Agustus 2016, jadwal festival-festival berkualitas di tanah air berkumpul. Salah satu yang paling tenar ialah Dieng Culture Festival (DCF). Acaranya memang keren-keren, mulai dari penampilan Cak Nun dengan Kiai Kanjeng, Jazz Atas Awan, pesta kembang api dan lampion, hingga jamasan, pencukuran rambut dan pelarungan rambut anak gimbal khas Dieng. Semua ada di festival ini. Acara yang dihelat pada 5-7 Agustus kemarin ini cukup heboh juga di sosial media. Kalau kamu kira event atau festival ini benar-benar meriah dan membahagiakan, mungkin hal-hal dibalik hiruk pikuk festival budaya ini layak kamu baca.
ADVERTISEMENTS
Ada nyaris 100 ribu pengunjung dalam festival tahunan ini. Keramaian memang hal wajar, tapi harusnya kualitas nggak boleh bergeser kan?
Pesta lampion memang jadi rutinitas yang selalu ada dan dinantikan setiap Dieng Culture Festival. Tahun ini, ada sekitar 5 ribu lampion yang diterbangkan. Dan yang harus kamu tahu, katakanlah dari 7 lampion yang diterbangkan, ada 2 diantaranya yang akan jatuh saat belum benar-benar tinggi. Ketinggiannya pun tak seberapa untuk yang dikatakan berhasil terbang dan kemudian jatuh ke bumi. Kamu tahu kan kalau pada akhirnya mereka, lampion-lampion itu bakal jatuh? Ya tapi nggak akan ada yang tahu sih lokasi jatuhnya dimana. Ya, sebenernya nggak papa pesta lampion, setahun sekali, dan buat ritual kegamaan ataupun budaya. Tapi ya, tolong kualitas bahan lampionnya yang bagus sekalian. Kertasnya itu lho, kan bayarnya juga lumayan. Belum lagi, ternyata disana banyak yang jual lampion berbahan plastik juga, hiks. Bukannya plastik jauh lebih sulit dan lama terurai dibanding kertas ya?
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Dieng Culture Festival sudah terselenggara 7 kali, tapi tidak dengan ritual adat potong rambut gimbal. Ini sudah jadi ruwatan rutin sejak ratusan tahun silam
Prosesi pemotongan rambut gimbal merupakan ritual adat yang begitu dinanti-nantikan setiap Dieng Culture Festival. Ritual ini selalu dipimpin sesepuh di dataran tinggi Dieng, tahun ini dipimpin Mbah Naryono. Dilansir dari BBC, Naryono menuturkan, rambut gimbal umumnya dialami sebagian penduduk di kawasan lereng empat gunung, yakni Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu, dan Gunung Rogojembangan.
“Jadi, kalau ada permintaan dari anak berambut gimbal, harus dipenuhi. Jika sudah dikabulkan orang tuanya, pemotongan rambut gimbal baru bisa dilaksanakan,” ujarnya. …
Nah, yang tahun ini kok kesannya kurang khidmat ya. Mungkin bakal lebih khidmat kalau semua menikmati hanya dengan mata. Bukannya tongsis ada dimana-mana, kalau begitu apa bedanya dengan kamu nonton di sosial media? Drone pun banyak dan lumayan mengganggu suara ketika ritual dilangsungkan. Sekadar saran, untuk ke depannya nanti mungkin panitia bisalah ya membuat peraturan untuk wisatawan yang boleh masuk ke venue nggak usah bawa gadget, kecuali wartawan. Atau bisa juga ditambah layar gede gitu biar yang belakang tetep kelihatan, kan sama-sama bayar.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Dengan adanya DCF memang merupakan rizki melimpah bagi masyarakat setempat, khususnya yang punya homestay. Tapi ternyata nggak berlaku untuk pedagang di tempat wisata lho~
“Bersyukur banget ya buk dengan adanya Festival ini tiap tahun? Pendapatan naik berapa persen kalau kaya gini?”
“Naik apanya mbak? Pendapatan masih lebih banyak pas weekend.”
Ya gitu. Memang ribuan orang datang ke Dieng. Kebanyakan mereka makai jasa travel agent, otomatis segalanya, termasuk penginapan dan makan sudah disediakan dong. Mereka memang datang berkunjung ke tempat wisata juga, tapi jarang yang jajan disana. Kenapa? Ya karena mereka sudah dapat jatah dari homestay-nya sekalian. Penuturan beberapa pedagang di beberapa tempat wisata seperti Telaga Warna dan Kawah Sikidang sih seperti itu. Nggak ngaruh ke pendapatan mereka. Tapi beda lagi buat yang punya homestay. Sebuah homestay di dekat Candi Arjuna misalnya, di hari biasa dipatok harga Rp 35 ribu per kamar, tapi saat DCF tiba, harganya bisa jadi Rp 200 ribu. Dan semua homestay serta hotel di wilayah Dieng penuh tiga hari kemarin. Melimpah ruah banget kan pendapatan mereka? Luar biasa!
ADVERTISEMENTS
Panitia dan beberapa pemilik homestay serta pedagang bilang, tahun ini jauh lebih banyak pengunjung dari luar kota dibanding warga sekitar Dieng. Bahkan ada orang Dieng yang lebih milih ‘ngungsi’ ke luar kota lho
Satu cerita dari warga nih, semakin bertambah riuhnya acara ini setiap tahun, bahkan ada dari mereka yang mengungsi ke luar kota untuk menghindar dari sorak sorai.
Jumat sore (5/8) di sebuah warung makan
“Bapak mau kemana Pak?”
“Ke Purwokerto mbak, disini udah mulai ramai.”
“Iya, udah pembukaan Festivalnya kan pak?”
“Karena itu. Jadi macet dan ramai, banyak orang, saya mau ke rumah saudara aja sampai Minggu mbak.”
Dari percakapan singkat itu, mungkin kamu bisa menyimpulkan kalau tujuannya pergi bukan karena ada acara yang harus didatangi, tapi karena Bapak-anak itu menghindari hingar bingar pesta budaya di Dieng. Dari sini kamu bisa belajar, bahwa keramaian tak selalu membuat orang-orang merasa bahagia. Bahwa hidup tak selalu harus mengikuti apa yang disukai banyak orang, karena tiap orang punya standar ketenangan dan kebahagiaan masing-masing.
Tapi, keramaian tak hanya menggiurkan bagi para wisatawan penggemar pesta saja, melainkan juga bagi mereka yang butuh mencari tambahan penghasilan misalnya.
“Mbak, ada jaket, baju atau celana yang jelek dan nggak kepakai? Saya kedinginan.”
“Ibuk ngapain nggak pakai jaket? Dari mana?”
“Saya dari Jogja, tadi ngamen di Wonosobo. Katanya di Dieng ramai, jadi saya kesini. Tapi dingin ternyata”
Well, demi sesuap nasi dan beberapa lembar rupiah, ada pengamen yang rela ke Dieng tanpa persiapan apapun. Namanya hidup, selalu ada pro kontra sih ya. Kadang hiruk pikuk justru jadi kebutuhan untuk kalangan tertentu. Pengamen dan pengemis misalnya~
Balik lagi, soal ritual adat, ruwatan anak rambut gimbal. Kalau menurutmu, yang di festival itu begitu prestise, ternyata enggak bagi masyarakat lokal
“Disini masih banyak buk, anak-anak yang punya rambut gimbal?”
“Nggak sebanyak dulu sih, makin berkurang nggak tahu kenapa. Anak saya dulu rambutnya gimbal juga lho mbak.”
“Terus pernah ikut festival ini juga dong buat diruwat?”
“Enggaklah mbak, malu. Saya ruwat sendiri dulu.”
“Kenapa? Kok malu buk?”
“Ya kan diarak keliling gitu. Yang di festival ini kebanyakan nggak mampu mbak, sama kaya datengin sunatan masal gitu atau nikah masal.”
Jadi gini, sekilas cerita ya, kalau misal kamu sempet kepikiran, ini kuotanya berapa sih buat anak yang diruwat di festival ini? Dan berapa banyak yang daftar? Maaf, pertanyaan itu kurang tepat. Sebab, berdasarkan info yang Hipwee Travel himpun, yang mau diruwat itu nggak rebutan lho anak-anaknya. Iya, memang dibuka pendaftaran, tapi seringnya sih panitia yang jemput bola. Lebih prefer ke mereka yang tinggal di pelosok Dieng, dan memang prioritas ke yang nggak mampu. Karena semuanya dibiayai pemerintah dan sponsor acara ini. Kalau punya duit, warga lokal pilih ruwat sendiri dan nggak harus pas Agustus begini. Mereka bakal bikin acara syukuran gede-gedean layaknya orang nikahan gitu.
Penasaran soal Rizi, si maskot rambut gimbal? Oke ini jawabannya…
Muhammad Alfarizi Masaid (Rizi), 13 tahun, kelas VIII SMP, maskot rambut gimbal yang diangkat oleh provinsi Jawa Tengah. Konon katanya, rambut gimbal si anak gembel (jangan bingung please) nggak boleh dipotong atau diruwat kalau bukan si anak sendiri yang minta. Apakah sejauh ini Rizi nggak pernah minta? Pernah, beberapa tahun lalu dia minta diruwat dengan imbalan hadiah berupa reog Ponorogo. Kebayang dong berapa harganya, kala itu orang tuanya belum mampu, jadi ya belum diruwat hingga akhirnya sekarang dia diangkat jadi maskot provinsi. Beberapa kali muncul di stasiun televisi juga.
“Kalau dipotong nanti kan nggak jadi maskot lagi, hehee..” begitu kata paman Rizi. Semoga emang cuma bercanda, dan nggak ada indikasi mengomersilkan ya? Hehehe
Terlepas dari itu, rambut gimbal dia memang unik, lain daripada yang lain. Kalau kebanyakan rambut gimbal itu hanya tumbuh sebagian aja, si Rizi semuanya bener-bener gimbal. Kalau diruwat itu dipotong rambut gimbalnya aja, kalau Rizi suatu saat diruwat ya habis rambutnya. Luar biasa lho!
Terakhir, kalau kamu niat ke Dieng untuk mencari ketenangan, mending jangan pas DCF digelar. Akan lebih tepat kalau kamu kesana saat weekdays saja
Dieng itu indah, bagus, dingin, damai, tenang, negeri di atas awan, apa lagi? Tapi, saat DCF tiba, ada yang bilang Dieng sedikit mirip dengan Jakarta. Ya tetep indah, tetep bagus, tetep dingin, tapi jadi macet karena banyak kendaraan luar kota masuk. Sekarang kamu bayangin ya, kalau jalan kaki aja macet, gimana nasib yang bawa mobil atau malah naik bus? Minggu (7/8), pas acara inti dihelat, yakni ruwatan anak rambut gimbal, kemacetan parah terjadi di Dieng. Sebutlah dari lokasi parkir kendaraan roda empat, menuju pertigaan keluar Dieng yang hanya sekitar 500 meter, membutuhkan waktu 2,5 – 3 jam. Lama kan? Sekadar saran, kalau yang kamu cari ketenangan, kemarilah saat weekdays saja. Tapi tetep, festival ini layak kok kamu datangi.
Satu informasi lagi buat kamu, kalau kamu penasaran dengan perputaran uangnya, ya semua bisa memprediki betapa fantastisnya sih ya. Pada tanggal 5-7 Agutus 2016 ini DCF diyakini mampu mendatangkan Rp 45 miliar. Masuk kemana sih uangnya? Ya ada yang dirasakan masyarakat Dieng dan sekitarnya, pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo juga. Malahan menurut Dwi Suryanto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara, perputaran uang bisa lebih dari Rp 45 miliar.
“Tahun lalu saja, saat pengunjungnya 60 ribu, perputaran uangnya hampir menembus Rp 45 miliar. Sekarang harusnya lebih dahsyat lagi, bisa dua kalinya,” ungkapnya dilansir dari indopos.
Kamu makin penasaran dengan event budaya satu ini? Yang sabar, tunggu Dieng Culture Festival tahun depan ya. Semoga lebih baik lagi. Selamat menjaga budaya 🙂