Dieng Culture Festival (DCF) edisi tahun 2018 berlangsung pada tanggal 3-5 Agustus kemarin. Hajatan tahunan ini selalu dilaksanakan di musim kemarau, di mana Dieng sedang berada dalam suhu yang sangat dingin. Suasana yang dingin di negeri di atas awan ini jadi sesuatu yang bikin DCF jadi salah satu festival yang ditunggu-tunggu kehadirannya.
Tahun ini, Hipwee Travel kembali hadir ke festival paling romantis di Indonesia tersebut. Suhu pada Sabtu dini hari sampai pagi menembus minus 4 derajat Celcius. Maka tak heran embun es kembali melanda Dieng. Mau tahu gimana serunya DCF saat Dieng sedang dingin-dinginnya? Yuk simak liputannya ya.
ADVERTISEMENTS
Dihelat mulai Jumat pekan lalu, Dieng Culture Festival edisi ke 9 dimulai dengan Jazz Atas Awan. Alunan musik Jazz di tengah dinginnya Dieng jadi terasa begitu istimewa
Jazz Atas Awan adalah menu yang istimewa di DCF. Betapa tidak, di tengah dinginnya malam di Dataran Tinggi Dieng, eh ada acara musik Jazz. Nuansanya jadi syahdu dan jadi sebuah momen pembuka yang menyenangkan di DCF. Berbagai penampil dari dalam maupun luar daerah mendendangkan nada-nada yang membuat malam itu jadi lebih hangat. Acara ini ditutup dengan penampilan Gugun Blues Shelter ketika hari mulai berganti.
ADVERTISEMENTS
Hari Sabtu bisa digunakan untuk berlibur ke beberapa tempat wisata di Dieng. Kami mencoba mendaki ke Padang Savana dan Telaga Warna
Tak banyak yang tahu bahwa di Dieng ada padang savana yang cukup indah. Semua orang terpaku pada Sikunir aja. Jadi cuma sedikit orang yang datang ke savana. Meskipun trekkingnya cukup lumayan, tapi keindahan savana ini memang layak diperjuangkan. Apalagi Sabtu pagi (4/5), Dieng mencapai suhu minus 2 derajat. Dikepung rasa dingin yang menusuk sampai ke sumsum tulang, kami tetap bersemangat untuk mendaki bukit Pangonan demi mendapat pemandangan cantik di savana. Dan waktu itu kami terkejut karena padang savana telah terbakar. Entah apa penyebabnya, bisa jadi terbakar matahari. Namun padang yang telah menghitam justru begitu mengagumkan setelah terselimut es sehingga tampak seperti di negeri dongeng. Nggak percaya? Main ke sana deh lihat sendiri.
Siangnya kami mengunjungi Telaga Warna di mana tiketnya gratis jika mempunyai ID Card DCF. Tujuannya bukan di Telaga Warna yang bawah, tapi di Bukit Ratapan Angin yang menyajikan pemandangan indah danau yang punya 2 warna tersebut dari atas. Indah banget sih. Kamu harus coba kalau mampir ke Dieng!
ADVERTISEMENTS
Malam Minggu jadi malam yang ditunggu-tunggu. Pelepasan lampion dan Senandung di Atas Awan jadi momen romantis yang nggak boleh dilewatkan
Malam kedua, Dieng makin dipadati kendaraan dari dalam dan luar Wonosobo dan Banjarnegara. Desa kecil ini pun dipenuhi oleh wisatawan yang ingin menyaksikan pelepasan lampion di malam puncak Dieng Culture Festival. Penonton pun dikejutkan oleh kehadiran dua bintang tamu papan atas, yakni Letto dan The Rain. Suasana malam yang dingin pun menjadi hangat dan sedikit panas.
Momen magis pelepasan lampion terasa syahdu karena diiringi oleh lagu Indonesia Tanah Air Beta. Rasa haru melepas lampion yang terbang ke langit makin lengkap dengan hadirnya kembang api yang mewarnai malam Dieng yang berselimut kabut. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan dan membahagiakan.
ADVERTISEMENTS
Dieng Culture Festival ditutup dengan ritual pencukuran rambut gimbal pada Minggu pagi. Sebuah tradisi dan budaya yang jadi ikon wisata di Dieng
Buat yang belum tahu, Dieng identik dengan anak berambut gimbal. Bukan, mereka bukan dibikin gimbal, namun ada beberapa bagian rambutnya yang gimbal sedari lahir. Rambut gimbal ini harus dipotong dalam ritual pencukuran rambut gimbal agar tidak tumbuh kembali. Nah, si anak yang rambutnya akan dicukur punya 1 permintaan yang harus dituruti. Tapi ya namanya anak-anak, permintaannya ya khas permintaan anak-anak. Ada yang minta sepeda, mainan, bahkan cuma sekedar minta es krim atau es lilin. Budaya yang sangat unik di Dieng ini memang pas jadi penutup Dieng Culture Festival.
Gimana, nyesel ‘kan tahun ini nggak ke sana. Jangan lewatkan DCF tahun depan ya!