Lelakiku, seorang petualang sejati, seorang yang juga telah mencuri hatiku terlebih dulu. Barangkali suatu saat kamu menemukan suratku ini, kuharap kamu mengerti. Bahwa surat ini kutulis setelah aku menolak ajakanmu untuk mendaki Gunung Rinjani. Meski sebenarnya orangtuaku memberiku izin untuk pergi bersamamu, sebenarnya ada kerikil yang mengganjal di hatiku. Bukan, bukan. Bukan berarti aku menolak ajakanmu sepenuhnya dan bukan pula aku tak ingin pergi bersamamu. Ada beberapa hal yang terus menghantuiku setelah sore itu kamu menawarkanku untuk ikut bersamamu…
ADVERTISEMENTS
Lelakiku, bukan aku tak ingin menemanimu berkeliling menikmati indahnya dunia. Tapi percayalah, masih ada kesempatan untuk kita jalan berdua.
Keyakinan inilah yang terus aku tanamkan pada batinku. Meski sesungguhnya aku selalu berharap cemas, kapan waktu ini akan membawa kebahagiaan untuk kita. Siapa sih, yang nggak mau jalan bersama dengan cinta yang menggebu? Wanita mana yang tak sudi bergandengan tangan dengan pria yang selalu mengisi hari-harinya? Aku harap, masih ada ajakan darimu untuk menjelajah dunia bersama-sama.
ADVERTISEMENTS
Tentu menyenangkan, berdua saja menghabiskan waktu menjelajah alam semesta. Aku yakin, akan ada perhatian dan kasih sayang yang berlebih dalam tiap langkah kita.
Wanita manapun tentu setuju, bahwa menghabiskan waktu bersama orang terkasih adalah anugerah yang tak ada duanya. Berjalan menyusuri tepian pantai di saat senja atau sekadar menikmati dua cangkir teh hangat dengan obrolan ringan di Nusa Penida? Berbicara mengenai cinta dan cita-cita dua pasang anak manusia yang yang dirundung asmara? Pun mendaki gunung, setenda dengan pasangan halal tentu merupakan mimpi semua wanita. Meski sederhana, cinta itu tetap menyala dalam damba. Seolah tapak kaki ini begitu ringan, Lelakiku.
Kamu tahu maksudku, bukan?
ADVERTISEMENTS
Tapi untuk saat ini, cuma maaf dan sabar yang kupunya. Aku hanya bisa menunggumu pulang dengan cerita seru yang kamu bawa
Tetapi, Lelakiku, ajakanmu kali ini harus kutolak dengan berat hati. Seberat-beratnya kata sanggahan yang sesungguhnya terpaksa terlontar dari mulutku. Kalau orang bisa melihat sistem kerja otak dan hati, mungkin keduanya tengah berperang dengan dahsyatnya. Sayang, hanya kata maaf yang bisa kuberikan untuk tanyamu. Jawabanku ini seperti antitesis; seperti tak ingin tapi (sangat) ingin. Betapa susah mengutarakannya. Lagi, semoga kamu mengerti maksudku.
ADVERTISEMENTS
Sungguh, aku hanya ingin melangkah bersamamu, Lelaki yang kelak menjadi Ayah bagi anak-anakku. Bukan sekadar sepasang kekasih dengan cinta yang menggelegar.
Lelakiku, mungkin kamu berpikir bahwa aku takut merepotkanmu dalam setiap perjalanan yang kamu cita-citakan. Asal kamu tahu, Lelakiku, aku tak sepenuhnya berasumsi demikian. Aku hanya berharap perjalanan pertamaku adalah bersama dengan pasangan halalku. Pun kamu mengamininya, bukan? Itulah sebabnya.
ADVERTISEMENTS
Apa yang kamu ragu dari couple traveler? Aku juga bisa kok jadi partner yang tangguh, tak cuma manja dan suka mengeluh!
Kamu memang tak pernah meremehkan kemampuanku dalam segala bidang. Meski kenyataannya aku masih banyak kekurangan. Tapi alangkah cintanya kamu, Lelaki yang selalu mengerti diriku dan keadaanku. Aku juga bisa kok, menjadi partner traveling yang tangguh. Bukan cuma sebagai wanita rumahan yang manja dan suka mengeluh. Kalau solo traveler telah menjadikanmu pribadi yang mapan, maka aku percaya, mimpi kita sebagai couple traveler akan segera menjadi nyata.
ADVERTISEMENTS
Ya, keluh kesah pasti ada. Tapi berjalan di sampingmu tentu akan membuatku lebih semangat dalam menempuh jarak dan waktu yang tak biasa.
Lelakiku, mengeluh memang bukan anjuran yang disarankan oleh kepercayaan apapun. Tapi, wanita bahkan pria manapun (pasti) pernah mengeluh dan mengaduh. Sebagai wanita yang telah kamu curi hatinya, sebisa mungkin aku berusaha untuk tetap menjadi wanita perkasa. Perjalanan kita menjelajah Nusantara memang tak mudah, tetapi berjalan di sampingmu akan membuatku lebih tangguh dari hari-hari biasanya.
Lelakiku, tatapan teduh matamu dan lelaku manismu padaku sudah seperti candu bagi darahku. Kalau kamu adalah Gunung Rinjani, biarkanlah aku menjadi Dewi Anjani untuk kepulanganmu. Dan, cinta kita adalah sebuah perjalanan panjang dengan akhir bahagia. Semoga.
Maaf, Lelakiku, aku hanya minta kamu bersabar sedikit sembari memantaskan diri. Sebab, akulah wanita yang akan kamu bawa sampai akhir waktu.
Harus kuakhiri suratku ini, Lelakiku. Kalau kamu merasa kecewa dengan penolakanku atas ajakanmu waktu itu, maaf, aku hanya bisa mengucapkan maaf. Aku harap kamu mau bersabar sedikit lagi. Toh, waktu masih menyediakan ruangnya untuk kita memantaskan diri, sebelum kita benar-benar ditakdirkan menjadi sepasang suami-istri.
Semoga perjalananmu kali ini menyenangkan, ya! Aku akan selalu menunggumu pulang ke rumah, ke hatiku yang penuh cinta. Aku akan selalu menunggumu. Menunggu kamu membawakan sebuah cincin berupa janji setia sehidup semati, sebagai pasangan halal yang siap meniti bahtera rumah tangga berdua, hingga akhir nanti.
Salam.