Menteri Sosial, Tri Rismaharini kembali menjadi buah bibir di kalangan warganet. Hal ini bisa terjadi karena ia yang meminta anak penyandang disabilitas tuli untuk berbicara di depan umum. Tentu Menteri Sosial yang akrab disapa Risma ini langsung bajir kritikan.
Salah satu kritik datang dari aktivis tuli, Surya Sahetapy yang merupakan anak dari Dewi Yull dan Ray Sahetapy. Di laman Instagram miliknya ia menjelaskan kronologis kejadian yang merupakan screenshoot dari berita media. Dalam unggahannya tersebut ia juga memberikan imbauan pada masyarakat untuk lebih memahami tak semua anak bisa bicara.
ADVERTISEMENTS
Usai suruh anak disabilitas berbicara, ia langsung diingatkan. Risma: memaksimalkan pemberian Tuhan
Risma sampe motong kesempatan bicara pengkritik itu buat nyelametin mukanya. https://t.co/ffcaquAhfx pic.twitter.com/d629IgtNT8
— Allah Larry (@allhlr) December 2, 2021
Dalam unggahan video Twitter dari @allhr tersebut Risma terlihat diingatkan oleh penyandang disabilitas tuli bernama Stefanus. Ia diingatkan karena telah menyuruh anak yang menyandang disabilitas tuli untuk berbicara di depan umum pada Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021.
Menanggapi hal tersebut Risma tak tinggal diam dan langsung menjawab “Kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Tapi saya berharap kita semua bisa mencoba,” ujarnya memberikan alasan.
ADVERTISEMENTS
Menanggapi hal tersebut, Surya Sahetapy turut membeberkan kronologi kejadian beserta imbauan untuk masyarakat agar lebih memahami kalau tak semua anak bisa bicara
Dalam unggahan Instagram tersebut ia membeberkan kronologi dalam bentuk screenshoot sebuah artikel media. Tanggapan pertama yang ia ucapkan adalah “mau pingsan gue” ujarnya dalam kolom caption. Selanjutnya ia menjelaskan kembali bahwa tidak semua anak bisa bicara dan berbagai faktornya.
“Tidak semua anak bisa berbicara. Faktor bicara itu berdasarkan tingkat pendengaran mereka, investasi alat bantu dengar yang nilai puluhan-ratusan juta, terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah,” ujar Surya.
Ia turut berkomentar mengenai pandangannya mengenai pendidikan luar biasa di Indonesia yang saat ini belum humanis.
ADVERTISEMENTS
Karena keterbatasan yang mereka miliki, Surya mengimbau agar lebih dahulu menanyakan komunikasi yang akan digunakan pada penyandang disabilitas tuli
“Seharusnya digantikan pertanyaan: Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat boleh berbicara dll. Biar ibu yang belajar memahamimu,” tulis Surya.
Surya mengungkapkan bahwa lebih baik bagi kita untuk menanyakan komunikasi seperti apa yang akan mereka gunakan. Bukan malah menentukan komunikasi apa yang akan mereka gunakan hanya untuk kepuasan diri sendiri. Hal tersebut tentunya bisa membuat tidak nyaman bagi penyandang disabilitas tuli.
ADVERTISEMENTS
Surya mengingatkan perihal sikap linguicism, yang anggap orang yang menggunakan bahasa lisan lebih pintar dari orang yang menggunakan bahasa isyarat
“Hindari sikap linguicism ya kawan-kawan! Linguicism merupakan pandangan menganggap orang pakai bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat.”
Ia juga menyampaikan pesan bahwa bahasa isyarat merupakan bahasa ibu bagi Surya. Karena keterbatasan yang dimilikinya, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Namun dengan adanya hal tersebut bukan berarti ia nggak kompeten sebagai warga negara Indonesia.
Di akhir unggahannya ia memberikan harapan, “Mari ROMBAK sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia! Sebelum 2045, ya Tuhan!” pungkasnya.
Dengan kejadian ini semoga kita semakin mengerti ya SoHip batas-batasan mana yang tak boleh dilewati. Kita harus sadar bahwa semua orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing dan tugas kita adalah untuk menghormati satu sama lain.