Bali nggak cuman pantai, Kawan! Desa wisata di sana pun tak hanya Ubud dan Panglipuran saja. Masih ada sebuah desa yang begitu layak jadi jujugan ketika kamu singgah di pulau Dewata. Desa dengan tradisi pemakaman mayat yang lain dari biasa. Desa Trunyan namanya. Kali ini Hipwee Travel bakal mengajakmu berkunjung ke sana!
Dikenal sebagai desa Bali asli atau tempat asal muasal orang Bali asli. Letaknya tepat di bawah kaki bukit pegunungan Batur, Bali
Bagaimana cara menuju kesana? Kamu harus menempuh perjalanan menggunakan boat dari Pelabuhan Kedisan, Kintamani. Dengan menyusuri danau Batur selama kurang lebih 45 menit dengan menggunakan kapal boat itu, kamu bisa sampai di dermaga yang langsung berhadapan dengan sebuah gapura pintu gerbang “Sema Wayah” atau kuburan yang terdapat di Desa Trunyan. Yey, seketika ketika kamu berhasil sampai di pintu gerbang itu, Welcome to TRUNYAN!
Trunyan memang nama sebuah pemakaman. Pemakaman yang sarat akan keunikan. Rasa ngeri saat kamu berada disini akan bercampur dengan penasaran mengulik tradisi
Apa yang unik dari sebuah kuburan? Kalau seseorang dikuburkan menggunakan peti mati atau kain kafan, itu hal yang wajar. Tapi di Trunyan, mayat yang telah meninggal akan dibiarkan tergeletak di atas tanah. Sementara anggota keluarga yang ditinggalkan cukup memberikan pagar dan sesaji di samping mayat. Kalau kamu bilang ini nggak unik, mungkin ada yang salah pada dirimu.
Kalau secara logika, si mayat tadi lama kelamaan akan mengeluarkan bau busuk. Tapi di Trunyan, sama sekali tak kan kamu temukan aroma tak sedap itu. Kenapa?
Hal ini terjadi lantaran ada si pohon Trunyan. Ya, Trunyan sejatinya merupakan nama sebuah pohon besar yang berdiri di tengah-tengah wilayah ‘pemakaman’ itu. Nama aslinya Taru Menyan. Menurut informasi salah seorang pemandu wisata lokal, seperti dilansir Direktori Wisata, kata “taru” berarti pohon, dan “menyan” bermakna harum. Jadi kalau diartikan bersama akan menjadi pohon harum. Nama pohon inilah yang akhirnya menjadi asal muasal nama desa.
Pohon ini diperkirakan berusia ribuan tahun, dan anehnya ukuran pohon tak banyak mengalami perubahan. Di bawah naungan pohon inilah kuburan tua Trunyan berdiri.
Si pohon ini dipercaya masyarakat setempat dapat menyerap bau busuk dari jenazah yang mengalami proses pembusukan secara alami. Sampai hari ini, belum ada sebuah penelitian yang mampu mengungkapkan dari sudut pandang ilmu pengetahuan, bagaimana pohon ini dapat melakukannya untuk menyerap bau busuk dari mayat manusia.
Jadi, katanya nih, dulu ceritanya begini. Dulu, penduduk desa tersebut merasa kebingungan lantaran munculnya bau harum yang sangat menyengat hingga ke pelosok desa. Saking parahnya, hingga membuat penduduk lokal pilek. Setelah ditelusuri, ternyata bau harum tadi berasal dari pohon besar itu. Agar bau harum itu tak lagi mengganggu, mereka pun sepakat menjadikan tempat itu sebagai arena pemakaman. Terus dilakukan hingga sekarang.
Kalau kamu pikir seluruh jenazah penduduk desa akan diletakkan di area ini, kamu salah. Syarat dan ketentuan berlaku bro…
Masyarakat punya ketentuan, bahwa jumlah jenazah yang diletakkan di atas tanah dekat pohon Trunyan tak boleh lebih dari sebelas jenazah. Dan satu lagi, jenazah yang dapat diletakkan di area ini adalah yang meninggal secara wajar dan pernah menikah. Jasad si meninggal tadi akan ditutupi dengan “ancak” atau kurungan bambu. Bagi jenazah yang telah menjadi tengkorak, maka tulang belulangnya dipisah dan diangkat dikumpulkan dengan yang lainnya di dekat akar pohon, agar tempatnya dapat dipergunakan untuk jenazah baru.
Lain halnya dengan jenazah yang penyebab kematiannya tak wajar. Mayatnya akan diletakkan di lokasi lain yang bernama “Sema Bantas”
Namanya orang meninggal, ada banyak banget caranya. Cara nggak wajar itu bisa saja karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh orang. Nah mayatnya kan nggak boleh diletakkan di pohon wangi tadi kan? Ada lokasi berbeda yang dinamakan “Sema Bantas.” Sementara untuk menguburkan bayi dan anak kecil atau warga yang sudah dewasa namun belum menikah, tempatnya bernama “Sema Muda.”
Jadi gini, dari “Sema Wayah” yang deket dermaga tadi, kalau kamu melangkah lebih dalam, maka kamu akan menemukan sembilan tempat meletakkan jenazah yang berjajar rapi. Dipisah berdasar usia dan kondisi. Semuanya sudah dibedakan sesuai aturan dan kaidah yang berlaku di desa Trunyan.
Kalau nasibmu sedang baik, saat berkunjung kesana kamu bisa mendapati secara nyata kondisi mayat dalam keadaan utuh bersebelahan dengan kondisi mayat yang telah menjadi tengkorak. Kapan ajak adek kesana Bang?
Ketika kamu yakin untuk berkunjung kesana, kamu bebas mengambil foto dari tempat tengkorak dibaringkan. Di sekitarnya, akan banyak tulang belulang yang tanpa sengaja bisa terinjak oleh kakimu yang sedang asik mengamati sekeliling kuburan. Jangan kaget kalau disana ada uang koin, perlengkapan pribadi semasa si mayat hidup, dan beberapa pakaian yang tercabik-cabik menyembul dari tanah. Percayalah, pemandangan tersebut akan menghiasi kesan jejak kehidupan manusia yang bermukim di desa Trunyan telah berakhir disini. Di sebidang tanah yang luasnya kurang dari satu are serta berundag.
Jadi, gimana? Minat berkunjung ke Trunyan? Percayalah, berada disana akan membuatmu bersyukur kalau masih mempunyai kehidupan. Kamu pun akan bertambah kaya pengetahuan terkait budaya dan tradisi dari saudaramu yang masih sama-sama menjejak Bumi Pertiwi.
Mengunjungi Trunyan benar-benar tak bisa kamu lewatkan kalau memang kamu ke Bali dan punya rencana berkunjung ke Kintamani dan Danau Batur. Itu mah deket banget, rugi kamu nggak mampir. Sebentar, menurutmu Trunyan sama dengan pemakaman adat Toraja? Enggak. Kalau Trunyan diletakkan di atas tanah, tapi di Toraja, mayat diletakkan pada lubang dinding yang cadas. Selamat datang di Trunyan!