Muslim menjadi agama yang persebarannya paling luas di Indonesia. Itulah yang kemudian menjadi alasan kenapa wanita berhijab begitu mudah ditemui dan menjadi mayoritas di sini. Jika membicarakan hal tersebut, hijab pasti dikaitkan sebagai sesuatu yang wajib dikenakan oleh wanita muslimah untuk menutupi auratnya.
Namun, itu kembali lagi pada pilihan masing-masing dari diri mereka sendiri. Sebab menggunakan hijab bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan oleh orang lain. Dan, inilah kata mereka soal bagaimana rasa jadi seseorang yang belum berhijab di tengah masyarakat yang mayoritas dan pro dengan hijab.
Yuk, simak apa kata mereka. 🙂
ADVERTISEMENTS
1. Keberadaan mereka yang sudah berhijab, nggak membuat Irzana merasa malu. Justru itu seperti menjadi pemicu
Bagi Irzana, keberadaan mereka yang berhijab nggak membuat dia merasa malu. Justru, dia menjadikannya sebagai pemicu untuk segera mengenakan hijab juga. 🙂
Seringkali jadi pemicu untuk pakai juga. Kalau soal rasa, apa ya rasanya. Rasa malu? Nggak. Rasa senang, mungkin iya, kadang dapat pemicu untuk segera berhijab juga.
ADVERTISEMENTS
2. Bagi cewek yang satu ini, hijab bukan penentu dari takwanya seseorang. Jadi, buat apa peduli kata mereka~
Buat cewek yang nggak memusingkan apa kata orang ini, hijab bukan sesuatu yang menentukan tingkat ketawaan seseorang. Jadi, buat apa memusingkan apa kata mereka.
Kalau aku pribadi sih santai aja nanggepinnya. Aku emang nggak peduli sama omongan orang lain. Dan, buatku jilbab pun nggak menentukan ketakwaan seseorang. – Ade Kusuma Wardani.
ADVERTISEMENTS
3. “Memang menutup aurat itu kewajiban muslimah, tapi sebagai muslimah aku juga punya pilihan.”
Bagi Disfira, mendapat pertanyaan terkait penggunaan hijab bukan lagi sesuatu yang heran didengar. Namun, dia punya cara untuk menyikapinya, sebab baginya hijab itu adalah pilihan. Dia sendiri nggak mau mengenakan hijab ketika hatinya belum ‘mantap’, supaya nggak setengah-setengah.
Selama ini, pertanyaan yang selalu ada adalah, “Kapan berhijab? Mamanya aja udah, lho,” selalu aku denger. Kalau sesekali nggak masalah, tapi kalau sudah yang mendesak dan memaksa banget, aku akan diem aja dan masa bodoh. Memang menutup aurat itu kewajiban muslimah, tapi sebagai muslimah aku juga punya pilihan. Aku akan berhijab kalau hatiku udah mantap, nggak setengah-setengah. Kalau dengan jawaban itu orang-orang masih tetap mendesak, ya, bodo amat. Kok jadi mereka yang ikutan repot.
ADVERTISEMENTS
4. Lain dengan Yessi yang mengatakan jika hijab itu adalah sikap!
Rasanya, biasa aja sih. Sebab buat aku pribadi, hijab itu adalah sikap dan jilbab itu yang dipakai di kepala. Kadang ada sih rasa pingin saat aku secara intim lagi bareng-bareng sama dia yang berjilbab, tapi buat aku berjilbab seharusnya konsisten. Nah, sepertinya aku belum bisa konsisten sama hal itu. Tapi, aku menjadikan semua itu hak memilih, mengerti, dan menghargai aja.
Bagi Yessi Arinda, hijab itu adalah sikap, tentu yang konsisten. Dia pun kemudian menekankan jika semua itu dijadikannya hak untuk memilih, mengerti, dan menghargai.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
5. “Beda masyarakat, beda lingkungan, dan beda pemahaman.”
Biasa aja sih, karena beda masyarakat, beda lingkungan, dan beda pemahaman, ya. – Zeta Fadilla
Zeta pun berpendapat jika tiap-tiap masyarakat di lingkungan tertentu memiliki pemahaman masing-masing. Yap! Mungkin bisa disepakati jika tiap-tiap orang nggak bisa disamakan untuk hal sensitif seperti hijab.
6. Meski suka merasa sedih karena menjadi kaum minoritas, tapi Ghea masih bisa menanggapinya dengan perasaan yang tenang
Perasaan aku sih biasa aja, karena menurut aku berhijab atau tidak itu merupakan hak tiap muslim, meski hukumnya memang wajib. Tapi terkadang pada situasi tertentu, kadang suka sedih sendiri sih jadi minoritas, kalau solat ke Mesjid aja kayak suka diliatin gitu karena kepalaku nggak berbalut kerudung. Padahal kan aku punya hak yang sama untuk beribadah sebagaimana umat muslim lainnya.
Meski memang suka merasa sedih karena menjadi bagian dari kaum minoritas, tapi cewek yang kerap disapa Ghea ini masih bisa menanggapinya dengan perasaan yang tenang. Dia mengungkapkan jika nggak pernah mendapat paksaan dari keluarganya, meski ibu dan kakaknya sudah berjilbab. Justru, itulah yang kemudian menjadikannya berpikir jika suatu saat memang harus berhijab.
7. Lantaran kita hidup di masa yang penuh tenggang rasa, harusnya perkara hijab nggak dibawa jadi sebuah masalah
Kan kita hidup di zaman tenggang rasa, saling menghargai, dan menghormati. Nggak masalah, jadi amat sangat nggak masalah. – Icha
Menurut Icha, kita semua sudah hidup di masa yang penuh dengan tenggang rasa, saling menghormati, dan menghargai. Berangkat dari hal itulah seharusnya perkara penggunaan hijab nggak dibawa jadi sebuah masalah. Yap! Kita hanya perlu bisa saling menghargai satu sama lain.
8. “Malu bukan sama orang yang berhijab, tapi sama diri sendiri.”
Buat Dhella, perkara berhijab haruslah diawali dengan kemauan dari dasar, nggak bisa dipaksakan.
Jujur sih rasanya tuh malu. Malu bukan sama orang yang berhijab, tapi sama diri sendiri. Yang lain aja udah berani berhijab, masa aku nggak berhijab. Tapi so far kalau memang belum ada kemauan dari dasar, susah sih.
9. Sebab, orang lain nggak bisa memaksakan kehendaknya. Termasuk untuk soal hijab!
Nggak gimana-gimana. Orang-orang juga nggak bakal bisa maksain kehendak orang lain. Nggak parah juga kok jadinya.
Bagi Bella, dalam perkara apapun orang lain nggak bisa memaksakan kehendaknya, termasuk untuk urusan mengenakan hijab. Sebab, tiap dari kita pastilah memiliki keinginan untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan.
10. “Orang sering lupa kalau yang memiliki tubuh perempuan adalah perempuan itu sendiri….”
Orang sering lupa kalau yang memiliki tubuh perempuan adalah perempuan itu sendiri, bahwa dia punya hak yang tak bisa dibantah untuk menentukan apa yang terbaik bagi dia dan bagaimana mengekspresikan identitasnya.
Aulia Rizda Kushardini berpendapat jika tiap orang memiliki hak masing-masing untuk memilih hidupnya sendiri-sendiri, termasuk bagaimana menentukan yang terbaik bagi dirinya dan cara untuk mengekspresikan identitasnya. Baginya, ada banyak cara untuk menunjukkan identitas sebagai muslim, nggak hanya sekadar dari jilbab saja.
“Saya punya nilai lain yang saya junjung supaya hidup ada faedahnya. Supaya hidup tenang. Kan kuncinya adalah saling menghormati, bukan promosi nilai sendiri ke orang yang punya nilai lain,” tutup Aulia.
Itulah beberapa tanggapan dan perasaan dari mereka, cewek-cewek yang belum berhijab di lingkungan mayoritas. Ungkapan tersebut bisa jadi mewakili banyak orang di luar sana. Berangkat dari hal tersebut, berusaha menghargai dan menghormati tiap pilihan dari orang lain adalah cara terbaik yang perlu dilakukan. Yuk, jangan lagi saling menyudutkan. 🙂