Duhai tulang rusuk,
Aku tak tahu siapa dirimu. Mungkin, bisa jadi kita sudah bertemu dalam petualangan sebelumnya. Atau mungkin kamu sudah mengenalku. Tapi kita sepakat bahwa kita masih belum saling menemukan. Kita masih sama-sama hilang dalam pendar perasaan yang samar.
Duhai Petualang cinta,
Aku selalu berharap kau segera packing ranselmu lagi. Berdoa semoga kali ini hadir pertemuan yang kita idam-idamkan. Tak harus dalam perjalanan yang sama. Tak mesti selalu dalam petualangan yang senada. Hanya saja, kita butuh sejenak bertatap muka dalam kejadian yang barangkali tak pernah kita pikirkan. Mungkin berpapasan di antara pendaki gunung yang sedang turun. Atau justru ketika bersebelahan duduk di kereta ekonomi Jakarta-Jogja. Bisa saja kita bersua ketika kamu bertanya toilet di mana.
Pertemuan tak harus disiapkan bukan? Yang penting kita siap kapanpun pertemuan itu datang.
Aku selalu mengandaikan begitu indahnya bila kita berkelana bersama. Sementara aku yang membuat detail rencana, kamu menyiapkan keperluan perjalanan kita. Kadang tak harus sebegitu terencana sih. Hal yang paling penting kita selalu melewatinya dengan penuh canda. Ya, kita sama-sama mengerti bahwa cerita perjalanan selalu mendewasakan. Kita juga paham kalau pengembaraan yang spontan selalu tak terlupakan.
Apalagi ditemani senyummu sepanjang perjalanan.
Dear jodohku,
Hatimu sudah pernah patah bukan?
Tenang, Sayang. Jangan bersedih, itu akan membuat kamu lebih bijaksana. Bahwa dalam hidup tak semua asa harus terlaksana. Bahwa keikhlasan untuk melepaskan adalah sebenar-benar cinta yang tak sekedar picisan belaka.
Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu. Persis. Meski kadar terlukanya bisa jadi berbeda. Semoga kita sama dalam satu hal, sama-sama ingin menemukan yang paling tepat. Mencari untuk ditemukan. Aku untukmu. Kamu untukku.
Dear jodohku,
Jangan marah kalau nantinya setiap pekan ku ajak kamu keliling nusantara. Akan ku siapkan tenda besar kok. Kamu bisa ndusel-ndusel sepuasnya. Tak usah berjalan penuh nafsu menaklukkan. Aku dan kamu setuju kan, jika ego manusia yang harus disingkirkan. Gunung adalah pelabuhan cinta. Bukan ladang unjuk kuasa. Kamu mau kan kalau jagoan kita tumbuh di sana. Dunia ini tak semudah kisah-kisah sampah layar kaca, Sayang. Kehidupan sulit sudah menunggunya di depan.
Apa kita beri nama anak kita Rinjani dan Khatulistiwa saja?
Ah, sudahlah.
Saat aku menulis ini aku belum bisa membayangkan wajahmu. Aku juga tak tahu perjalanan ke mana lagi yang sedang kamu siapkan. Lombok? Praha? Annapurna? Wae Rebo? Ah, atau mungkin Ayutthaya? Aku masih sulit menebak penjelajahanmu berikutnya. Tak apa. Toh, sejauh apapun perjalananmu, kelak juga akan berlabuh kepadaku. Datang untuk menggenapkan.
Terakhir, aku cuma mau bilang. Aku rindu.