Aku kembali mengingatkan diriku untuk lebih berhati-hati dalam menulis karena aku sadar bahwa suatu saat nanti, apapun yang ku lakukan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Menulis bukanlah semata-mata karena ingin mendapatkan pujian atau penghargaan apresiasif atau bentuk perjuangan popularitas, dengan menipu banyak orang lewat aksi berpura-pura baik. Tentu bukan itu.
Dalam menyebar gagasan positif, yang harus diperhatikan adalah kebutuhan manusia. Bukan hanya keinginannya. Menjadikan issue dominan sebagai bahan tulisan yang tak ada habisnya juga tidak baik, di satu sisi, itu merupakan indikasi kelemahan kita dalam mengolah ide, bagi sebagian orang diartikan minim wawasan, maka dari itu, pilihlah tema-tema yang bermanfaat untuk banyak orang, meskipun tidak popular.
Seorang bijak pernah berkata:
“Betapa banyaknya Ilmu dan sedikitnya waktu”.- Ali Bin Abi Thalib
Aku menyimpulkan bahwa kita harus perdalam sesuatu yang menginspirasi diri kita, tak perlu memahami banyak hal, dan tidak selalu harus diminati orang lain. Karena yang ramai digandrungi belum tentu dibutuhkan. Waktu hidup yang cepat atau lambat akan hentikan oleh Tuhan terlalu murah kalau dihabiskan untuk sekedar meramaikan berita-berita temporer seputar politik, perbedaan pandangan dan berita-berita lainnya yang kita sama-sama tahu bahwa berita-berita itu tidak terlalu penting untuk dibicarakan terus-menerus.
Saatnya kita bergegas dari yang awalnya mewartakan issue dominan kepada ilmu yang membangun peradaban, dari sibuk urusan politik dan gosip ga penting beralih kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Karena menulis juga merupakan pertanggung jawaban moral dari sejumlah ilmu yang kita miliki. Menurutku, membaca adalah mengkoleksi hutang intelektual, melunasinya dengan cara menulis.
Dan lagi, benih ide untuk menyempurnakan diri serta gagasan yang berujung pada pembangunan moral tumbuh dalam pikiran yang jernih, terlepas itu akan menjadi aksi atau hanya ilusi. Alhasil, menasehati tidak sepenting introspeksi, menulis kebaikan tidak sepenting menerapkannya dan ngomongin politik tidak sepenting menata diri.
Kritik tak harus nyentrik.
Mengkaji tak harus memuji.
Menulis tak harus idealis.
Banyak hal kok yang bisa ditulis, tapi terkadang egoisme dan rasa ingin dipuji membuat kita lupa bahwa kita bukan siapa-siapa. Membuat kita merasa sebagai penyambung lidah Tuhan untuk menyampaikan kebaikan, menganggap diri kita terlalu cerdas untuk hanya sekedar diam dan merenung, Sehingga merasa berkewajiban berada di posisi terdepan dalam mewartakan issue terkini.
Sebagai penutup, yang perlu kita semua pahami adalah. Menulis artinya memposisikan cermin kehadapan diri, bukan untuk menasehati orang lain. Jika banyak orang yang meminjam cerminmu, itu tanda kacanya bersih.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.