Semakin menjamurnya minat masyarakat untuk mendaki gunung, bisa menjadi kabar baik bagi perkembangan potensi wisata di Indonesia, khususnya Taman Nasional Gunung. Tapi, semakin membuncahnya popularitas gunung di media sosial, bisa menjadi kabar kurang baik bagi perkembangan wisata dari kacamata manapun. Bukan apa-apa. Seiring tumbuh-kembangnya peradaban, khususnya di bidang teknologi, tak bisa menjamin perkembangan peradaban manusia. Manusia yang dimaksud di sini adalah para pendaki atau orang-orang yang suka bepergian ke gunung dan yang mengaku pecinta alam.
Ada sebuah keresahan yang kemudian dilahirkan atas lelaku mereka di atas gunung atau di alam liar. Ya, apalagi kalau bukan gunungan sampah yang bisa saja menjadi ‘anak gunung’ bagi gunung yang bersangkutan. Nah, kali ini Hipwee Travel akan mengajakmu memecahkan masalah bersama tentang maraknya sampah yang ditimbulkan dari peradaban semacam ini. Yuk, berpikir logis dengan argumen!
ADVERTISEMENTS
Dari minat pendakian hingga kesadaran manusia akan pentingnya keberadaan gunung yang aman dan nyaman. Masih adakah pendaki yang memerhatikan hal seperti ini?
Dulu, sebelum maraknya minat manusia untuk mendaki, gunung adalah tempat ternyaman dan aman untuk menyendiri, menghilangkan penat, dan kegiatan asyik lainnya yang jauh dari ingar bingar perkotaan. Hawa sejuk pegunungan yang belum tercemar kotoran apapun, sangat agul untuk mengakhiri masygul. Mungkin karena saat itu belum ada film iklan atau sosialisasi yang mengimbau masyarakat untuk berbondong-bondong pergi ke gunung. Ya, itu dulu. Lalu, bagaimana keadaan gunung saat ini? Apa kabar gunung hari ini? Masih adakah orang-orang yang acuh atas keamanan dan kenyamanan gunung?
ADVERTISEMENTS
Seperti apakah rupa gunung sebelum meningkatnya pemanfaatan media sosial di semua lini kehidupan? Kontribusi media sosial yang begitu besar!
Jangan tanyakan seperti apa rupa gunung sebelum ada media sosial. Jelas, keamanan dan kenyamanan adalah motivasi pertama para pendaki pada zaman dulu. Bahkan, seorang aktivis Soe Hok Gie sangat gemar mendaki gunung untuk menghilangkan penatnya melihat kehidupan yang kian semrawut. Di gununglah ia menelurkan karya-karya yang sangat legendaris hingga saat ini. Ya, semua ini karena nyaman. Manusia mana sih yang tak menyukai kenyamanan?
Lain halnya dengan masa sekarang ini, masa di mana media sosial seolah menjadi jawaban atas keresahan semua orang. Ketika kamu hendak mengunjungi sebuah kota dan ingin menjelajahi tempat wisatanya, gampang sekali. Kamu hanya perlu menulis tagar dengan diikuti kata ‘explore’ dan kota tujuanmu, misal: #explorezimbabwe. Dan semuanya terjawab sudah. Sama seperti dengan keberagaman foto menarik soal gunung. Secara tak sadar dan tak langsung, kamu dan semua pengguna media sosial akan mengunjungi tempat tersebut. So, ramailah TNG tersebut.
ADVERTISEMENTS
Di beberapa TNG, terdapat penyediaan tempat sampah. Tapi kalau pendaki membludak, tempat sampah sebesar apapun juga tak sanggup menampungnya
Dari maraknya pengguna media sosial yang tertarik untuk ‘melancong’ ke TNG untuk keperluan mendaki atau kemping, tidak menutup kemungkinan, akan lahir begitu banyak sampah di tempat ‘peninggalan’ mereka. Ya, apalagi kalau bukan sampah yang mereka tinggalkan? Bukan bermaksud mendiskreditkan dan menyerambahkan, melainkan memang seperti itu kenyataannya. Pihak pengelola TNG memang sudah menyediakan tempat pembuangan sampah, tapi kalau setiap hari ada ratusan pendaki yang datang, tempat sampah sebesar apapun tak cukup untuk menampungnya.
ADVERTISEMENTS
Selain kepentingan untuk menyewa truk sampah, pengelola TNG juga wajib membayar SDM yang bekerja di sana.
Selain menyediakan tempat pembuangan akhir, pengelola TNG, seperti TNBTS, menyediakan truk pengangkut sampah setiap seminggu sekali. Khairunissa, Humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dalam wawancaranya seperti dilansir dari Tempo mengaku pengelola TNBTS tidak memiliki anggaran untuk mengeluarkan sampah setiap hari. Belum lagi dana untuk membayar tenaga kerja yang membantu mengelola TNBTS. Memang, daya tarik Gunung Semeru tak perlu diragukan lagi. Apalagi long weekend pada awal Mei lalu. Pengunjung sangat membludak!
ADVERTISEMENTS
Kalau sampah sudah menggunung seperti ini, apakah bisa diminimalisasi? Sementara pengelola TNG tak memiliki dana untuk mengurusinya setiap hari
Lalu pertanyaannya adalah, kalau sampah sudah menggunung seperti ini, bagaimana caranya untuk meminimalisasi pertumbuhannya? Tak semua pengelola TNG punya dana untuk mengurusnya setiap hari. Belum lagi alokasi dana untuk membayar tenaga kerja. Belum lagi biaya tetek bengek yang nggak bisa dihindari.
ADVERTISEMENTS
Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Setidaknya yang bisa bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan
Hingga akhir April tahun ini, tercatat sudah lebih dari 453 ton sampah yang lebih dari 50% adalah sampah plastik yang terkumpul dari 15 gunung paling populer dikunjungi masyarakat. Seperti TNG Rinjani, Gede Pangrango, Merbabu, Sindoro, Sumbing, Merapi, Prau, Bromo Tengger Semeru, Papandayan, Ciremai, Salak, Argopuro, Bawakaraeng, dan Halau Halau.
Malahan jaman sekarang muncul pendaki alay. Apa sih pentingnya nulis di kertas gini? Pendaki gunung sejati pasti ga ngelakuin hal yang justru bikin sampah macam gini
Please, sebutkan manfaat yang bisa kamu dapat dari menulis kertas seperti itu?
Bukan bermaksud mendiskreditkan dan menyerambahkan, melainkan memang seperti itu kenyataannya. Masyarakat atau pendaki seperti kehilangan kesadaran akan kebersihan lingkungan. Jangankan kenyamanan, keamanan pun mereka masih sering lalai dalam menyikapinya.
Jadi, menurutmu, apa yang harus kita perbuat untuk menjaga kebersihan lingkungan di gunung dari sampah dan pendaki-pendaki alay yang tak mengindahkan kenyamanan, Gaes? Yuk, diskusi. Apa yang harus kita lakukan agar gunung tetap indah dan bebas sampah? Tulis di kolom komentar dengan argumen yang logis, ya! Terima kasih. 🙂