Walau kini sudah banyak bermunculan perempuan yang memilih berkarier dan sukses sebagai seorang womenpreneur atau women leader, ternyata partisipasi yang tercatat masih tergolong kecil. Hal ini tak bisa dipisahkan dari narasi-narasi yang selama ini dibangun oleh lingkungan sosial.
Narasi bisnis dan kepemimpinan selama beratus bahkan beribu tahun adalah narasi maskulin. Zaman dulu, pemegang keputusan itu laki-laki. Pembuat hukum dan kebijakan di pemerintahan maupun perbankan dan pengaturan ekonomi dilihat dari narasi laki-laki, sehingga gayanya sangat maskulin.
Ketika bisnis dijalankan oleh seorang perempuan, lalu ada approval, misalnya apakah orang ini cukup mampu untuk mengembalikan pinjaman dan cukup mampu untuk membesarkan perusahaan, seobjektif apa pun biasanya masih juga ada bias-bias. Apalagi, kalau memang tidak dijaga secara sangat objektif untuk menghindari adanya bias-bias tersebut.
Ini yang menyebabkan secara persentase kalau kita melihat statistik seluruh dunia, founder atau pemilik bisnis perempuan lebih susah untuk mendapatkan capital, financialsupport, ataupun partnership support lainnya.
Meskipun begitu, bukan berarti karena terlahir sebagai seorang perempuan kita tak bisa bersaing di pasar. Dengan kualifikasi yang dimiliki, kita juga bisa mendobrak stigma-stigma ini. Namun, ada cara pandang tertentu yang harus kita ubah.
ADVERTISEMENTS
Perempuan sering dianggap menjadi orang yang akan lebih banyak mengurus urusan rumah tangga, akhirnya mereka dapat stigma bahwa pekerjaannya tak lagi maksimal ketika sudah memutuskan berkeluarga
Secara socialconstruct dan statistik, bisa dibilang tanggung jawab untuk pekerjaan domestik jatuh di pihak perempuan. Bahkan, di negara-negara yang sudah sangat setara dalam hal hak dan kewajiban perempuan, seperti negara-negara di Skandinavia saja saat disurvei sebagian besar pekerjaan domestik masih dibebankan ke perempuan.
Mungkin ini ada relasinya dengan kodrat perempuan, yaitu mengandung dan melahirkan anak. Akhirnya, pengurusan anak dan segala hal domestik harus dilakukan oleh perempuan. Ketika muncul stigma bahwa ketika kita mempunyai tim atau staff perempuan yang pekerjaannya tak lagi maksimal, kita harus bertanya dulu, apakah ini subjektif atau objektif. Pengukuran itu melalui apa. Apakah pengukurannya adalah jam kerja, kesediaan lembur, kesediaan untuk diberikan selama berminggu-minggu, atau pengukurannya itu lebih ke arah bagaimana dia bisa mencapai hasil atau objektif yang ditetapkan oleh perusahaan.
Jadi, terkait hal ini juga membutuhkan perubahan dalam proses organisasi, apa yang menjadi punishment dan reward. Kalau memang hanya mengikuti sesuatu yang bersifat kuantitas, maka akan sangat sulit. Jadi, asumsi itu harus dites lagi dengan data. Belum tentu sebenarnya pekerja laki-laki atau pekerja yang bisa menyumbangkan waktu jam kerja lebih lama lebih produktif daripada yang tidak. Pun, belum tentu pekerja perempuan menyumbang jam kerja lebih sedikit dari pekerja laki-laki. Kita harus bergerak dari data dan memang harus diukur dulu apakah teks tersebut bisa divalidasi atau tidak secara objektif.
ADVERTISEMENTS
Dengan banyaknya anggapan yang ‘menempel’ pada womenpreneur, partisipasi perempuan dalam bisnis juga masih perlu didorong
Partisipasi kecil/ Illustration by Hipwee
Kalau kita melihat partisipasi bisnis perempuan pengusaha di level mikro dan kecil sebenarnya banyak. Di UKM level mikro dan kecil, partisipasi perempuan menurut data dari IFC World Bank, lebih dari 50%. Namun, ketika bergerak maju ke bisnis menengah, data ini drop ke 30%. Lalu, overall GDP atau pendapatan Indonesia yang disumbang oleh pengusaha perempuan hanya 9,1%. Tandanya 90% perputaran ekonomi yang besar ini masih dipegang oleh kaum laki-laki. Sehingga, kalau kita mau bilang menyikapi womanpreneur tergantung pada level apa dulu.
Begitu juga di KUMPUL. Kami berusaha menjaga inklusi dengan cara misalnya ketika kita mempunyai program mentor, sebisa mungkin 50:50 antara perempuan dan laki-laki. Hal ini masih harus diperhatikan karena di beberapa sektor masih sangat sedikit perubahannya dan hal itu membuat perspektif bahwa sektor tersebut hanya untuk laki-laki. Jadi, ini yang harus pelan-pelan kita dalami, yaitu pemahaman gender karena ketika kita bicara tentang sektor STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) misalnya, secara sadar kita masih berpikir bahwa bidang ini dikerjakan oleh laki-laki.
Nah, seperti yang disebutkan sebelumnya, masih ada narasi bahwa perempuan yang dinilai bisa sukses saat ini atau bisa memegang posisi pemimpin adalah perempuan-perempuan yang mungkin mempunyai karakter maskulin. “Oh dia itu cukup tegas. Oh dia itu ngomongnya keras. Oh dia itu seneng banget untuk mobile.” Padahal, belum tentu juga itu adalah karakter-karakter yang bagus untuk seorang pemimpin, tetapi itu yang secara tidak sadar di-endorse di berbagai kesempatan.
ADVERTISEMENTS
Tak hanya di dunia bisnis, perempuan juga berhak untuk mengembangkan karier di bidang teknologi
Peran perempuan dalam dunia teknologi sebenarnya semakin besar. Dalam masa pendidikan sebenarnya ada talenta-talenta atau skill-skill tanpa memandang dia perempuan atau laki-laki. Namun, kalau kita urutkan, ada banyak sektor seperti STEM tadi yang menarik orang-orang untuk punya persepsi bahwa ini bidang laki-laki atau untuk perempuan. Jadi, kita bisa mendorong gerakan-gerakan yang memang membuat lebih banyak partisipasi perempuan di dunia STEM itu lebih normal.
Nah, dengan mempunyai beberapa role model yang bisa sharing, maka akan membuka wawasan lebih banyak orang bahwa sebenarnya dunia ini terbuka juga untuk perempuan. Mempunyai beberapa mentor atau orang yang sudah lebih dulu melakukan dan sukses sebagai benchmark juga bisa mendorong teman-teman yang mau memulai untuk lebih berani dalam melangkah.
Menjadi mentor/ Illustration by Hipwee
Ketika saya menjadi mentor untuk banyak start-up, percayalah, ketika mereka tujuannya adalah customer atau retail, hampir sebagian besar targetnya adalah perempuan. Pasalnya, ada banyak sekali lini dalam kehidupan sehari-hari di mana yang mengambil keputusan adalah perempuan, misalnya apa yang harus dibeli, apa yang harus ada di rumah, apa yang anaknya harus dapat secara pendidikan. Jadi, edutech pun targetnya ibu-ibu. Start-up yang membantu petani lalu menjual ke retail, targetnya adalah ibu-ibu. Fashion juga targetnya para perempuan. Jadi, ketika punya co-founder, leaders, maupun product developers perempuan, sebenarnya mereka bisa memberikan perspektif yang lebih dekat dengan kenyataan. Sehingga, produk ini sudah lebih matang dan tepat ketika dites ke pasar.
Tentunya semua produk tetap harus divalidasi dan hal ini sangat membantu untuk memperkaya perspektif. Kesalahan yang dilakukan oleh banyak start-up biasanya karena mereka berpikir bahwa idenya yang paling tepat sebagai solusi dan menganggap bahwa sudah menjawab pain point semua orang. Apalagi, ketika semua co-founder-nya laki-laki, tetapi target pasarnya adalah perempuan. Jadi, peran dan perspektif perempuan itu sangat penting untuk membuat kita betul-betul sadar apa yang perlu dan tidak perlu serta apa yang perlu kita investasikan dan tentunya apa yang perlu kita buang.
ADVERTISEMENTS
Menurut data, hanya ada 28% perempuan di dunia STEM. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang lain
Dari data ini, kita bisa melihat gelas setengah penuh atau setengah kosong. Jika dari data hanya 28% perempuan yang ada di dunia STEM, either you are supply and demand, you are very rare and then when you are actually there and become a very very good at it. Sebab, perempuan memiliki perspektif yang berbeda atau memang mempunyai tugas untuk lebih mendukung perempuan lain untuk terjun ke dunia STEM.
Saya juga sering ada di ruangan di mana ternyata saya baru sadar bahwa hanya saya satu-satunya perempuan di sana. Namun, perspektif yang selalu saya berikan adalah perspektif yang bisa stearing the conversation karena kita punya perspektif yang berbeda. Para perempuan sebaiknya jangan membatasi diri dengan konteks gender. Saya tidak pernah melihat diri saya ini sebagai perempuan atau laki-laki.
Saya dengan skill set saya, visi saya, kekuatan dan kelemahan saya adalah suatu pribadi dan persona, yaitu, Faye. Bukan saya, Faye si perempuan.
Jadi, bergeraklah maju, ketika kita tidak melihat diri kita sendiri dikotakkan oleh gender, orang lain pun akan melihat kita bukan dengan kotak gender. Begitupun sebaliknya.
ADVERTISEMENTS
Mungkin memang banyak kompetitor laki-laki di lingkungan pekerjaan yang bagi beberapa orang bikin kurang percaya diri, tapi lagi-lagi kita harus objektif
Kita fokus secara objektif dengan skill set, vision, strength and weakness kita, bukan dengan label gender. Nah, tetapi ketika kita masih banyak didominasi oleh laki-laki, kita juga secara tidak sadar suka mengikuti gaya bekerja laki-laki. Kadang-kadang kita harus secara sadar melihat apakah kita nyaman dan bisa menjadi diri sendiri atau tidak. Yang paling penting adalah tetap menjadi diri sendiri dan menjadi genuine, dengan hal itu kita akan memiliki value.
Sebenarnya secara statistik, perempuan itu mempunyai kecenderungan lebih humble. Cara mengemukakan pendapat sering dianggap harus sesuai standar perempuan yang harus kalem, nggak keras, dan sebagainya. Padahal kalau kita lihat dari perspektif lain, hal itu justru menjadi hal positif misalnya good at public speaking. Hal-hal seperti ini harus dicari trik-triknya. Find your genuine thing that you be in yourself, tetapi bisa connecting to other people as person to person, bukan dengan label perempuan atau laki-laki.
Selain mempercayai mimpi, kita juga perlu passion dan motivasi serta support system
Believe in yourself dan kejar, jangan pernah mau dibilang kamu hanya perempuan, apalagi bilang ke diri sendiri, kan aku cuma perempuan dan berpikir kalau kita wajar kalau tidak melakukan apapun untuk hidup kita itu. NO, everybody has responsbilities to do something for their life. Everybody needs to have passion and motivation for living. Jadi perempuan-perempuan yang mau jalanin mimpinya, cari support system.
Ketika kita tidak mendapatkan support system, yang idealnya dari orang-orang terdekat, cari apa hal positif yang kamu dapat dari mereka. Namun, kalau kamu tidak memperoleh hal itu dari orang terdekat, cari support system kelompok lain yang membuat kita merasa kita tidak sendirian, bisa menjadi tempat belajar, menjadi benchmark lebih, bisa belajar dari pengalaman orang lain, mendapat dukungan moral dan mental, mendapatkan channel dari orang lain. Ikuti suatu komunitas maupun program, sehingga bisa ketemu dengan orang-orang yang punya mindset, skill set, vision yang sama, jadi do more effort untuk bisa keluar dari zona nyaman kita.
Also, everything is possible. Jadi, kita punya tanggung jawab juga untuk menormalisasikan perempuan-perempuan itu powerful dan mempunyai kesempatan yang sama. Be driven, not just ambitious. Being ambitious made you set a goal, a position, title, and often people use stepping stones and finding whatever possible ways to reach that.Being driven is doing as best you could in your present moment and challenges, always do beyond what’s expected, push a bit further.
What’s the difference in the end results? I think by being driven, you might actually end up higher, or be someone your 20-year old self could not imagine before. Moreover, being driven, the accomplishments are in the journey itself, not the end goal.Can you identify people around you who are now you consider successful, but now you see that they were never ambitious, they are driven.
Baca sepuasnya konten-konten pembelajaran Masterclass Hipwee, bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.