Mengenang Artidjo Alkostar; Hakim yang Penuh Kesederhanaan dan Ditakuti para Koruptor

Profil Hakim Artidjo Alkostar

Indonesia tengah berduka, pada Minggu 28 Februari 2021 silam kita harus kehilangan salah satu putra terbaik di bidang peradilan. Hakim Artidjo Alkostar menghadap Yang Maha Kuasa untuk selamanya. Mantan Hakim Agung yang terakhir menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas KPK tersebut wafat pada usia 72 tahun.

Dikenal sebagai tokoh yang jujur, memiliki integritas tinggi, tekun dan sederhana dalam kehidupannya wajar bila kepergian sang hakim ditangisi oleh banyak pihak. Apalagi sosoknya selama ini dikenal berani tak ragu memberikan hukuman berat bagi para koruptor. Untuk mengenang kepergian beliau, berikut ini profil dan sepak terjang Hakim Artidjo bagi dunia hukum di Tanah Air yang patut diambil keteladanannya.

ADVERTISEMENTS

Tak pernah puas untuk mengejar pendidikan, selama mengabdi sebagai Hakim Agung dirinya telah menangani 19.708 perkara

Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universita Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1976, kemudian kariernya dimulai sebagai pengacara publik di LBH Yogyakarta. Artidjo pun pada 1989 memutuskan untuk mengikuti pelatihan pengacara HAM di Columbia University dan bekerja di Human Rights Watch. Kembali ke Tanah Air dengan segudang ilmu, ia pun mendirikan kantor hukum bernama Artodjo Alkostar and Associates sampai 2000. Dari sana ia mantap menjadi Hakim Agung Republik Indonesia.

Tak puas dengan gelar sarjana yan diraihnya, Artidjo kemudian melanjutkan studi di Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat dan pada 2002 ia berhasil mendapat gelar Master di bidang hukum. Terhitung selama mengabdi sebagai Hakim Agung, ia telah menangani 19.708 perkara.

ADVERTISEMENTS

Menjatuhkan hukuman tak pandang bulu, beberapa koruptor yang mengajukan kasasi ke MA bahkan dijatuhi vonis yang lebih berat

Artidjo merupakan sosok yang ditakuti para koruptor. Tak segan-segan dirinya mengganjar koruptor dengan hukuman penjara dua kali lipat dibanding pengadilan tingkat pertama. Sebut saja kasus Angelina Sondakh yang sebelumnya 4 tahun 6 bulan ditangan Hakim Artidjo justru  divonis 12 tahun penjara beserta denda Rp500 juta. Korupsi mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum pada 2015 yang semula 7 tahun diperberat menjadi 14 tahun.

Nama-nama koruptor kelas kakap juga pernah ia tangani, diantaranya eks Ketua MK Akil Mochtar (seumur hidup), Luthfi Hasan Ishaaq, Sutan Bhatoegana, Pengacara OC Kaligis, hingga Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dalam sesi wawancara dengan majalah Tempo di tahun 2013 bahkan Artidjo pernah mengungkapkan keinginannya untuk menghukum mati koruptor. Namun sayangnya, kontruksi hukum di pasal korupsi Indonesia bertentangan dengan pandangan tersebut.

“Berani atau tidak kita mengamandemen? Pembuat Undang-Undang saja takut suatu saat kena, malah maunya mengamankan dirinya sendiri,” ucap Artidjo kala itu dikutip dari pemberitaan Tempo .

ADVERTISEMENTS

Kendati terkenal ‘galak’ di mata koruptor, keseharian yang sederhana melekat pada sosoknya. 18 tahun menjadi Hakim Agung, Artidjo hanya koleksi 2 kendaraan. Keteladanannya jadi inspirasi banyak orang

Diceritakan selama 18 tahun menjadi Hakim Agung dirinya tak pernah ambil cuti, bahkan ia pernah menolak mengambil 9 bulan gaji. Hal itu diceritakan saat itu 9 bulan ia pernah tak masuk kantor karena mendapat beasiswa short course di Amerika Serikat, namun selepas pulang ke Tanah Air gaji 9 bulannya masih disimpan. ia pun menolak karena merasa gaji itu bukanlah haknya. Sayangnya sikap Artidjo dikhawatirkan berimbas pada hakim agung lain. Akhirnya gaji 9 bulan itu tetap diambil tetapi tak digunakan melainkan disumbangkan untuk pembangunan masjid di Mahkaham Agung (MA).

“Saya bekerja itu ikhlas. Jadi kalau ikhlas akan menjadi nutrisi kesehatan. Tapi kalau bekerja tidak ikhlas akan menjadi ria. Racun dalam tubuh kita. Jadi semua tergantung kepada niatnya,” kata Artidjo dalam buku Alkostar, Sebuah Biografi.

Dilansir dari detik, Artidjo meninggalkan harta sebesar Rp922,25 juta namun ia hanya memiliki dua koleksi kendaran, yakni satu unit Honda Astrea tahun 1978 dan Chevrolet minibus produksi 2004. Salah satu kalimat yang diingat hingga sekarang “Tidak Menerima Tamu yang Berperkara” sebagai bentuk pendiriannya tak menerima suap dan mengedepankan sebuah kejujuran.

Kini sosoknya telah tiada, namun pencapaiannya selalu menjadi inspirasi kita semua. Selamat jalan Hakim Artidjo Alkostar, jasamu pada negeri akan selalu dikenang dan menjadi teladan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Pemerhati Tanda-Tanda Sesederhana Titik Dua Tutup Kurung