Branding CRSL/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Kata orang, salah satu hal yang paling penting dalam memulai bisnis adalah modal, khususnya berbentuk uang. Akan tetapi, kamu mungkin akan berubah pikiran jika mendengar awal mula brand CRSL yang justru modalnya minus karena bisnis ini dimulai gara-gara saya punya utang. Ya, utang yang saya punya bukan milik saya sendiri, melainkan dari sebuah event yang mana saya jadi panitia intinya. Oleh sebab itu, saya memulai bisnis dengan target melunasi utang tanpa berpikir bahwa usaha ini akan menjadi tumpuan dalam memenuhi kebutuhan hingga kini.
Walau diawali dengan ketidaksengajaan, seiring berjalannya waktu, saya juga ingin lepas dari zona nyaman dan perlahan-lahan mempelajari bagaimana memperkuat bisnis hingga memiliki sebuah brand sendiri yang lekat dengan 5 karakter hewan. Ada proses pelan-pelan hingga saya menemukan formula yang tepat dalam meramu branding yang kuat. Saya nggak ingin hewan-hewan tersebut cuma jadi logo saja tapi juga jadi intellectual property dengan value yang tinggi.
ADVERTISEMENTS
Brand kami yang awalnya bernama Carousel ternyata punya banyak ‘kembaran’ hingga harus rebranding jadi CRSL
Saat mendengar nama Carousel mungkin beberapa orang langsung mengingat sebuah aplikasi jual beli barang preloved. Tapi, sebenarnya bukan itu alasan kami mengubah Carousel menjadi CRSL. Alasan sebenarnya adalah karena nama Carousel sudah dipatenkan oleh brand lain yang menjual pakaian anak sehingga kami tak bisa memakainya lagi. Terinspirasi band Netral yang mengubah namanya menjadi NTRL, akhirnya kami menggunakan metode serupa dan mengganti nama menjadi CRSL. Disingkat, namun pengucapannya tetap sama. Tanpa berniat ikut-ikutan brand apapun, sebenarnya nama Carousel awalnya saya pilih dengan filosofi komidi putar, dengan harapan supaya rezeki pun ikut terus berputar.
ADVERTISEMENTS
Sebelum sebesar sekarang, CRSL adalah dropshipper yang menjual animal hat anak-anak
Animal hat/ Illustration by Hipwee
Sebelum menjadi brand, CRSL adalah sebuah online shop yang saya mulai pada tahun 2014 ketika masih kuliah. Dulu bisnis ini dimulai karena saya punya utang dan butuh uang. Tahun 2013, saya membuat acara musik di kampus dan menjadi panitia inti. Alih-alih mendatangkan cuan, acara tersebut malah membuat saya punya utang. Makanya, jangankan punya uang untuk memulai online shop, modalnya malah minus. Yang saya punya cuma rekening dan soft skill desain. Awal mula bisnis ini dulu dropship topi-topi hewan atau animal hat, terinspirasi dari yang dipakai personil Pee Wee Gaskins. Kala itu, Dork atau fanbase Pee Wee Gaskins ada banyak. Para fans ini masih bingung untuk membeli topi seperti ini karena masih harus impor waktu itu. Jadi, cara marketing saya dulu dengan masuk ke grup-grup Facebook dari fanbase tiap kota, lalu spam produk yang dijual.
“Nih, aku jual topi kayak punya Dochi.”
Awal mula karena hanya berpikir untuk balikin utang maka saya memilih produk topi anak-anak. Sistem dropship membuat saya nggak pegang barangnya, akhirnya banyak yang protes. “Kok topinya kecil? Buat dewasa apa anak-anak?” Akhirnya saya harus ngeles bahwa itu buat dewasa, tapi memang agak kecil. Setelah tersadar dan punya cukup modal, saya ke Bandung untuk custom dengan ukuran dewasa. Mulai saat itu juga sudah mulai stock, foto produk, dsb. Dulu kami juga nggak mampu bayar model sehingga pakai teman-teman yang potensial buat jadi modelnya. Meskipun begitu, bisa dikatakan,CRSL menjadi sebuah brand yang membuat animal hat ngetren di kalangan orang dewasa.
ADVERTISEMENTS
Branding yang kuat dengan karakter hewan-hewan lucu adalah ciri khas kami
Tahun 2017 awal, posisi ketika itu saya sedang di zona nyaman di mana produk lagi tren di market sehingga memiliki demand tinggi. Kami nggak ada kontrak dengan pengrajin waktu itu, sehingga ketika permintaannya tinggi jadi banyak penjual-penjual baru yang muncul dan menjual dengan harga yang lebih murah. Waktu itu, saya jual dengan harga Rp70.000,00 tapi pesaing menjual cuma dengan harga Rp23.000,00. Ada di Dieng, Kaliadem, Kaliurang, dll. Waktu itu, bahkan ada yang menanyakan bedanya produk animal hat yang KW dan ori, padahal sebenarnya ya sama saja karena produk tersebut dari satu pengrajin yang sama. Malah ada yang pakai foto saya untuk jualan mereka.
Setelah itu, penjualan mulai turun, tren juga sudah makin turun. Saya bahkan berpikir bahwa itu adalah titik terendah saya hingga berpikir dulu mungkin saya terlalu percaya diri. Saat itu, saya sudah sempat buka toko, sudah punya pegawai juga. Di saat itu pula, di kampus ada mata kuliah tentang cara memenangkan bisnis. Ada sebuah teori dari Michael Porter tentang strategi kompetisi.
Lowest cost strategy: Menyesuaikan harga supaya bersaing dengan kompetitor. Namun, strategi banting-bantingan harga ini tidak mungkin kami terapkan. Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin bagus tapi tidak sustainable.
Niche market: Mempunyai ceruk sendiri yang lebih kecil, namun membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk market sendiri.
Differentiation: Di mana kita menciptakan unique selling point dari brand kita. Poin yang satu ini yang paling mungkin untuk diterapkan.
CRSL juga sudah lumayan gede dengan followers sekitar 30ribuan, tapi kami kecolongan karena konsepnya dibajak sama yang lain. Dari situ saya mulai cari cara supaya brand ini tidak bisa dibajak, sekaligus memanfaatkan kemampuan desain saya. Akhirnya, saya mencoba untuk bikin yang tidak jauh-jauh dari animal hat. Makanya waktu itu bikin brand yang spesialisasinya konsep hewan.
ADVERTISEMENTS
Lahirnya CRSL Gengs tidak serta merta muncul 5 hewan, tapi ada proses kreatifnya
CRSL Gengs/ Illustration by Hipwee
Sebelum terpilih 5 hewan sebagai ‘maskot’, kami memproduksi semua jenis hewan dan sebenarnya memberikan hasil yang cukup bagus. Namun, waktu itu saya cukup sibuk karena memegang bagian produksi sekaligus sedang mengambil S-2 sehingga hal tersebut cukup memberatkan proses produksi. Dengan pertimbangan tersebut dan analisis market, akhirnya pilihan hewan dipersempit lagi. Saya analisis kira-kira hewan yang paling laris itu apa, lalu terciptalah 4 karakter utama. Sayangnya, semua karakter terkesan ‘cewek banget.’ Padahal, waktu itu saya ingin membuat produk-produk yang saya sendiri bisa pakai.
Saya berpikir kayaknya harus ada 1 hewan lagi yang bisa merepresentasikan cowok. Kemudian saya ingat zaman SMA sempat punya hobi gravity. Kala itu ada satu sosok bernama The Yellow Dino. Hewannya lucu, warna kuning, tapi banyak cowok yang suka. Akhirnya, saya memutuskan untuk bikin dinosaurus, tapi biar beda warnanya saya bikin hijau. Terbentuklah 5 hewan tersebut untuk core branding kami. Jadi, September 2017 kami publish kelima karakter hewan tersebut. Nah, untuk penamaan karakter-karakter ini, kami juga bikin sayembara giveaway dengan melempar ke followers yang saat itu sudah ada 30ribu. Selain tidak perlu mikirin nama, ada sisi positif di mana beberapa followers merasa memiliki brand juga.
ADVERTISEMENTS
Inti dari branding yang kuat sebenarnya bukan hanya di maskotnya
Sebenarnya CRSL tidak hanya menggunakan karakter hewan saja untuk branding, tapi dari karakter hewan itu kami juga ingin membuat seakan akan hewan ini hidup. Makanya, namanya kita pikirin, sifat-sifatnya juga kita breakdown. Misal yang dinosaurus itu ‘laki banget,’ suka hal ekstrem, yang babi pemalas, dll. Tujuannya adalah hewan itu bisa menggambarkan seseorang yang akan membeli. Kedua, kita juga main tagline “animal as your bestfriend.” Tujuannya ketika seseorang membeli produk maka dia bukan hanya membeli produk dari kami, tapi juga mengadopsi hewan-hewan ini yang bisa jadi teman baik mereka. Kami bikin agar orang yang membeli produk ini bisa merawat produk seperti teman baik mereka, bisa ke mana-mana bareng, sayang, dsb. Kami juga bukan menggunakan ajakan “Yuk beli produk kami!” tapi pakai “Yuk adopsi si Odin!” Selain itu, kalau bikin konten, kami juga perkuat interaksi setiap karakternya. Nah, branding bisa dilakukan secara satu-kesatuan dari hal-hal kecil seperti itu. Intinya adalah bagaimana caranya membuatnya lebih sustainable, long last, melekat identitasnya dari brand tersebut.
Pada awal tahun 2020, kami dapat masukan dari beberapa teman dan mentor juga bahwa beberapa karakter kami akan menjadi Intellectual Property (IP) yang potensial ke depannya, sehingga kami memutuskan membuat akun khusus mereka. Jadi, tidak fokus di satu medium apparel aja atau tas-tas saja, tapi tujuannya nanti barang apapun yang ditempeli karakter-karakter tersebut bisa memiliki value tinggi. Contohnya, sama seperti Supreme yang menjual batu bata, casing, dll. Kami mencoba untuk mengimplementasikan itu. Sehingga nanti misalnya ada kondisi yang membuat industri itu memburuk seperti pandemi, kami bisa beralih ke industri lain.
Kami membuat CRSL Concert sebagai sebuah ajang ‘balas dendam’ sekaligus meningkatkan exposure
CRSL Concert/ Illustration by Hipwee
Saya dulu bikin usaha karena rugi konser, sekarang usaha sudah menguntungkan jadi saya juga bikin konser untuk ‘balas dendam’ sekaligus tasyakuran. Selain itu, saya juga ingin membuat ini sebagai sarana untuk meningkatkan exposure karena banyak yang mengira CRSL merupakan brand Bandung atau Jakarta. Sedangkan di lokal, Yogyakarta sendiri malah sepi. Malah ada yang memandang sebelah mata dan mengatakan brand kami menjual karakter-karakter nggak jelas. Jadi, kami ingin menaikkan market di home base sendiri. Selain itu, orang-orang yang datang ke konser biasanya juga orang-orang yang bisa dibilang gaul dan ngikutin tren. Jadi, kita ambil prestis di situ, bahwa CRSL juga ngikutin tren. Pun, kami ada basic EO juga dan punya koneksi orang EO.
Melalui konser ini juga, kami ingin bikin konsep bahwa yang mengadakan konser adalah kelima karakter hewan. Lagi-lagi saya ingin menghidupkan karakter ini. Di konser pertama, kami menggunakan video mapping di mana karakter kami berbentuk 3D biar seakan akan mereka ikut masuk ke konser tersebut. Konser kedua kami pakai welcominggate, set di luar juga pakai mapping jadi seakan-akan karakter kita menyambut para penonton. Di konser itu kami juga nggak pakai MC manusia, kami pakai MC karakter hewan. Sebenarnya kami ingin membuat konser rutin setiap tahun satu atau dua kali, tapi karena pandemi jadi harus ditunda dulu.
Tentu saja, tidak semua brand harus menggelar konser seperti kami. Yang terpenting, kita harus bisa membaca market dan permintaan pasar, lalu mengkombinasikan dengan unique selling point di produk. Jadi kita harus tahu, apa yang sedang ngetren? Lalu kita sisipin identitas kita supaya bisa jalan beriringan. Sehingga ketika sekelompok orang melihat sebuah tren dan melihat kita di dalamnya maka mereka akan mencari tahu lebih tentang brand kita.
Banyak yang akan memulai bisnis, namun merasa bahwa masih tidak cukup modal uang maupun pengetahuan. Padahal, sebenarnya bisnis yang paling bagus adalah bisnis yang sudah mulai. Tidak bisa juga cuma ‘asal jalan’, tapi perlu ada kemauan untuk terus belajar dan menyesuaikan dengan pasar.
Catatan Redaksi: Konten ini dibuat secara co-create antara pihak content creator dengan tim konten Hipwee Premium
Baca sepuasnya konten-konten pembelajaran Masterclass Hipwee, bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.