Belakangan ini fenomena tanaman mahal terulang kembali. Janda Bolong yang biasanya hanya jadi motif di tembok-tembok atau baju kekinian kini harganya melambung tinggi bahkan ada yang sampai mencapai Rp100 jutaan. Kalau dipikir-pikir, tanaman ini memang indah dan memiliki ciri khas daunnya yang berlubang. Akan tetapi, kegunaannya selain dari segi estetik adalah menyegarkan ruangan yang sebenarnya banyak juga tumbuhan serupa yang memiliki fungsi ini.
Lagipula, harga yang tinggi ternyata bukan cuma karena bentuknya yang indah saja lo, ada bisnis yang sudah direncanakan di sebaliknya. Fenomena ini sudah sering terjadi, misalnya dulu tanaman Gelombang Cinta atau batu akik. Menurut ahli, fenomena ini sering dinamai Monkey Business atau ada juga yang menganggapnya sebagai Bubble Economy. Untuk selengkapnya, simak penjelasan berikut ini yuk!
ADVERTISEMENTS
Sebelum membahas lebih dalam tentang fenomenanya, kita ketahui dulu yuk jenis tanaman Janda Bolong dan harganya yang meroket
Tanaman Janda Bolong merupakan bagian dari genus Monstera yang memiliki beberapa spesies di bawahnya, harganya pun tergantung pada jenis tersebut. Bukan sembarang Janda Bolong, yang dibandrol mahal jenisnya berbeda dengan yang biasa tumbuh di Indonesia. Dilansir dari Sindonews, jenis Janda Bolong yang sempat berharga fantastis sebagai berikut:
- Spesies Monstera obliqua: Rp25 juta sampai Rp30 juta
- Spesies Monstera albo variegata: Rp30 juta sampai Rp50 juta
- Spesies Monstera mint dan deliciosa: Rp50 juta
Awal dari kepopuleran tanaman ini adalah adanya petani Bogor yang berhasil menjualnya ke orang Jepang dengan harga Rp120juta hanya dengan 6 daun. Dari situlah banyak yang menjual hanya bibit saja dengan harga Rp2juta sampai Rp5 juta.
ADVERTISEMENTS
2. Banyak yang menyatakan bahwa fenomena ini masuk ke dalam Monkey Business yang diciptakan oleh orang tertentu
Monkey Business merupakan sebuah usaha yang dilakukan ketika seseorang ingin mendapatkan keuntungan lalu kabur walaupun merugikan orang lain. Koin Works memberikan gambaran sebagai berikut; adanya seseorang (A) yang datang ke kampung dan melihat banyak monyet di sana. Ia memberi tahu warga bahwa ia akan membelinya dengan harga Rp50.000,00 tiap ekor. Warga banyak yang menangkapnya hingga jumlah tinggal sedikit. A menawarkan harga Rp100.000,00 per ekor, namun warga sudah kesulitan. Ia menawarkan lagi untuk membeli seharga Rp500.000,00 per ekor.
Karena warga kesulitan, akhirnya asisten A menjual monyet yang mereka kumpulkan tadinya dengan harga Rp350.000,00 supaya warga bisa menjual kembali ke A dan mendapat untung. Akan tetapi, ketika warga hendak menjual ternyata A dan asistennya sudah ‘hilang’ setelah berhasil meraup kekayaan. Hal ini diprediksi oleh beberapa ahli juga apa yang terjadi pada fenomena Janda Bolong kali ini.
ADVERTISEMENTS
Selain fenomena Monkey Business, beberapa ahli juga menganggap fenomena kali ini sebagai Bubble Economy di mana barang dijual lebih tinggi dari value-nya
Dilansir dari Kompas, seorang ekonom dari Institute Development of Economics and Financial bernama Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa fenomena ini disebut sebagai bubble economy atau gelembung ekonomi di mana harga barang menyimpang jauh dari nilai intrinsiknya. Selain harganya yang tidak wajar, biasanya hal ini akan terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Fenomena ini ternyata sudah mulai sejak 1637 dengan adanya The Tulip Mania lo. Ketika itu bunga Tulip menjadi primadona dan harganya melonjak naik karena permintaan melejit dan tidak diimbangi stok yang cukup. Akan tetapi, fenomena ini tak bertahan lama dan harga bunga Tulip merosot lagi.
Melihat fenomena ini mungkin banyak yang tergiur terjun ke dalam bisnis karena harganya yang mahal. Mengikuti tren dalam berbisnis memang tak ada salahnya karena keuntungannya bisa jadi besar, namun perlu dilihat juga bagaimana peluang dalam jangka yang lama. Daripada belum pasti, lebih baik uang digunakan untuk investasi di bidang lain yang lebih aman dan terjamin.