saat ini. Jelas mencolok perbedaannya, bukan? Persamaannya, keduanya selalu ramai oleh pengunjung.
ADVERTISEMENTS
Benteng Vredeburg, sebuah politik penjajahan Belanda atas keraton Jogja. Inilah penampakan perubahannya.
Benteng ini dibangun setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) tercapai. Konon, perjanjian ini adalah strategi politik Belanda yang selalu ingin ikut campur masalah intern kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
Belanda membangun benteng ini atas izin Sultan Hamengkubuwono dengan dalih untuk menjaga keamanan keraton. Padahal, mereka sengaja membangun benteng ini sebagai upaya Belanda dalam mengintai dan mengintimidasi masyarakat atas pesatnya pembangunan keraton Jogja. Wah, nggak ada abisnya deh kalau bahas sejarah Benteng ini, apalagi ngomongin sejarah penjajahan. hehe
Perempatan Kantor Pos Besar Jogjakarta (1925) yang nggak berubah fungsi dan bentuk.
Inilah bangunan yang awet berdiri di kota Jogja. Bangunan ini dari awal pendiriannya (1912) sampai saat ini, nggak berubah fungsi. Kantor Pos! Bangunan yang dirancang oleh para insinyur dari Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken) ini awalnya bernama Post, Telegraaf en Telefoon Kantoor. Seiring perkembangannya, hanya nama dan beberapa titik bangunan yang berubah atau direnovasi karena termakan usia. Selebihnya, bangunan ini masih bergerak di bidang perposan.
Tak ada yang berubah dari Gereja di Kotabaru pada tahun 1937 dan saat ini.
Gereja ini terletak di Kotabaru, Jogja. Sekilas nggak ada perubahan. Memang. Gereja ini sampai sekarang masih aktif digunakan untuk beribadah masyarakat setempat.
Salah satu stasiun legendaris di kota Jogja. Stasiun Lempuyangan pada tahun 1910, seperti ini rupanya.
Di stasiun inilah, air mata dan rindu berpapasan. Tak jarang, kamu yang datang dan pergi di stasiun ini memiliki kenangan tersendiri. Ya, ‘kan? Di sinilah, rindumu dimulai.
Percayalah, Jogja akan selalu membuatmu rindu!
Ya, itulah evolusi kota Jogja dari zaman baheula hingga sekarang. Mari kita bermain andai-andai. Kalau kamu bisa memutar waktu dengan leluasa, kamu mau tinggal di Jogja pada tahun berapa, Gaes? Jogja pada masa apa yang lebih nyaman?
Kalau sekarang sih udah penuh sesak sama hotel, Kak. Hiks