Mungkin jika bicara soal Papua, yang kamu kenal paling cuma burung Cendrawasih, Raja Ampat, transportasi susah hingga masyarakatnya yang masih memegang teguh kepercayaan adatnya saja. Untuk urusan peradaban. Mungkin dalam benakmu peradaban di Papua ya cuma gitu-gitu doang. Isinya cuma masyarakat adat yang masih belum terlalu melek teknologi.
“Kalau dilihat dari sudut pandang kemajuan teknologi di era digital ini, mungkin pendapatmu benar”
Namun, kalau bicara soal keelokan adatnya, ternyata Papua memiliki kemajuan yang lebih daripada kota-kota besar lain di Indonesia. Di tanah Papua yang katanya tertinggal dari segi teknologi informasi, nyatanya ada sebuah kota yang berdiri di atas papan kayu. Perkenalkan, namanya Agats; kota di atas papan yang punya keindahan menawan.
ADVERTISEMENTS
Berada di wilayah lumpur dan rawa-rawa, tak ada satu pun orang yang mengira akan ada kota berdiri di atasnya
Berbeda dengan kota-kota lain, Agats tidak berdiri di atas dataran yang kokoh melainkan hamparan lumpur dan rawa-rawa. Jelas saja sangat susah untuk membangun sebuah peradaban di sana.
Ada mitos soal kenapa tanah di Agats selalu basah dan bahkan cenderung berlumpur. Menurut kepercayaan warga Agats, rawa dan lumpur yang ada di sana itu adalah akibat dari kutukan seorang pastur bernama Jan Smith. Awalnya, ia adalah seorang missionaris yang mengajarkan Injil pada warga Papua. Namun, ia tiba-tiba meninggal tanpa ada yang tahu sebabnya apa. Sesaat sebelum meninggal, Jan membuat sebuah pernyataan:
“Sebuah wilayah pesisir selatan Papua yang bernama Agats ini akan basah dan menjadi wilayah rawa untuk selamanya”
Nah, pernyataan tersebut dianggap sebagai sebuah kutukan. Nggak percaya? Di dekat pelabuhan kecil Agats ada loh patung dari Pastur Jan. Kalau berkunjung ke sana, coba deh minta penduduk lokal untuk menjelaskan soal patung tersebut.
ADVERTISEMENTS
Keunikan dari Agats adalah sarana dan prasarana penghubung antar bangunan. Jalanan yang biasanya aspal, di sana berupa papan kayu
Daratan yang berlumpur dan dipenuhi rawa jelas sulit untuk mendirikan bangunan di sana. Namun, berkat keteguhan dari masyarakat suku Asmat, mereka menemukan satu solusi untuk membangun kota di atas wilayah lumpur dan rawa tersebut.
Jika jalanan di kota-kota lain dibuat dari tanah atau aspal, di Agats berbeda. Adalah papan kayu yang jadi penopang kehidupan di sana. Nggak cuma jalanannya saja yang dibuat dari kayu. Nyatanya, hampir semua bangunan di sana berbahan papan kayu juga.
“Mulai dari jalan, rumah, lapangan bermain, kantor bupati hingga rumah sakit; semuanya terbuat dari papan kayu dan berdiri di atas papan kayu! Itu yang membuat Agats unik dan berbeda dari yang lain.”
ADVERTISEMENTS
Untuk urusan transportasi, mayoritas mobilitas dilakukan dengan motor listrik atau berjalan kaki. Agats adalah kota bebas polusi!
Dengan sarana dan prasarana yang seperti itu, tentunya bukan hal mudah bagi kendaraan bermotor untuk melewatinya. Papan kayu yang berdiri di atas tanah berlumpur dan rawa-rawa jelas tak akan kuat menopang beban dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, mayoritas mobilitas yang dilakukan oleh penduduk Agats dilakukan dengan motor listrik atau berjalan kaki.
“Ada sensasi seru ketika ada sepeda atau motor listrik lewat. Jalanan yang tadinya tenang, jadi bergetar seperti sedang gempa.”
Di Agats juga ada larangan dari Bupatinya agar warga tak menggunakan kendaraan bermotor. Selain karena beban kendaraan bermotor yang berat, emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor juga berbahaya bagi kesehatan. Fix! Dengan begitu bisa dibilang Agats adalah salah satu kota tanpa polusi di dunia! Sebuah terobosan unik yang tak hanya baik untuk warganya namun juga baik untuk alam kita.
ADVERTISEMENTS
Hebatnya, meski jalanan dan bangunan lain terbuat dari papan kayu, namun fasilitas dan sarana di Agats terbilang cukup mumpuni
Di tengah “ketertinggalan” yang ada di Agats, namun bisa dibilang bahwa fasilitas yang ada di sana cukup mumpuni, loh. Jika kota-kota lain di Papua masih belum memiliki fasilitas kesehatan, pendidikan dan pemerintahan yang layak, di Agats sudah ada rumah sakit, kantor bupati dan sekolah (meski dibangun dari papan kayu juga).
Dengan begitu, kualitas kehidupan di Agats bisa dibilang lebih baik dari beberapa kota lain di Papua. Di sana ada gedung olahraga yang selalu saja ramai diisi penduduk Agats yang ingin bermain badminton. Pun demikian dengan lapangan papan yang selalu saja ramai dipenuhi mereka yang bermain futsal.
“Meski hidup di atas papan kayu yang memiliki banyak kekurangan, namun warga Agats nampaknya sangat jauh dari kesan tidak bahagia.”
Sangat berbeda jauh dari kita yang hidup di kota dengan segala fasilitasnya, namun selalu saja merasa ada yang kurang.
ADVERTISEMENTS
Karena kegigihannya, Agats jadi salah satu tonggak perkembangan wisata suku Asmat. Di tengah keterbatasannya, ada semangat juang yang membara
“Sebuah kota yang berdiri di atas papan kayu, tentu Agats memiliki banyak kekurangan.”
Salah satu contoh kekurangannya tentu saja perkara air bersih. Hidup di atas rawa, mana ada sumber air bersih yang bisa dengan mudah di akses? Namun mereka juga tak kalah gigih dan kreatif. Menggunakan tandon air, warga Agats memilih untuk memaksimalkan air hujan sebagai sumber air mereka.
“Jika musim kemarau, ya tinggal nggak mandi.”
Namun toh mereka tak menyerah begitu saja dengan hidupnya. Memiliki banyak sekali keterbatasan dan kekurangan, warga Agats justru semakin terpacu untuk bertahan hidup di sana. Kota di atas papan kayu itu kini jadi salah satu tonggak wisata suku Asmat. Kreatif dan unik. Jelas saja banyak yang tertarik untuk menyaksikan sendiri seperti apa kehidupan di sana.
Papan kayu itu jadi simbol kegigihan mereka. Dari yang semula lumpur dan rawa, kini disulap jadi hunian dan peradaban.
Salut untuk warga Agats! Mereka saja tetap gigih dalam menjalani hidup di tengah keterbatasan fasilitas. Kamu yang hidup di kota besar apa kabar? Masa iya menyerah begitu saja? Malu dong sama saudara-saudara kita yang berada di Agats sana? 🙂