Hipwee Travel mulai bulan ini akan memberikan liputan khusus destinasi wisata populer di Indonesia. Kami menamainya Reportase Jelajah Wisata. Tiap bulannya kami akan mengupas satu destinasi yang sering jadi impian para traveler. Tak cuma destinasinya saja, kami juga akan membahas sudut pandang dan cerita-cerita lain seputar destinasi tersebut yang tak pernah ternarasikan sebelumnya.
Untuk destinasi pertama pilihan kami jatuh ke Labuan Bajo, tempat wisata hits yang sering disebut surga yang tertinggal di dunia. Ada 4 tulisan di Reportase Jelajah Wisata Labuan Bajo. Simak tulisan terakhir yang akan mengulas tentang dampak turisme massal di Taman Nasional Komodo. Yuk simak!
Artikel Pertama :Â Pulau Padar, Salah Satu Pulau Paling Instagramable di Indonesia. Begini Potret Pesonanya yang Tiada Tara!
Artikel Kedua :Â Panduan Budget Berlibur ke Pulau Komodo. Begini Trik Biar Kamu Bisa Hemat Banyak!
Artikel Ketiga :Â Kisah Misteri yang Dialami Kapten Kapal di Lautan Pulau Komodo. Cukup Serem Juga Sih!
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pariwisata di Labuan Bajo meningkat secara pesat. Semenjak Komodo jadi salah satu nominasi The Seven Wonder of Nature, keindahan Taman Nasional Komodo pun segera terekspose dengan sangat vulgar ke seluruh penjuru dunia. Hasilnya, nama Komodo makin terkenal dan hadirlah turisme yang gila-gilaan. Tahun 2017 saja, kunjungan wisatawan baik domestik dan internasional mencapai 122 ribu orang. Itu lonjakan yang sangat drastis mengingat tahun 2016 hanya 85.000 wisatawan yang datang ke Labuan Bajo.
Hipwee Travel jauh-jauh ke Labuan Bajo tidak ingin membahas statistik lonjakan pengunjung yang drastis ini. Hal yang ingin saya ulas adalah dampak dari kedatangan ratusan ribu manusia di taman nasional yang dilindungi tersebut. Seberapa parah dampak yang ditimbulkan turisme massal di Labuan Bajo?
ADVERTISEMENTS
Beberapa waktu lalu, The Guardian menulis artikel tentang kerusakan massif di bawah laut Kepulauan Komodo. Sempat ramai di media, namun pihak taman nasional buru-buru membantahnya
Akhir bulan lalu The Guardian menerbitkan tulisan ‘Destroying the world’s natural heritage: ‘Komodo is reaching a tipping point’. Tulisan itu menjelaskan bahwa bawah laut Pulau Komodo di Taman Nasional Pulau Komodo, NTT pelan-pelan hancur, terutama terumbu karangnya. Hal ini diakibatkan oleh penangkapan ikan ilegal, penambatan jangkar di tempat penyelaman, dan perburuan ikan hiu. Setidaknya begitu hasil wawancara The Guardian dengan Ed Statham, salah satu operator diving di Labuan Bajo.
Pihak Taman Nasional Komodo bersama Kementerian Pariwisata bergerak cepat untuk mengecek bawah laut Pulau Komodo yang katanya rusak. Hasilnya, mereka menyatakan bahwa kondisi bawah laut Komodo baik-baik saja dan habitatnya masih terjaga. Terumbu karang dan ikan-ikannya masih dalam kondisi baik. Ya kita nggak tahu ya mana yang benar.
Saya tidak mencoba spot diving di Komodo. Jadi tidak bisa memastikan rusak atau tidaknya. Satu hal yang pasti, di beberapa spot snorkeling, terumbu karang memang sudah rusak dan jarang terdapat ikan warna-warni. Benar jika alasan utamanya adalah jangkar kapal. Semua turis ‘kan memang tinggal di kapal dan menepi tak jauh dari pantai. Nah, banyak lokasi snorkeling yang dekat pantai cukup rusak.
ADVERTISEMENTS
Ubur-ubur tanpa sengat yang habitatnya di Pulau Sembilan kini pun sudah tidak ada. Tampaknya ubur-ubur ini sudah bermigrasi dari pulau tersebut
Pulau Sembilan selalu didatangi kapal-kapal wisatawan karena ingin melihat dan menyentuh ubur-ubur tanpa sengat. Tapi sejak tahun lalu ubur-ubur sudah tidak bisa lagi ditemukan di pulau ini. Entah karena masalah cuaca atau ekosistemnya terganggu dengan banyaknya turis, ubur-ubur tanpa sengat telah bermigrasi. Kini, pulau itu sangat jarang dikunjungi oleh wisatawan semenjak hilangnya ubur-ubur. Tapi kapten kapal tahu, ubur-ubur itu sejatinya hanya berpindah tak jauh dari sana.
ADVERTISEMENTS
Dampak paling terasa adalah kehadiran banyak turis asing dengan segala kebiasaan ‘bebas’ mereka. Tak jarang mereka melakukan aktivitas seks di sembarang tempat sesuka hati mereka
Sebagai destinasi yang didominasi oleh tamu asing, wajar terjadi perubahan budaya maupun kebiasaan yang diakibatkan banyaknya turis yang datang. Sebagai orang Barat, mereka menganggap bahwa budaya kebebasan ala Barat bisa dilakukan di mana saja. Hal yang sering terjadi adalah berhubungan seks di kapal ketika berlayar. Masih mending kalau dengan pasangannya, lebih sering kenalan di kapal dan langsung sudah ‘esek-esek’ di malam hari. Nggak cuma di kapal, di pantai atau di dalam laut pun jadi. Jadi, buka baju sembarangan dan mandi nggak ditutup pun sudah biasa. Cowok dan cewek sama aja. Mabuk-mabukan sampai teler di kapal pun sering terjadi juga.
Baru saja dua bulan lalu, ada tamu saya yang lesbian Bang. Dia buka bikininya di sini (menunjuk di ruang depan kapal yang terbuka. Lalu dia nggak pakai baju sama sekali naik ke atas kapal untuk mengambil bra miliknya. Duh, malu saya Bang. Semua penumpang kapal yang lain menyoraki ke sini. Bawa sial Bang yang begini. Kapal saya rusak abis itu.
– Kapten Jo, kapten kapal saya
Dampak paling keras menurut kapten Jo adalah pergaulan bebas di kota Labuan Bajo akibat banyak munculnya bar. Banyak juga yang tertular penyakit kelamin akibat berganti-ganti pasangan. Warga lokal yang awalnya lugu jadi terbiasa dengan budaya tersebut. Bahkan tak jarang mereka menikah dengan bule yang keasikan tinggal di Labuan Bajo.
ADVERTISEMENTS
Sampah selalu menjadi dampak serius ketika suatu tempat menjadi destinasi wisata yang populer. Tak terkecuali Labuan Bajo
Sebenarnya, pulau-pulau di Taman Nasional Komodo relatif cukup bersih. Tidak banyak sampah berserakan. Tapi jika kamu perhatikan di lautan dan beberapa pantai, maka kamu bisa menyaksikan beberapa sampah plastik yang terapung dan mengotori lautan. Hal ini jamak terjadi di pantai-pantai lain, namun Labuan Bajo seharusnya bisa menjadi contoh karena destinasi ini sedang dikembangkan besar-besaran oleh pemerintah. Jangan sampai, wajah taman nasional Komodo tidak bersih dan nyaman.
Itulah beberapa dampak yang muncul akibat meningkatnya popularitas Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo beberapa tahun terakhir. Bagi saya yang baru saja ke sana, surga yang sangat indah ditinggalkan di Indonesia ini harus benar-benar dijaga. Kalau tidak kekhawatiran dalam artikel The Guardian di atas bisa jadi kenyataan.