Kini kian banyak bermunculan permen-permen dengan berbagai rasa dan merek, malahan banyak juga brand yang tak hanya berinovasi pada kualitas rasa saja namun juga pada kemasannya. Semua berlomba-lomba untuk menjadi yang paling menarik dan memberikan pengalaman berbeda kepada para pembelinya. Akan tetapi, di antara belantara produksi permen tersebut ada satu produk yang dari dulu sepertinya begitu-begitu saja namun tetap jadi promadona; permen Davos!
Walaupun mungkin identik dengan permen orang tua, nyatanya ada banyak juga lo penikmat permen ini dari berbagai usia. Jika diperhatikan, Davos tak begitu banyak melakukan inovasi rasa maupun kemasan namun nyatanya tetap bisa bertahan. Apakah kamu penasaran dengan cerita dan strategi di baliknya? Simak yuk selengkapnya!
ADVERTISEMENTS
Permen Davos sudah berusia 90 tahun dan dipercaya sebagai permen mint pertama di Indonesia. Wuih!
Permen Davos ternyata sudah dibuat sejak sebelum Indonesia merdeka lo. Pada saat itu, permen ini diproduksi oleh sebuah perusahaan PT Slamet Langgeng yang didirikan oleh Siem Kie Djian pada 28 Desember 1931. Pabrik pertamanya masih dipakai hingga saat ini yaitu ada di Jalan Ahmad Yani No 67, Kandang Gampang, Purbalingga, Jawa Tengah.
Produksi permen ini tak bisa dipisahkan dari sejarah kudapan di era tersebut. Banyaknya pendatang yang mengenalkan teknologi pangan untuk membuat makanan yang mudah dimakan, di antaranya jenang dan permen jahe. Makanya dengan rasa mint ini, Davos jadi sempat jadi tren di masyarakat apalagi pada tahun 1970-1980-an. Ketika awal beredar bahkan pernah ada juga mitos bahwa banyak orang yang memilih mengonsumsi permen tersebut supaya derajatnya sama dengan orang Eropa yang lebih dulu menyukainya.
ADVERTISEMENTS
Walau kelihatan adem ayem, tapi ternyata produsen permen Davos juga tetap mengalami naik turun
View this post on Instagram
Pada awalnya distribusi permen Davos ternyata dilakukan dengan gerobak sapi lo, persebarannya mencapai seluruh Jawa Tengah dan Yogyakarta bahkan ada juga yang menjualnya ke luar negeri tapi bukan dari pihak Davos sendiri. Walaupun sempat berjaya di tahun 1933-1937 namun penjualan mereka anjlok ketika Jepang datang pada 1942 namun ternyata berhasil bangkit lagi setelah Indonesia merdeka atau tahun 1945. Nama perusahaan juga sempat berganti beberapa kali seperti berubah jadi PT Purbasari & Co. lalu berakhir dengan PT Slamet Langgeng & Co.
Selain permen Davos, mereka juga memproduksi Kresna, Alpina, dan Davos Lux. Davos yang sering kamu lihat mungkin adalah yang berbungkus biru dan berbentuk rol yang lebih pedas, namun ternyata ada juga Davos Lux yang berbungkus hijau yang tak terlalu pedas. Selain permen, mereka juga memproduksi limun serta biskuit yang harus berhenti produksi karena kesulitan bahan baku.
ADVERTISEMENTS
Terlihat minim inovasi dan kurang promosi namun permen ini kok tetap bisa dijumpai di warung-warung kelontong sampai sekarang ya?
Dilansir melalui sebuah wawancara Liputan6, karyawan di perusahaan ini mengaku bahwa hal yang dapat membuat produksi permen Davos bertahan sampai sekarang salah satunya adalah karena adanya kehangatan dan semangat kekeluargaan karena karyawan yang ternyata turun temurun dalam keluarga. Bahkan mereka tak menggunakan mesin modern untuk memproduksinya supaya tetap bisa menggunakan jasa para pekerja.
Selain itu, jaringan distribusi yang sudah terbentuk sejak lama juga memberikan keuntungan bagi perusahaan yang satu ini. Mereka juga selalu memberikan pelayanan terbaik pada pelanggan termasuk mengganti produk yang rusak walau sebenarnya kesalahan bukan dari mereka. Terakhir, hal yang membuat mereka bertahan adalah rasa dari permen itu sendiri. Resep yang selalu konsisten sejak dulu membuat cita rasa permen ini memberikan rasa nostalgia tersendiri.
Bentuknya yang sederhana dengan rasa khas yang dimilikinya tak pernah berubah sejak dulu yang membuat permen Davos tetap bisa eksis sampai saat ini walaupun tanpa banyak promosi. Pihak Davos pun juga percaya bahwa permen ini akan tetap ada hingga ratusan tahun lamanya. Apakah kamu termasuk penggemar permen legendaris ini juga?