Kadang banyak orang, terlebih orang orang yang sudah tua (orang tua-red), senang memberi ultimatum tanpa ada setidaknya sebait memorandum dalam hal ihwal pernikahan, kepada –entah- anaknya, saudaranya, kerabatnya, maupun sesepele tetangganya. Ultimatum yang keluar beragam, namun tak jarang terdengar seragam. “kamu kan sudah berumur, kok belum menikah juga?” , atau “cepatlah menikah duhai anakku, ibu sudah tidak sabar menimang cucu”. Tahukah mereka, yang senang bertanya seperti itu, bahwa sebenarnya pertanyaan itu sangat membingungkan bagi yang ditanya? Apakah mereka tidak menyadari, atau mungkin sengaja untuk tidak menyadari, akan arti ikatan perkawinan yang sebenarnya?
Beberapa orang, atau mungkin semua orang, sering sekali mengabaikan urgensi pernikahan yang sebenarnya sangat vital dan urgent keberadaannya untuk diketahui bagi si calon. Bagaimana menikah bukan hanya soal 1-2 tahun tinggal bersama, bagaimana menikah bukan hanya soal asyiknya ‘perkembang-biakkan’ legal antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana rentan nya ‘luka’ yang harus segera ditutupi dan dianggap tidak ada ketika seseorang memilih mantap untuk menikah. Tidak, tidak semudah itu untuk mengambil keputusan satu kali seumur hidup, satu kali dan tiada ganti. Bisa disaksikan sendiri betapa tidak sedikitnya manusia terburu-buru menikah hanya karena membayangkan nikmatnya hidup legal berdua, lalu karena lupa akan urgensi pernikahan yang sesungguhnya, semua keindahan itu musnah dalam kurun waktu yang bisa dihitung dan diterka. Ya, menikah tidak sesimpel itu, sepertinya.
Bacaan ini bukan bermaksud untuk memberikan pandangan pesimistik mengenai menikah dan segala antek-anteknya. Pandangan dari bacaan ini memberikan sudut ruang tersendiri, bahwa jika urgensi pernikahan sering sekali diabaikan dalam kehidupan bisa membawa dampak yang tak cukup baik bagi si pelakon nya. Menilik data yang ada di Kementerian Agama R.I menunjukkan betapa signifikan nya perkembangan perceraian di Indonesia, yaitu dengan total 324.527 kejadian perceraian di tahun 2013 lalu. Lalu, apa sebenarnya urgensi dari pernikahan tersebut? Bila di garis besarkan, ada dua poin urgensi yang wajib jadi bahan perhatian bagi kita semua dalam soal pernikahan.
Menikah yaitu soal menyatukan 2 kepala yang berbeda dari segi segalanya. Garis bawahi kata-kata berbeda dan segalanya.
Bukan segi fisik, yaitu laki-laki maupun perempuan. Namun segi cara memperlakukan ‘hidup’ nya sendiri. Belasan, atau bahkan puluhan tahun hidup di lingkup yang berbeda, dengan pola asuh yang tidak sama, lalu tiba-tiba bertemu dan tiba-tiba saling mengucap rindu. Harus ditanamkan baik-baik bahwa soal memilih itu soal yang krusial, bukanlah selektif. Rasanya masih bisa diberikan jeda antara krusial dan selektif. Hal yang selektif belum tentu masuk dalam kategori krusial, namun bicara soal krusial, sudah pasti melewati tahap seleksi. Dari poin pertama ini pun sudah bisa jelas terlihat bagaimana lengkungan urgensi nya.
Dua kepala tersebut minimal harus memiliki visi yang sama soal alam semesta dan seisinya. Atau paling tidak mirip. Dua kepala tersebut juga harus bisa bersahabat dengan masing-masing diri sendiri, artinya adalah mau memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri sehingga jalan menuju kesepakatan dengan pasangan akan lebih terbuka lebar dan lancar. Dalam hal ini bisa disebutkan beberapa urgensi yang bisa dipecah di poin nomor 1 ini, namun salah satu yang terpentingnya adalah pemahaman agama yang baik. Mau dipungkiri atau tidak, peran serta pemahaman agama yang baik banyak menanamkan bibit yang baik pula di dalam sebuah hubungan atau segala macam urusan. Dan bibit yang baik sudah semestinya menghasilkan buah yang nikmat. Boleh setuju, boleh juga tidak. Hak personal.
Menikah yaitu soal menyatukan 2 keluarga besar, yang bertambah besar ketika keputusan untuk menikah itu dibuat dan dibulatkan.
Dan sama sekali tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga dari masing-masing pihak memiliki andil yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam sebuah pernikahan. Menyatukan keduanya bukan berarti membuat mereka senantiasa seiya-sekata, itu sama saja mengharapkan bulan jatuh dan bergoyang-goyang di hadapan kita. Namun, bagaimana cara nya menyatukan kedua keluarga tersebut dalam keberagaman sisi yang mereka miliki sendiri. Bagaimana membuat mereka sama-sama bisa berkata “oh betul itu” meski tidak dalam waktu bersamaan. Itulah maknanya.
Ada baiknya dalam memilih teman hidup jangan seperti memilih kwaci rencengan di warung. Renyah nya setengah, gurih nya menggantung, habisnya sekejap dan tak bersisa rasa apa-apa. Dengan menyadari betapa pernikahan adalah sebuah ibadah yang agung, dengan begitu pula tingkat awareness dalam memandang urgensi pernikahan akan terus ada dan hadir di tiap diri masing-masing. Karena teman hidup sejatinya tidak bisa ditukar tambah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.