Hustle culture/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
“Ya ampun, Bund, lelahhh. Kerjaan nggak selesai-selesai, tapi mau rebahan rasanya nggak nyaman. Kayak ada yang belum beres gitu, lo.”
“Kok bisa sih si Ibu Anu itu aktif banget miara 3 anak, body tetap semlohay, kerjaan rumah beres, job lancar dan katanya nggak pernah marah-marah sama anaknya sama sekali? I mean how come? Aku merasa aku belum berhasil jadi ibu.”
Beberapa waktu lalu, seorang teman curhat ke saya, betapa dia butuh liburan, lantaran sudah muak sama kerjaan kantor dan juga muak sama kerjaan rumah. Rasanya ingin kabur ke negeri antah berantah, doingnothingfor literally nothing, tanpa diricuhkan sama persoalan duniawi seperti masak apa siang ini atau ada meeting apa besok yang harus dipersiapkan. Tapi, kenyataannya ya nggak semudah itu. Pada akhirnya, dia harus bertahan, menerima keadaan.
Saat mendengar curhatan itu, saya merasa sangat bisa relate dengan apa yang dirasakannya. Saya juga lelah, terlebih di tengah shitshow pandemi yang seolah tak berujung ini. Sedihnya, saya adalah ibu yang mana saya diharapkan untuk serba bisa mengatur segala hal, termasuk keinginan saya. Ingin me time dan nggak ngapain-ngapain, tapi sebenarnya merasa bersalah gitu, takut malah jadi menyia-nyiakan waktu dan jadi nggak produktif.
Hustle culture di kalangan para ibu sekilas mungkin terdengar keren, tapi ini sebenarnya berbahaya banget lo. Coba simak dulu alasannya kenapa!
ADVERTISEMENTS
Pertama, mari kenalan dulu sama apa itu hustle culture yang lagi ramai jadi kasak-kusuk anak-anak milenial sekarang. Bukan cuma untuk orang kantoran saja lo ini
Ibu rumah tangga atau ibu bekerja, sama aja pusingnya | Credit: Photo by Ketut Subiyanto from Pexels
Kata hustle culture emang lagi naik daun banget sekarang. Hustle culture merupakan istilah yang merujuk pada budaya sibuk kerja jam 9-5 sore, dilanjut dengan aktivitas bekerja nyambi-nyambi di rumah dengan embel-embel ‘selalu aktif dan produktif’. Budaya ini mengelu-elukan kebiasaan skip jam makan demi kesibukan, buka laptop, dan cek e-mail kerjaan di mana pun meski sudah jam istirahat atau akhir pekan.
Penganut hustle culture memuja keyakinan bahwa semakin sibuk kamu, semakin produktif dan dekat pula kamu pada kesuksesan. Di dunia para ibu, hal ini termasuk normalisasi pengabaian akan kepentingan si ibu sendiri demi anak dan seluruh keluarga. Makin sibuk dan banyak berkorban si ibu, maka si ibu bakal dipandang makin sukses dan keren.
Hmm. Tapi, benarkah demikian?
ADVERTISEMENTS
Kalau dipikir-pikir, hustle culture ini sebenarnya adalah lagu lama yang didendangkan dengan aransemen baru di generasi para ibu
Credit: Hipwee
Nyatanya, glorifikasi atau kebiasaan mengagung-agungkan hustle culture di kalangan para ibu ini sudah berlangsung sejak dulu lo. Seorang ibu selalu dipuji kalau berpendidikan bagus, berpenghasilan sendiri meski sudah menikah, sembari tetap ambil bagian penuh dalam pengasuhan anak, jago di dapur, dan menjaga relasi dengan pasangan. Belum lagi di kalangan sesama ibu sendiri, sudah lumrah kalau seorang ibu ngeluh soal capeknya, ibu lain kemungkinan besar akan menimpali:
“Ih masih mending kamu, Bund. Aku lo, dari subuh begini begitu. Anakmu baru 1, to? Anakku udah 2. Duh, pusingnya bla bla bla. Kamu masih mending bla bla bla.” Seolah-olah sibuk dan lelah itu ajang perlombaan.
Makin sibuk makin hebat, makin banyak berkorban makin sip. Duh, mau sampai kapan ya begini? Apalagi, di era pandemi, di saat tekanan makin besar untuk para ibu pekerja yang batas pekerjaan rumah dan kantor sudah nyaris blur. Ibu harus juggling dengan segala kesibukan, tapi tetap dituntut waras.
ADVERTISEMENTS
Udahan deh mengagung-agungkan bahwa ibu harus serba bisa dan normalnya selalu sibuk kerja nonstop tanpa cela. Bukannya bagus, malah justru berbahaya!
Santai itu dosa, katanya | Credit: Photo by RODNAE Productions from Pexels
Hustle culture di kalangan para ibu memang bukanlah hal baru. Dibanding ayah, ibu membawa lebih banyak tanggungan hal untuk diperhatikan karena perempuan kerap dikaitkan dengan kemampuan multitasking. Mulai dari beres-beres rumah, memasak, pengasuhan anak, sampai tanggung jawabnya sendiri soal karier jika sang ibu memutuskan bekerja. Nyatanya, hustle culture ini berisiko besar pada kesehatan mental.
Dilansir dari Psychology Today, sebuah studi membuktikan bahwa hustle culture nggak ada hubungannya dengan kesuksesan. Kebiasaan ini justru malah bisa memperpendek usia karier, merusak kesehatan mental dan fisik, sampai menghancurkan hubungan kita. Kalau kamu nggak menyediakan waktu untuk menata energi mentalmu, maka sesungguhnya kamu nggak akan bisa sukses di bidang karier atau yah, dalam rumah tangga. Nah lo. Jujur saya sendiri kewalahan dan mulai banyak berbenah soal kebiasaan bersibuk-sibuk ini.
ADVERTISEMENTS
Slowing down dan mengambil jeda waktu untuk diri sendiri itu perlu. Kamu bukan robot serba bisa yang kalau baterainya soak, bisa tinggal shut down dan isi daya
Kalau HP, baterai habis kan tinggal colok | Credit: Photo by Karolina Grabowska from Pexels
Kenapa sih hustle culture itu lekat banget di hidup para ibu? Ya, karena pada dasarnya kita para perempuan sedari dulu memang dituntut untuk selalu sibuk. Beberapa hal ini jadi alasan kenapa sih perempuan lumrah banget gabung di geng hustle culture setelah menikah:
Ibu-ibu dianggap sebagai sosok giat yang efisien. Siapa coba yang bisa melakukan berbagai hal dengan cepat seperti ibu?
Ibu dianggap sebagai ratunya multitasking. Kerjaan rumah, kerjaan kantor, (harusnya) beres!
Ibu adalah sosok ulet dan tahan banting.
Ibu adalah pengasuh yang dianggap lebih cerdas secara emosional.
Oh well, kita semua berharap kita bisa selalu memenuhi ekspektasi itu. Tapi, Bun, percaya nggak sih kalau kita ini juga manusia biasa? Kalau fisik lelah ya bisa digempur Geliga, tapi kalau mental yang capek gimana? Slowing down dan mengambil jeda ternyata bisa memberi kita lebih banyak efek positif lo. Lebih rileks dan lebih fokus, misalnya.
ADVERTISEMENTS
Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah buku berjudul The Little Book of Sloth Philosophy. Buat yang selalu bekerja terburu-buru dan merasa bersalah kalau nggak melakukan apa-apa, ini bisa jadi reminder halus
Ringan banget | Credit: Dok. istimewa author
Ada beberapa poin menarik yang saya garis bawahi di buku itu, yakni bahwa NGGAK melakukan apa-apa itu kadang nggak ada hubungannya dengan malas, sungguh. Iya! Kalau hari ini kamu merasa lelah, rebahan bentar nggak dosa kok.
Jika besok weekend kamu merasa hanya ingin berbaring leyeh-leyeh, memesan makanan, membaca buku, dan cuddling dengan anak dan suami seharian, lakukan saja. Bangun pagi-pagi, menyeduh teh dan membaca buku sendirian di dapur itu sah kamu lakukan. Kamu nggak harus selalu grusa-grusu menyiapkan sarapan, menjemur pakaian, atau mengepel teras depan (jika hari itu kamu nggak ingin melakukannya).
Falsafah hidup binatang sloth alias kukang adalah slow living, mereka nggak mau ambil pusing dan terlalu stres soal banyak hal
Kukang si santuy | Credit: Photo by Carpe Jugulum from Pexels
Fun fact, hewan yang dianggap paling pemalas ini justru jadi salah satu hewan panjang umur yang eksistensinya cukup tua di bumi, yaitu sejak 35 juta tahun yang lalu (ya tentu yang sekarang sudah mengalami evolusi ya). Coba lihat juga hewan-hewan slow living seperti kura-kura, umurnya bahkan jauh lebih panjang dari hewan yang ‘super sibuk’.
Poin menarik lainnya dari buku The Little Book of Sloth Philosophy yang ditulis Jennifer McCartney ini adalah soal tidur. Faktanya, tidur cukup di malam hari bisa meningkatkan level kebahagiaan dan kemampuan berkonsentrasi, memperbaiki kemampuan memori jangka pendek, bahkan membentuk otot! Jadi, kalau kamu masih memegang teguh keyakinan bahwa begadang itu sama dengan kesuksesan, mending pikir-pikir lagi deh.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin sekali mengingatkan kamu, dear ibu-ibu, untuk pikir-pikir lagi soal bergabung ke komunitas hustle culture. Memang benar kita ini makhluk luar biasa, tapi bukan berarti kita nggak boleh capek, nggak boleh istirahat apalagi santai berleha-leha. Sesekali, menikmati hidup boleh kan? Ingat, happy mom, happy family! 🙂
Jangan lagi ya, kalau ngobrol sama teman (atau siapa pun), balap-balapan soal kesibukan. Ini bukan soal siapa yang lebih sibuk atau banyak berkorban, Bun. Mending kita berlomba-lomba saling menyemangati aja yuk~
Baca sepuasnya konten-konten pembelajaran Masterclass Hipwee, bebas dari iklan, dengan berlangganan Hipwee Premium.