Adalah hak setiap orang untuk mengambil keputusan soal urusan hidupnya. Akan mengambil kuliah atau langsung bekerja, akan jadi pekerja kantoran atau berwirausaha, akan menikah atau tidak, dan tentu saja, akan menjadi orangtua atau tidak sama sekali. Meski pada setiap keputusan akan selalu diikuti dengan berbagai konsekuensi, rasanya semua akan baik-baik saja saat apa yang menjadi keputusan tersebut adalah buah dari hasil diskusi dan pemikiran yang sehat.
Hal inilah yang mendasari Marissa Anita dalam mengambil banyak keputusan di hidupnya. Baru-baru ini, jurnalis satu ini membeberkan alasannya menunda momongan meskipun sudah 14 tahun mengarungi kehidupan pernikahan. Obrolan itu terekam dalam podcast Thirty Days of Lunch dan Marissa mengawalinya dengan mengenang kisah saat ia melihat pasangan muda membawa bayi mereka di bandara.
ADVERTISEMENTS
Marissa Anita mengenang saat melihat pasangan muda membawa bayi mereka di bandara
Marissa sangat teringat pada sebuah momen dimana suatu hari di bandara, dia melihat pasangan muda kisaran usia awal 20 tahunan membawa bayi. Pikirannya melayang tentang apakah pasangan tersebut sebenarnya masih ingin mengeksplor banyak hal, apakah mereka sudah selesai dengan diri mereka sendiri sampai-sampai sudah merasa siap untuk menjaga seorang anak?
“Ini terpantik ketika aku ada di airport, aku lihat ada pasangan muda banget, kayanya tuh early 20’s dan mereka sudah membawa bayi. Dalam pikiran aku gini, ‘wow, apakah mereka sudah selesai ya dengan diri mereka sendiri sebelum mereka punya anak dan harus take care of their babies’,” ucap Marissa.
ADVERTISEMENTS
Menikah saat berusia 25 tahun, Marissa Anita masih ingin eksplor banyak hal
Marissa Anita diketahui menikah dengan pria bule berkebangsaan Australia, Andrew Trigg pada 2008 lalu. Dikutip dari podcast Thirty Days of Lunch episode 115, usianya kala itu baru 25 tahun dan masih ingin mengejar banyak hal seperti travelling keliling dunia dan juga pengembangan kariernya.
“Gila, waktu gue di umur 25, gue masih pengen kejar banyak hal, masih pengen kerja, masih pengen main. Meskipun gue nggak liar ya, gue nggak clubbing, istilahnya ‘main’, pengen travelling, see the world, build my career. That’s challenging with children, because you have to compromise. Which is nggak apa-apa kalau memang itu yang dipilih,” kata Marissa.
Tak heran, tekad kuat itu ternyata memang mengantarkan Marissa pada gerbang kesuksesan. Ia berhasil menjadi reporter dan pembaca berita di salah satu stasiun TV swasta dengan rating yang sangat bagus. Seakan tak puas di satu lini pekerjaan, saat ini Marissa juga sukses malang melintang di beberapa film. Terakhir dia berhasil mendapat penghargaan sebagai Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik dalam film Ali & Ratu-Ratu Queen di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021.
Marissa berpendapat bahwa untuk menjadi orang tua dan menerima anggota baru dalam sebuah keluarga, kita harus benar-benar siap, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Tak ada lagi trauma, tak ada lagi penyesalan. Baginya, kita harus selesai terhadap diri sendiri sebelum menjaga tanggung jawab yang lebih besar, yaitu anak.
Menurutnya, akan ada tantangan tersendiri jika Marissa dan sang suami memaksa untuk punya anak kala itu, karena tentu saja, ia dan suami harus berkompromi dengan banyak hal. Meskipun, Marissa sama sekali tidak menyalahkan siapapun yang bisa menjalani karier dan membesarkan anak dengan seimbang. Yang penting adalah keputusan yang diambil secara sadar, bukan karena merasa dituntut untuk mengikuti standar masyarakat.
ADVERTISEMENTS
Bagi Marissa, memiliki anak bukan tentang sebuah keharusan, tapi kesiapan
Sering kita lupa bertanya pada diri sendiri, apakah kita siap memiliki anak? Atau hanya mengikuti tradisi bahwa umur 20 tahun sekian sudah saatnya menikah yang kemudian diikuti dengan keharusan memiliki anak. Atau memang itulah keputusan yang kita ambil sendiri secara sadar? Karena bagi seorang Marissa Anita, memiliki anak bukanlah sebuah keharusan, tapi lebih pada kesiapan si orangtua itu sendiri.
“Mungkin karena ini adalah sebuah kebiasaan kita bahwa, oh, kalo umur 20 sekian lo udah harus nikah, udah umur sekian udah harus punya anak. We forget to ask to ourself, am I ready? Am I just following society, or what society think it’s happiness for me or this is my choice?” lanjut Marissa.
Masyarakat sering kali memberi label untuk bekerja, menikah, kemudian memiliki anak. Bagi mereka, kebahagiaan diukur dari hal-hal yang demikian. Bagi Marissa, bahagia adalah kita yang tentukan. Apakah dengan memiliki anak kita bahagia? Apakah label bahagia harus sesuai dengan keinginan lingkungan sekitar? Jika nyatanya tidak, kita bisa memilih bahagia sendiri. Saat sudah siap, jadilah orangtua. Bukan karena keharusan dari lingkungan.
ADVERTISEMENTS
Menjadi orang tua tak melulu 100% soal anak. Orang tua harus punya porsi untuk mencintai diri sendiri
Cinta orang tua untuk seorang anak memang tak bisa dinilai secara matematika. Saking luasnya, saking dalamnya. Tapi, jangan lupa untuk mencintai diri sendiri. Banyak yang berpendapat bahwa anak harus selalu dinomor satukan. Namun, Marissa berujar bahwa orang tua juga perlu loh menyelipkan porsi cinta untuk diri sendiri.
Menurutnya, jika orang tua lupa untuk memperhatikan dan mencintai diri sendiri, tekanan-tekanan itu suatu saat bisa jadi akan meledak menjadi sesuatu yang negatif, yang justru dampaknya juga akan merugikan anak dan keluarga.
“Dan akhirnya saat kita lupa pada diri sendiri, ada satu titik dimana kita drop, nah itu meledak. Manifestasinya bisa macem-macem. Bisa negatif, negatifnya bentuknya kayak apa. That’s what we want to avoid. We don’t want to explode. Karena menekan terus perasaan, menekan terus, menekan. Maksudnya, oiya, sebagai orangtua aku prioritasnya yang itu (anak). Tapi kita lupa untuk melihat actually we do need to take care ourself too,” jelas Marissa.
Saat ini, di usianya yang sudah 39 tahun, 14 tahun kemudian setelah janji suci pernikahannya diucapkan, Marissa mengutarakan bahwa baru sekaranglah dirinya dan suami mau memutuskan untuk punya anak. Pada akhirnya, memilih sebuah episode kehidupan memang bukan soal bagaimana mereka, bagaimana nanti, atau bagaimana kalau, tapi lebih pada bagaimana diri ini menghadapi semuanya.