ADVERTISEMENTS
Tanpa Saran dari Resepsionis Hotel di Toraja, Mungkin Saya Tidak Akan Menginjakkan Kaki di Tanjung Bira
Pagi itu setelah puas mengeksplorasi keindahan dan kemagisan Tana Toraja, saya memutuskan akan pergi ke Takabonerate. Sebuah pantai yang keindahannya mampu membuat saya cukup kurang tidur karena cerita keindahannya yang saya baca dari berbagai sumber.
Akan tetapi seorang pekerja hotel di Toraja memberi tahu bahwa Takabonerate terletak cukup jauh dari Makassar. Perjalanan menuju Takabonerate memakan waktu sekitar 10 jam jika ditempuh dari Kota Makassar.
Mendengar hal tersebut saya berpikir ulang, haruskah pergi ke sana mengingat waktu saya di sini hanya tinggal 4 hari?
Sebagai pecinta berat wisata pantai rasanya belum afdol saja kalau belum pergi ke pantai. Apalagi dalam kepala saya terbersit pikiran:
Ini kan Pulau Sulawesi masa gak punya pantai keren lainnya sih?
Langsung terbayang di kepala saya berbagai pantai indah yang ada di Sulawesi, sebut saja: Bunaken, Togean, Wakatobi, dan sederet pantai lainnya yang mungkin belum saya tahu. Setelah browsing di internet akhirnya saya mengetahui bahwa ada pantai bagus lainnya bernama Tanjung Bira.
Terus terang saya agak kurang yakin dengen referensi yang tersedia di internet. Akhirnya saya pun bertanya kepada resepsionis hotel tentang keberadaan si Pantai Tanjung Bira ini. Si resepsionis hotel pun menjawab dengan begitu yakin:
“Wah dek kalau soal bagus janganlah takut sama pantai di sini. Itu Tanjung Bira sudah terkenal itu, datanglah ke sana kalau mau lihat pantai tiga warna.”
Awalnya saya bingung dengan istilah “pantai tiga warna”. Karena rasa penasaran itulah akhirnya saya kembali melakukan penelusuran di internet tentang maksud dari pantai tiga warna tersebut. Menurut sumber dari internet mengatakan bahwa pantai ini memiliki tiga gradisi warna yakni hijau, biru muda, dan biru tua. Ada 2 penjelasan baik secara magis dan ilmiah.
Tapi menurut saya apapun penjelasannya itu tidak menjadi terlalu penting karena saya sudah dibuat penasaran dengan keindahan pantai itu sendiri. Selain tiga gradasi warna tadi, Tanjung Bira juga dikenal sebagai salah satu pantai berpasir putih. Hal ini tentu menjadi nilai plus di mana pantai dengan pasir putih jumlahnya tidak banyak di Indonesia.
ADVERTISEMENTS
Makassar, Pintu Masuk Ke Tanjung Bira Saya Capai Dengan Menggunakan Bus Malam yang Super Nyaman
2 hari sudah saya berada di Tana Toraja. Pemandangan alam dan cerita kebudayaannya mampu membuat banyak wisatawan terpikat dengan daerah ini. Dengan berat hati saya memesan tiket ke Makassar bersiap meninggalkan Toraja dan menyambut kejutan di destinasi berikutnya.
Jika kamu berangkat ke Tanjung Bira dari Toraja kamu harus terlebih dahulu ke Makassar. Barulah dari sana nanti kamu melanjutkan perjalanan ke Tanjung Bira. Tiket seharga Rp.150.000 sudah ada di tangan. Karena sebelumnya sudah pernah menaiki bus ini saat akan berangkat ke Toraja saya sudah tahu jika bus di sini memang memiliki kualitas nomor 1. Saya malah belum pernah menaiki bus sekeren ini di Pulau Jawa.
Berdasarkan tiket yang saya pegang, jam keberangkatan adalah pukul 21:00 WITA. Diharapkan para penumpang sudah datang sebelum waktu yang ditentukan untuk menghindari keterlambatan. Akan tetapi bagi penumpang yang rumah atau penginapannya terletak di pinggir jalan tidak perlu berkumpul di pool karena akan sekalian dijemput saat bus berangkat. Beruntunglah saya yang menginap di salah satu hotel di pinggir jalan, sehingga tidak perlu repot berkumpul di pool bus.
Tapi meskipun dijemput, tetap saja saya takut ditinggal. Pukul 20:30 saya sudah nangkring di depan hotel menunggu jemputan pak supir dengan semangat. Dalam hati sebetulnya agak nervous membayangkan sekeren apa ya Pantai Tanjung Bira itu.
Setelah memasuki bus setiap penumpang mendapat fasilitas bantal dan selimut. Seat di bus dengan rute Toraja-Makassar inilah yang membuatnya menjadi istimewa. Selain besar jarak antar kursi juga luas sehingga membuat kaki nyaman jika diluruskan. Bagi yang berkaki panjang pasti senang deh naik bus tersebut karena interior bus membuat kaki panjang mu jadi gak mentok.
Waktu tempuh antara Toraja ke Makassar adalah 8 jam. Perjalanan bisa dibilang cukup lancar karena supir bus membawa laju kendaraannya dengan cukup kencang namun tidak menyepelekan faktor keamanan sehingga membuat penumpang merasa nyaman. Saya tiba di Makassar pukul 06:00 WITA. Oh ya bagi kamu yang ingin melanjutkan perjalanan ke Tanjung Bira mintalah turun di terminal Malangkeri.
ADVERTISEMENTS
Perjuangan Menuju Tanjung Bira: Dari Aksi Rebutan Koper Sampai Sensasi Naik Travel Bersupirkan Valentino Rossi
Sesampainya di Makassar kondisi jalanan masih cukup lengang. Saya pun memberi tahu supir bahwa saya akan pergi ke Tanjung Bira dan minta diturunkan di terminal Malangkeri. Supir bus menurunkan saya di sejenis entah itu pangkalan ojek atau becak saya tidak tahu persis yang jelas begitu turun, saya langsung diserbu oleh para tukang becak dan ojek tersebut. Saya pun ditarik-tarik karena si supir mengajak untuk naik kendaraannya. Saya yang masih setengah ngantuk langsung “on” begitu menerima aksi beringas dari para penjaja jasa kendaraan tersebut.
“Dek sudah naik becak saya saja, cuma Rp.25.000 yang lain Rp.30.000”
Tiba-tiba ada lagi yang bilang
“Sama saya saja dek cukup bayar Rp.20.000”
Yang lebih ekstrem menurut saya
“Saya antar Tanjung Bira Rp.100.000 pakai motor mau?”
Saya tidak bisa berkonsentrasi mendengar ajakan mereka karena ada seorang supir ojek yang langsung membawa koper saya yang baru diturunkan dari bagasi bus. Setelah saya melihatnya buru-buru saya langsung mengejar si supir dan meminta tas saya kembali. Sayangnya si supir tersebut agak keras kepala karena dia cukup ngotot membawa tas agar saya mau naik ojek dia.
“Udah gak apa-apa dek naik ini saja langsung saya antar sampai Malangkeri to? Harga Rp.20.000 saja murah itu.”
Saya pun berusaha menolak dengan sopan
“Saya nunggu teman saya pak nanti saja, sini tas saya biar saya bawa sendiri.”
Dia masih usaha terus
“Suruh temannya naik motor saya saja, berdua Rp.35.000 saja.”
Saya pun masih ngotot
“Wah Pak makasih banyak ya, biar saya nanti saja.”
Pagi ini perjalanan saya di buka dengan sarapan yang cukup menguras tenaga ternyata. Setelah menarik nafas agak lega dengan cara berlindung di balik pohon yang agak rindang kami pun langsung menghampiri tukang becak tua yang sedari tadi terlihat cukup kalem. Beruntungnya dia menawarkan harga Rp.20.000 untuk kami berdua. Begitu naik becak pun berjalan menyusuri jalanan Kota Makassar, tak sampai 5 menit si tukang becak memelankan becaknya dan berkata, “Nah ini dia dek terminalnya”.
Saya dan teman saya saling lihat-lihatan. Tidak ada bentuk terminal yang normal. Ini cuma pinggir jalan yang banyak mobil parkirnya. Saya pun memberi tahu si tukang becak kalau tujuan saya ke Tanjung Bira. Dia bilang kalau mau ke Tanjung Bira ya naik mobil-mobil yang parkir di pinggir tersebut. Itu namanya travel katanya.
Karena males berantem akhirnya saya dan teman saya pun turun. Mungkin ini adalah ongkos naik becak termahal yang pernah saya tumpangi. Saya pun bertanya-tanya kepada supir travel di mana letak bus yang akan pergi ke Tanjung Bira. Tapi berdasarkan informasi dari supir travel tersebut bahwa kalau mau naik bus besar harus menunggu sampai jam 13:00 dan pada saat kami sampai baru jam 06:00. Wah , langsung terbayang bisa keriput kami kalau menunggu di sana.
Akhirnya dengan pertimbangan waktu kami pun menyetujui naik travel itu. Pukul 07:00 mobil pun mulai berangkat. Awalnya jumlah penumpang masih “normal”. Ada sekitar 8 orang, dengan komposisi: 3 di jok bagian belakang, 3 di bagian tengah, dan dua di jok bagian depan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya mobil travel tersebut, jumlah penumpang pun naik dengan cukup signifikan.
Pertama-tama sopir menaikkan 1 penumpang dan di taruh di bagian tengah. Saya melihat dengan jelas bahwa yang duduk di bagian tengah adalah 4 ibu-ibu yang bertubuh (lumayan) besar sehingga terlihat begitu sempit. Ketika mobil berjalan lagi sekitar 1 KM, si supir pun menaikkan 1 penumpang lagi. Dalam hati saya ini penumpang mau di taruh di mana coba. Eh ternyata di taruh di bagian paling belakang alias di jok saya. Alhasil kami pun harus bersempit-sempitan di bangku kecil dengan 4 orang dewasa di atasnya.
Saya yang bertubuh kecil pun merasa terjepit di tengah-tengah situ. Mobil pun melanjutkan perjalanan, tiba-tiba pak supir berhenti dan memasukkan satu orang lagi. Buseeeet, mau tahu di taruh di mana nih orang? Ternyata si supir memintanya untuk duduk di kursi penumpang di samping si supir yang sudah ada orangnya. Jadilah mereka bapak-bapak duduk berdua.
Begitu merasa targetnya terpenuhi si supir pun langsung tancap gas. Bahkan tidak hanya kencang, mobil travel terasa seperti sedang “terbang”, meliuk-liuk bak mobil balap di sirkuit. Bahkan sanking kencangnya seorang anak yang duduk di tengah sampai menangis karena takut. Begitu sang ibu menegur, si supir memelankan mobilnya. Baru 10 menit pelan di menit ke-11 itu mobil kencang lagi. Untuk menghindari mual saya pun meminum obat anti mabuk supaya tidur dan tidak perlu merasakan ekstremnya perjalanan ini.
Baru saya memejamkan mata eh tiba-tiba tercium bau asap rokok. Awalnya saya kira dari luar tapi kok baunya kuat banget. Begitu saya lirik ke samping ternyata ada mbak-mbak yang dengan cueknya merokok di atas mobil dengan asap ke mana-mana. Kebayang dong sensasi mobil panas, penuh penumpang, sopir ugal-ugalan, plus asap rokok persembahan mbak-mbak di samping say? Perfect sih.
Perjalanan dari Makassar ke Tanjung Bira memakan waktu sekitar 7 jam dengan ongkos sebesar Rp.75.000. Akhirnya setelah mobil berjalan 1 jam saya pun mulai “menikmati” gaya menyetir sang supir yang sepertinya punya bakat untuk mengendarai Pesawat Sukhoi. Meskipun badan setengah terlempar ke kiri dan kanan, saya yang mulai mengantuk karena pengaruh obat tak tahan untuk memejamkan mata. Saya tertidur selama kurang lebih 1,5 jam. Ketika bangun teman saya bilang kalau mas-mas yang duduk di sampingnya adalah pemilik penginapan di Tanjung Bira. Wah ini sih namanya pucuk dicinta ulam pun tiba, kebetulan kami memang belum dapat penginapan. Bahkan si pemiliki hotel pun menawarkan diskon 50% dari harga normal. Dari yang tadinya Rp.300.000 kami hanya diminta membayar Rp.150.000 per kamar untuk berdua, dengan fasilitas kamar AC dan kamar mandi dalam. Tambah girang aja perasaan saya.
Dalam hati saya jujur merasa bingung kenapa ini mas-mas baik hati banget ya tapi saya yang memang punya kadar percaya diri di atas rata-rata manusia normal malah mikir, “Jangan-jangan ini karena karisma saya yang luar biasa”, hahaha ya enggaklah, palingan dia kasihan melihat penampilan gembel kami saya yang sudah tidak ada duanya. Bahkan si mas-mas baik hati tersebut juga membelikan es kelapa muda yang ampuh menghilangkan dahaga setelah perjalanan ala Valentino Rossi. Pukul 11:00 siang kami sudah sampai ke Tanjung Bira. Padahal berdasarkan estimasi mas pemilik hotel kita baru sampai pukul 12:00 atau malah pukul 13:00. Ternyata ada gunanya juga si pak supir itu ngebut ya paling enggak kita tidak harus berlama-lama di jalan lah. Makasih ya pak…
ADVERTISEMENTS
Saatnya Memanjakan Lidah. Di Tanjung Bira, Saya Gagal Menemukan Warung Makan yang Tidak Enak
Sesampainya di hotel saya benar-benar tumbang setelah menempuh perjalanan dari Toraja sampai ke Tanjung Bira selama kurang lebih 14 jam. Saya pun tertidur dengan sangat lelap di kamar hotel padahal saat itu mati lampu loh. Udara panas tidak ampuh menahan rasa kantuk saya. Begitu bangun jujur badan terasa seperti habis kerja rodi. Saya langsung membayangkan bagaimana capeknya dulu ya rakyat Indonesia yang dipaksa kerja pas zaman penjajahan.
Setelah mandi kami pun makan di warung kecil dekat hotel. Saya tidak terlalu berharap rasa makanan yang datang itu enak mengingat tempat makan saya hanya warung kecil. Apalagi harga makanan di sana cukup murah, hanya sekitar Rp.25.000 lengkap dengan ikan dan minum. Sambil menunggu makanan kami matang, kami pun melihat ada banyak bule berseliweran.
Dalam hati, jujur saya merasa bingung karena Tanjung Bira setahu saya bukanlah pantai terkenal seperti Wakatobi atau Togean. Tapi berdasarkan inverstigasi kecil-kecilan saya ternyata pantai ini merupakan salah satu spot diving paling diincar yang terletak di Sulawesi Selatan. Bahkan nih di bagian barat dan timur pantai katanya sudah dimiliki oleh ressort-ressor asing. Ini sebuah pertanda bahwa Tanjung Bira merupakan daerah wisata yang cukup potensial. Jadi bagi kamu yang punya berlebih daripada dipakai foya-foya mending beli tanah di sini deh, lumayan kan buat investasi.
30 menit kemudian makanan kami pun datang. Saya memesan ikan barakuda asam manis. Aroma makanan ini menggoda saya untuk segera mencicipi makanan tersebut. Ternyata antara rasa makanan dan aroma tidak menipu, alias enak banget. Meskipun sepertinya dimasak dengan bumbu sederhana tapi rasanya tetap enak. Orisinalitas rasa ikannya sih yang mantap. Bagi kamu yang berasal atau tinggal di Sulawesi pasti mengertilah kualitas ikan-ikan di sana memang lebih enak jika dibandingkan yang ada di Pulau Jawa.
Selama 2 hari di Tanjung Bira pun saya mencoba membandingkan rasa makanan antara satu rumah makan dengan rumah makan lainnya. Karena semuanya menurut saya enak, saya iseng cari yang tidak enak. Tapi semakin saya iseng semakin tidak ketemu. Terutama untuk hidangan makanan lautnya ya, saya acungi jempol deh. Tidak hanya nikmat di lidah, harga makanan di Tanjung Bira pun begitu bersahabat di kantung pelancong backpacker seperti saya. Untuk harga makanan dibanderol rata-rata Rp.25.000 saja. Cukup murah kan?
ADVERTISEMENTS
Rezeki Anak Soleh Tak Kemana. Hari Itu Saya Puas Menjajal Keindahan Wisata Laut Tanjung Bira
Keesokan harinya kami pun berencana untuk snorkeling karena memang keindahan alam bawah laut Tanjung Bira menjadi highlight wisata di sana. Harga sewa kapal untuk satu kali trip adalah sebesar Rp.150.000 sudah termasuk biaya sewa life jacket dan masker untuk snorkeling. Sebetulnya menurut informasi yang saya peroleh, harga sewa kapal tidak bisa semurah itu. Namun karena saya ditemani oleh local guide jadilah saya mendapat berbagai diskon yang menyenangkan hari. Nah ini salah keuntungan jalan-jalan dengan local guide. Selain kamu aman karena pasti dilihat sebagai “teman” local guide kamu juga cenderung akan mendapat harga spesial. Jadi bagi kamu yang ingin jalan-jalan murah bertemanlah dengan warga lokal.
Setelah semua alat dipersiapkan kami pun berangkat. Suara speed boat terdengar bergemuruh melawan arus sombak. Sesekali boat juga seperti menghantam benda keras di bawahnya. Tapi jangan khawatir itu bukan pertanda buruk kok. Itu cuma suara bagian bawah kapal yang terkena air saja. Pemandangan alam di Tanjung Bira memang bisa membuat orang melongo karena bagusnya. Birunya air laut terlihat begitu indah berpadu dengan birunya langit. Cuaca cerah hari itu sepertinya adalah bonus dari Tuhan untuk menemani petualangan saya di Tanjung Bira karena beberapa hari sebelumnya kata beberapa nelayan setempat hujan turun dengan derasanya. Puji Tuhan rezeki anak soleh memang gak ketuker (apasih)
Begitu kami memulai snorkeling keindahan alam bawah laut Tanjung Bira yang sedari kemarin digembar-gemborkan terjawab sudah dengan aneka ragam ikan warna-warni serta terumbu karang yang menghuni laut Tanjung Bira. Terumbu karang di sini terbilang cukup sehat. Entah karena kepedulian wisatawannya atau karena memang objek wisata ini belum terlalu pupuler seperti wisata alam bawah laut Indonesia lainnya.
Setelah puas bersnorkeling ria saya pun berniat pulang dan beristirahat di penginapan. Namun tawaran untuk mencoba wahana banana boat begitu menggoda. Dibanderol dengan harga Rp. 30.000 saja para wisatawan sudah bisa menikmati sensasi terbanting dari atas perahu karet ini. Tentu kesempatan emas tersebut tidak saya lewatkan begitu saja. Saya pun menerima tawaran bermain banana boat yang memang seru itu. Setelah permainan berakhir saya pun kembali ke penginapan dengan hati riang. Dengan tidak lupa menyantap makan siang nan nikmat dengan harga hemat menjadi pelengkap kesempurnaan liburan saya.
ADVERTISEMENTS
Mengucap Selamat Tinggal Dengan Mengunjungi Pantai Rahasia, Sisi Lain Tanjung Bira
Keesokan sorenya kami diajak oleh pemilik hotel untuk melihat sisi lain dari Tanjung Bira. Kami pun dipinjamkan satu buah motor karena katanya kamu akan diajak melihat dari balik gunung. Di sana ada spot melihat sunset dan pantai yang masih belum banyak dijamah oleh wisatawan. Kami pun mengiyakan ajaan pemilik hotel. Perjalanan untuk melihat sisi lain dari pantai Tanjung Bira agak sedikit merepotkan. Jalanannya cukup terjal dan berbatu. Di kanan kiri kami nampak seperti kebun-kebun yang belum terjamah.
Perjalanan terjal tersebut harus kami tempuh selama kurang lebih 2o menit. Tangan dan pinggang lumayan tegang juga karena medan yang tak gampang. Turun dari motor kami masih diharuskan melewati jalanan setapak yang lumayan licin dan berumput tajam. Tapi begitu kami berhasil melihat sisi pantai, kami jadi tahu kenapa kami harus sedikit bersusah payah untuk datang ke sana.
Pantai ini adalah pantai yang landai, berpasir putih, dan begitu tenang. Nyaris tidak ada ombak di pinggir pantai membuat saya rasanya ingin berenang. Airnya pun sangat bening persis seperti air dalam kemasan. Jika kamu melihatnya mungkin ini mirip dengan kolam renang raksasa yang merayu siapa saja yang melihanya untuk berenang.
Semburat matahari sore yang ingin pulang menemani kami menikmati keindahan sisi lain pantai Tanjung Bira. Ya ini benar-benar sisi lain dan benar-benar berbeda. Romantisme dan eksotisme bercampur menjadi satu menyisakan kenangan manis dalam perjalanan kali ini. Terima kasih Bira..
Berada 2 hari di Tanjung Bira bukanlah jumlah hari yang cukup untuk mengeksploitasi keindahan tiap jengkal keindahan pantai ini. Saya rasa masih banyak lagi keindahan-keindahan yang belum saya ketahui. Suatu saat saya berjanji akan mengunjungi tempat ini lagi entah dengan teman baru, orang tua, atau mungkin pasangan hidup? Entahlah. Yang jelas buat saya bagi kamu penikmat keindahan pantai dan alam bawah jika suatu saat kamu punya kesempatan untuk datang ke sini. Jangan pernah lewakan kesempatan tersebut.
Karena seperti saya mau bilang ke kamu,
I swear this is heaven.