Saat Editor In Chief Hipwee memberi mandat membuat jurnal untuk esok hari, sontak saya kaget. Lho, saya masih baru kok diberi tugas membuat jurnal? Serius? Bukannya saya nggak mau–dalam bayangan saya– jurnal itu selaiknya yang sering saya baca saat menyusun skripsi, bukan? Tentu berat dan nggak cukup hanya semalam, apalagi kos saya minus wifi, waduh. Ternyata saya salah. Saya baru sadar bahwa saya mengalami disorientasi paham setelah saya membaca #HipweeJurnal yang lain bedakan woy jurnal ilmiah sama jurnal pribadi. Ya, maaf saya ‘kan probation baru, hehe.
Tapi saya masih bingung mau menulis apa. Mau menulis cerpen atau puisi tapi nggak bisa, memangnya kolom sastra. Mau menulis tentang cinta, sangsi, karena saya sulit jatuh cinta nggak sebanding pengalaman dengan Mas Galih, sang penulis kanal Hubungan yang melankolis itu. Sedikit tebersit untuk menulis keresahan saya terhadap posisi kids jaman now dalam politik, namun sayang, sudah terwakilkan oleh Mas Soni. Apa saya membuat resensi film saja, ya? Ah tapi saya belum menonton film baru lagi (semoga ada free ticket jatuh dari kantor langit, aamiin).
Oke, saya akan sedikit lebih serius meskipun bandnya sudah bubar hehe Peace! Kalau orang-orang menulis berawal dari keresahan. Kali ini saya pilih jalan lain. Keresahan saya banyak, dan nggak cukup satu jurnal. Makannya saya berencana menyimpannya untuk jurnal saya selanjutnya. Saya putuskan untuk membagi pengalaman saya selepas lulus kuliah dan memasuki dunia kerja. Selamat membaca.
ADVERTISEMENTS
Meski sudah sarjana tapi masih banyak keresahan yang tersisa. Rasanya, menjadi fresh graduate itu nggak seenak dan sesegar Fresh Tea
Menyandang titel sarjana pertanian nggak serta-merta membuat saya pongah. Setelah lulus, saya justru bercermin, pantaskah? Ya, pantaskah saya memperoleh gelar ini? Apakah yang saya lakukan telah sesuai dengan titel ini? Apa yang akan saya lakukan setelah ini?
Jujur, saya belum menemukan kesimpulan untuk jawaban itu. Kamu boleh nggak percaya, tapi –serius– skripsi saya 95 persennya dikerjakan sendiri dengan jujur dan sungguh-sungguh. Mungkin, saya satu dari sedikit mahasiswa jaman now, –ya, you know lah, sudah bukan rahasia umum lagi terjadi kecurangan sana-sini– miris!. Saya nggak mengambil jalan pintas itu bukan karena saya ingin dibilang baik (hak orang lain untuk menilai). Saya melakukannya sebagai bentuk “penebusan dosa” yang telah saya lakukan di masa silam. Saya “terpaksa” ambil bagian dari kecurangan besar Ujian Akhir Nasional (UAN) di sekolah saya. Saya menyesal, jijik dan mengutuk diri saya atas itu!.
Maaf sedikit melebar. Ya, sederhananya begini, saya merasa tidak pantas menyandang titel itu ketika saya masih gelagapan saat menjelaskan detail proses padi sampai jadi nasi. Atau, saya merasa belum pantas sebelum memiliki usaha agribisnis sendiri, dan lainya yang nggak bisa saya sebut semuanya. Boleh jadi semua itu karena saya ceroboh, nggak pikir panjang saat memilih jurusan. Yang lain, mungkin, karena saya menghabiskan separuh waktu kuliah saya untuk berkesenian. Saya nggak menyesal untuk poin kedua, karena banyak hal yang saya dapatkan.
Namun semua itu belum menjadi kesimpulan. Hidup sedang berjalan. Selama saya masih bisa diberi kesempatan Tuhan untuk menghirup oksigen, segala kemungkinan terbuka lebar.
Kebetulan yang saya alami dan dunia pekerjaan yang saya masuki adalah nggak pacaran namun berjodoh. Ah, seperti judul drama “receh” FTV saja
Setelah lulus kuliah, saya punya segudang keinginan. Mulai dari ingin lanjut S2 beda jurusan, cari beasiswa, jalan-jalan ke negeri orang, membuat film, menulis buku, sampai ingin masuk surga. Untuk keinginan yang terakhir, saya nggak suka pakai cara kasar turun ke jalan seperti preman-preman berjubah putih itu, saya nggak sedangkal itu. Saya pilih jalan lain yang lebih seru. Sudahlah, masuk surga hak prerogatif Tuhan, saya nggak mau berdebat soal itu.
Semua keinginan tadi belum bisa dipenuhi. Penyebabnya kebanyakan karena uang. Nah, setelah itu kupuskan untuk mencarinya sendiri tanpa mengemis-ngemis lagi kepada orangtua. Meskipun lowongan silih berganti masuk whatsapp, namun kegiatan pascawisuda saya habiskan untuk menganggur karena saya nggak mau jadi PNS yang melulu di kantor atau kerja berpanas-panasan di perkebunan. Saya menyebut diri saya mengganggur, meskipun pada kenyataannya saya mencoba berjualan sepatu dan jam tangan secondhand. Tapi gagal. Terbukti, menjual memang selalu lebih sulit dari membeli.
Syahdan, semua berubah ketika teman saya datang. Teman kecil saya dari Jakarta berkunjung ke Jogja. Entah kerasukan setan mana, ia mengadu nasib, mencari penghasilan di kota istimewa ini —sepertinya kemampuan aritmatikanya jelek, UMR disini cuma seujung jari. Saat ia sibuk bolak-balik interview kerja, mau nggak mau saya mengantarnya. Saat itu tabungan saya sudah menipis. Lowongan Hipwee beredar di media sosial. Akhirnya saya —menelan ludah sendiri— dengan mendaftarkan diri untuk kerja di kantor. Saya mengirimkan surat lamaran mendekati momen injury time, satu jam sebelum tenggat waktu. Tak lama berselang kabar baik datang: undangan wawancara.
Ini rahasia tapi akan saya kubagi kalian cuma-cuma Beberapa hari sebelum undangan interview, saya menghadiri sebuah talkshow buku bertajuk Nice Boys Don’t Write Rock n’ Roll. Salah seorang yang bekerja di Hipwee menjadi pembicaranya. Meskipun saya nggak berkenalan, namun dari situ saya sedikit tahu profilnya. Sebuah kebetulan, dia termasuk satu dari empat orang yang mewawancarai saya, inisialnya, Soni Triantoro (maap, mas, keceplosan). “Celah” sedikit terbuka, saya unggul satu langkah. Selain itu, sungguh —dunia yang sempit— nggak terduga, salah seorang lain yang mewawancarai saya kenal dengan kakak saya. Saya beruntung kecipratan citra baik kakak saya. Ya, mungkin dua kasus tadi mewakili beberapa kebetulan yang membuat saya merasa berjodoh dengan pekerjaan saya ini.
Uraian diatas juga menguatkan pendapat pribadi saya, bahwa terdapat milyaran kebetulan yang telah Tuhan sediakan untuk tiap-tiap insan yang berusaha. Dan saya juga percaya, kebetulan-kebetulan yang terjadi pada hidup saya merupakan kiriman do’a dari Ibu yang di-Ijabah oleh Yang Maha.
ADVERTISEMENTS
Pengalaman baru di dunia kerja. Belajar menulis lagi di Hipwee
Saya nggak ingin bercerita pendapat saya tentang teman-teman kantor. Nanti mereka kepedean! Sebagai gantinya saya akan jelaskan masa adaptasi saya di dunia “baru” saya. Saya tumbuh di lingkungan “melek” literasi. Sejak kecil saya terbiasa membaca, meskipun nggak terlalu sering. Bapak kerap membelikanku komik bukan obat batuk sebagai bacaan. Dari SMP ke SMA, saya rutin mengunjungi kios koran almarhum paman saya untuk membaca koran Bola dan Soccer sepulang saya dari sembahyang Jumat. Saya juga suka menulis. Sejak saya menggeluti kesenian di teater kampus saya, saya menjadi akrab menulis: kebanyakan sastra. Ya, itulah secuil pengalaman saya yang membantu saya dalam pekerjaan menulis di Hipwee.
Namun, semua paparan barusan nggak serta-merta melepaskan saya dari kesulitan. Kesulitan penting untuk tumbuh kembang kita. Sejauh ini saya masih akan terus belajar menyesuaikan —gaya, topik, kesukaan dan lainnya— tulisan saya dengan para pembaca Hipwee. Intinya saya harus menahan diri. Saya memulai dari nol lagi. Untungnya saya memiliki mentor yang cakap dan mengerti keadaan saya. Saya banyak belajar darinya. Dan tentu saja teman-teman lain, yang juga telah memberikan iklim nyaman kerja. Saya akan balas itu semua dengan hasil “kerjaan” saya. Harap bersabar, Guys.
Itulah pengalaman yang bisa kubagi. Semoga bermanfaat. Oh iya, supaya saya nggak binggung menulis jurnal selanjutnya, saya ingin minta saran kepada Anda. Lebih menarik mana untuk dibaca antara “Why I didn’t talk when I talk about love” atau “Sudut Pandang Ketika Aku Bicara Film”? Selain itu, kamu juga boleh kok berbagi pengalaman yang serupa denganku di kolom komentar. Nggak perlu malu!