Obrolan saya dengan Andra Alodita siang itu masih terus berlanjut. Meski pukul 2 siang, ia harus terbang kembali ke Jakarta, pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan dijawabnya dengan santai, seperti ngobrol dengan teman sendiri. Padahal, ia tak tahu kalau saya cukup nervous, apalagi melihat wajahnya yang flawless. Tentu saja kalau dibandingkan dengan wajah saya, bagai bumi dan langit, jauh banget! Hahaha..
Ini adalah tulisan pamungkas dari bagian pertama interview saya dengan Andra Alodita. Tak berhenti pada masalah pekerjaan, make-up dan keluarga saja, kali ini Andra juga berbicara sedikit mengenai pernikahan mereka yang sudah memasuki tahun ke 5. Termasuk juga gaya parenting a la Andra dan tentang program bayi tabung yang pernah dijalaninya. Penasaran? Mari kita simak sama-sama.
ADVERTISEMENTS
Sudah berapa lama sih, Andra menikah dengan Abenk? Ada tips yang bisa dibagikan untuk mereka yang akan segera menikah?
“Aku menikah di umur 25, sedangkan Abenk saat itu 26 tahun. Aku setuju banget kalau banyak orang bilang 5 tahun pertama pernikahan adalah waktu yang sangat krusial. Kebetulan tahun ini (2017) pernikahan aku sudah masuk tahun ke 5. Banyak orang mengira, menikah itu enak, bisa happy terus, bisa berduaan terus. Padahal sebenarnya, menikah justru punya banyak tantangannya. Menurutku, komitmen sama komunikasi itu penting banget. Karena jadi suami istri bukan berarti nggak punya perbedaan”.
“Misalnya, aku paling nggak suka kalau Abenk telat. Aku bilang baik-baik dan sertakan juga alasannya kenapa aku nggak suka. Jadi, sampaikan dengan jelas apa yang jadi masalah saat itu juga. Sampai sekarang, aku jarang banget berantem sama suami sampai berlarut-larut. Karena menurutku, itu justru akan memperburuk suasana. Banyak perceraian yang bermula dari hal sepele. Makanya, komunikasi dan komitmen itu menurutku sangat penting”.
ADVERTISEMENTS
Bagaimana mengenai program bayi tabung yang pernah Andra jalani?
“Aku akhirnya menjalani program bayi tabung setelah 3 tahun menanti kehadiran buah hati. Memilih program bayi tabung tentunya bukan tanpa alasan. Pembaca blog-ku pasti sudah tahu bahwa kesempatanku untuk hamil secara normal hanya 5 persen saja, karena faktor tuba falopiku yang sudah diangkat dua-duanya”. (Kamu bisa baca dengan detail tentang proses perjalanan bayi tabung Andra Alodita secara lengkap di sini).
“Setelah menjalani program ini, banyak juga teman dekatku yang masih bertanya-tanya, ‘emang bayi tabung itu diapain, sih?’ Menurut aku, edukasi mengenai bayi tabung di Indonesia masih sangat kurang. Banyak orang mengira, kalau kamu punya anak lewat bayi tabung, kamu pasti ada kelainan. Padahal ya belum tentu juga. Bayi tabung hanya salah satu cara untuk bisa punya anak. Di sini (Indonesia), bisa dibilang masih dianggap tabu, jadi banyak yang malu kalau hamil lewat cara ini karena dianggap nggak bisa hamil secara normal. Padahal di Amerika sendiri, orang yang sedang dalam terapi program kehamilan (infertility), sangat dibantu dan diperhatikan dengan baik seperti penyakit kritis lainnya”.
ADVERTISEMENTS
Berarti akan ada program bayi tabung ke 2?
“Iya dong, sayang embrionya. Tapi untuk waktunya belum tahu kapan”.
ADVERTISEMENTS
Apa pesan yang ingin disampaikan untuk mereka yang sampai saat ini belum juga dikarunia momongan?
“Berusaha semaksimal mungkin, kemudian pasrah sama Tuhan. Jangan lupa untuk banyak cari tahu, karena masalah yang dihadapi tiap orang sampai belum juga hamil itu beda-beda. Nggak boleh nyerah. Kalaupun harus lewat bayi tabung, itu juga harus sesuai kehendak hati, ya. Biar lebih siap”.
ADVERTISEMENTS
Sekarang ‘kan Andra sudah jadi Mama, ceritain dong tentang parenting a la Andra Alodita?
“Cuek. Aku selalu membiarkan Aura mandiri. Mungkin bagi sebagian besar orang itu terlihat aneh, aku biarin Aura jatuh, kasih makan gorengan, kasih makan pedes. Sedangkan di komplek rumahku aja, anak-anak tetangga selalu digandeng terus sama mbaknya, nggak boleh jatuh, kalau anaknya lecet, baby sitternya dimarahin. Kalau aku sama suami sama-sama punya prinsip bahwa anak nggak boleh dilarang, toh dia masih kecil. Nanti dia akan tahu sendiri kok betapa sakitnya jatuh, dari situ dia akan belajar untuk hati-hati”.
“Seperti contohnya, rumahku ada 3 lantai dan nggak ada pengamannya sama sekali. Sejak awal tinggal di situ, aku selalu bilang, Aura ini tangga, kalau main di sini bahaya sekali, nanti Aura bisa jatuh. Setahun tinggal di rumah itu, Aura selalu kasih kode untuk minta bantuan saat akan naik atau turun tangga. Begitu juga dengan rules yang aku terapkan di rumah seperti kalau makan harus duduk, makan nggak boleh sambil nonton, kalau mau nonton ada jamnya sendiri. Anak kecil itu sebenarnya pinter banget, justru kita yang banyak belajar dari mereka”.
“Saking cueknya, aku sering banget dilihatin orang kalau Aura tiba-tiba nangis dan aku nggak terlihat segera menolongnya. Karena menurutku, aku justru membiarkan dia berekspresi. Sama aja kayak kita sebel, kecewa, marah. Bedanya, kita bisa ungkapkan, sedangkan anak seumuran Aura ekspresinya dikeluarkan lewat tangisan itu”.
ADVERTISEMENTS
Kalau tantangan sama suami setelah jadi orang tua?
“Sabar dan jadi sering menghabiskan waktu bareng sama suami dan anak. Anak zaman dulu cuma tahu orang tuanya kerja, sampai rumah sudah malam dan marah-marah karena capek. Kalau aku sama Abenk sebisa mungkin melibatkan Aura, sesimpel dengan kita ngomong dan kasih tahu barusan pergi dari mana, ngapain dan ketemu siapa. Jadi kalau aku atau Abenk pulang kerja, kita selalu ngumpul bertiga. Walaupun dia belum ngerti, tapi itu jadi latihan juga buat aku sebagai orang tua untuk terbuka dan cerita sama anak sedini mungkin”.
“Selain itu, paling nggak seminggu atau dua minggu sekali kita ajak Aura ke tempat kerja. Misalnya ke tempat pameran lukisan Abenk, dia jadi tau yang mana lukisan papanya dan selalu bilang ‘Ini Papa’ sambil nunjukin lukisan karya papanya. Dari situ aku berharap Aura mengerti tentang pekerjaan orang tuanya”.
“Aku juga belajar banyak dari French Parenting, dan itu gila banget. Dari situ aku tahu kalau sebaiknya anak itu justru langsung saja dikasih makanan orang dewasa. Itu memudahkan banget lho ternyata, anak jadi nggak picky eater, apalagi kalau travelling. Jadi kalau di rumah, aku bebasin Aura mau makan apa saja yang tersedia di meja untuk pilih sendiri semau dia”.
Rasanya saya, dan kamu yang baru saja membaca tulisan ini jadi banyak belajar dan makin terbuka tentang pekerjaan yang ternyata nggak melulu di ruangan bernama kantor dan harus di bawah sebuah institusi, tentang perawatan wajah tanpa harus ke dokter, pernikahan, bayi tabung dan tentunya jadi orang tua. Obrolan kami ditutup dengan foto bersama. Tak lupa saya juga berterima kasih kepada Darin Rania yang ikut menemani saya siang itu.
Terima kasih banyak, Andra. Sukses terus untuk karier dan juga keluarganya, ya!