Persembahan untukmu, calon imamku di masa depan yang tak kunjung datang. Semoga engkau membacanya dan mengingat janji kita bersama…
Dear calon imamku,
Aku senantiasa menunggu kehadiranmu di teras rumah. Menantikan senyumanmu yang indah itu menyapaku. Mengharapkan keberanianmu mencium tangan ayahku untuk memintaku jadi pendampingmu. Hingga akhirnya pandangan kita beradu. Kamu tersenyum bahagia sementara aku tersipu malu. Entah kapan saat itu benar-benar terjadi.
Dear pujaan hatiku,
Kita memang belum lama mengenal, tapi setidaknya kamu pernah menawarkan masa depan. Berjanji untuk mendatangi keluargaku suatu hari nanti. Bukan sekadar silaturahmi, tapi menyampaikan niatan suci. Meminta izin untuk memersuntingku kelak di kemudian hari. Nyatanya, aku masih berharap dalam sepi, berangan dalam sunyi. Kapan kamu halalkan diri ini? Tegakah membuatku menanti selama ini?
Dear kamu yang pernah menawarkan masa depan,
Aku memaklumi kesibukanmu yang sering berkeliling dunia. Dari lokasi di Path dan Instagram kamu, tampaklah kota-kota besar di dunia engkau singgahi berganti-ganti. Kemarin ke Singapura, besoknya sudah di China. Bulan lalu ada pekerjaan di Italia, minggu ini kamu sudah berada di Nepal, mendaki Gunung Annapurna.
Kenapa mendaki gunung terus, Sayang. Kapan mendaki pelaminan?
Sempat kamu menghubungiku ketika kamu berada di Malaysia. Kamu mengatakan padaku bahwa kehadiranmu ke rumah tidak bisa dalam waktu dekat. Oke aku terima, tapi setidaknya berikanlah kepastian. Apa memang traveler selalu mementingkan perjalanannya ketimbang cintanya? Kecuali memang sudah padam rasa cintanya. Benarkah begitu, Sayang?
Toh ketika di Indonesia, kamu tetap berkelana ke timur. Menjelajahi Flores, Lombok, Maluku hingga Papua. Namun, meluangkan waktu sehari saja ke Jogja kamu enggan bersedia. Sesibuk itukah kamu, Mas? Kasihanilah aku yang terlalu mengharapkan kehadiranmu barang sejenak saja.
Dear calon suamiku,
Tenanglah, aku terbiasa hidup mandiri. Bahkan susah pun dulu sering kujalani. Bukan karena keluargaku tidak mampu, melainkan hanya sebagai proses pembelajaran dalam hidup. Bahwa kemandirian harus dimiliki seorang wanita. Bukan cuman manja atau pandai bersolek belaka. Aku siap menemanimu berkeliling dunia. Kalau perlu kita backpacker menggembel dengan uang tak seberapa. Itu tak apa, kehadiranmu sudah memenuhi segalanya.
Maka, tunjukkanlah keberanianmu, Mas. Gunung-gunung telah kamu gapai puncaknya. Paspormu sudah tertempel cap dari berbagai negara. Lautan luas telah kamu selami hingga kau jaga terumbu karangnya. Lantas, mengapa datang ke rumah saja nyalimu tiada. Jujur aku sempat meragukan sisi maskulinitasmu ketika kamu tak bernyali bertemu bapakku. Calon mertuamu nantinya.
Dear calon imam, entah untuk siapa…
Ternyata harapanku tinggal angan semata. Kepulanganmu ke Indonesia menyisakan duka nestapa. Undangan pernikahanmu-lah yang sampai di teras rumah, bukan seulas senyumanmu yang kunantikan begitu lama. Dan, jelas bangunan surga impianku yang sempat kurajut bersamamu, hancurlah sudah.
Terimakasih telah menciptakan angan sendu buat hatiku. Aku tak mengapa, kebahagiaanmu memang yang utama bagiku. Kalaupun tak bisa memiliki hatimu, aku tetap akan mencintaimu dengan cara yang lain. Semoga aku bisa memelukmu melalui doaku. Melalui munajatku untuk kebaikanmu kini dan nanti.
Selamat menjadi imam untuk wanita lain. Biarkan aku tetap menjadi makmum sendirian, tanpa imam, tanpa cinta.
Ttd,
Aku yang masih menunggu di teras depan