Masihkah ada yang ingat kapan terakhir kali berkirim surat lewat pos, atau setidaknya menerima selembar surat atau kartu pos yang diantar oleh seorang bapak dengan seragam dan motor berwarna oranye?.
Bagi saya, itu terjadi 9 tahun lalu.
Ya, SMP adalah saat terakhir saya menikmati surat-menyurat dengan teman saya. menikmati sensasi deg-degan menanti balasan kembali dari sang teman yang membawakan berita baru, sekalipun berita “baru” itu sudah tertanggal beberapa hari bahkan seminggu yang lalu dari hari ini, tapi tetap saja rasa bahagia mendapat selembar kertas yang ditulis tangan oleh sang pengirim.
Sensasi inilah yang mungkin banyak dilupakan oleh banyak orang belakangan ini. Kemudahan berkomunikasi dan berbagi informasi terbaru yang didapat dengan banyaknya update teknologi informasi, hal ini membuat orang “sedikit” melupakan budaya menulis, sekaligus juga sensasinya.
Lihat saja di hari raya, dan hari-hari besar lainnya, berapa persen dari jumlah masyarakat di Indonesia yang masih saling berkirim kartu ucapan?. Saya pribadi bahkan sudah tak ingat lagi kapan terakhir kali kirim kartu ucapan. Perayaan dan ucapan “Selamat Hari Raya”, dengan beberapa kalimat penghias di bawahnya kini sudah berjejer rapi di Kotak Masuk pesan, atau di aplikasi penerima pesan lainnya. Tak jarang isinya senada, seragam, ada beberapa pula yang lupa tak edit nama penulisnya hingga jadi sumber tawa penerima pesan.
Mengirim pesan singkat, surat elektronik, atau sekedar chatting bahkan video conference memang lebih efisien, membutuhkan waktu singkat, ringkas, tidak merepotkan, dan tak perlu perlu pergi kesana-kemari, buat beli amplop, beli perangko, dan tunggu bapak pos lewat. terutama tak perlu menanti lama. Dalam hitungan detik pesan yang hendak disampaikan sudah terkirim, dan di detik berikutnya jawabannya sudah diterima lagi.
Ya, teknologi memang dasarnya diciptakan untuk membuat pekerjaan manusia menjadi lebih mudah.
Bandingkan dengan repotnya gaya klasik berkirim pesan dengan surat. Menulisnya saja sudah lama, belum kalau kata-katanya ada yang salah, akhirnya kertas yang jadi korban dirobek dan ganti ulang, kalau sudah jadi, harus siapkan amplop dan perangkonya. Kalau hari libur, harus tunggu dulu hingga pak pos datang, atau kantor pos buka. Begitu suratnya sudah dikirim, waktu balasannya pun benar-benar tak bisa ditebak.
Apakah yang disana sudah terima pesannya? Apakah pesannya langsung dibalas? Atau langsung masuk tempat sampah? Apakah dibaca? Atau dibikin jadi bungkus gorengan?. Tak ada notifikasi pesan terkirim. Tak ada keterangan pesan sudah dibaca atau belum. Apa tak kurang merepotkan lagi?.
Kali ini saya bilang, cobalah sesekali tengok ke dalam hati kita yang mungkin sedikit sepi disana: Pesan-pesan elektronik itu, yang menggunakan font general, berformat maya tak begitu bisa mewakili emosi pengirim, dan tak begitu dapat dipahami “auranya” oleh penerima.
Surat.
Ditulis tangan, di selembar kertas, entah itu kertas HVS, kuarto, kertas gambar, atau bahkan kertas pembungkus nasi, dengan coretan di sana-sini, ditambah preambule “Dengan Hormat”, atau “Apa Kabar?”. Tentu saja gaya tulisan dipercantik untuk menunjukan rasa hormat, kekaguman, rindu, penantian, harapan, dan banyak doa, sedikitnya membuat perasaan menjadi lebih tenang.
Saat membuka surat, itu artinya kita akan memilih untuk berhenti sejenak dari banyak kesibukan, duduk, atau berdiri dekat jendela, menghela nafas dengan tenang, dan membaca deretan kalimat demi kalimat yang dituliskan dengan penuh perasaan dan banyak kisah di setiap katanya. meski harus menanti lama, gelisah sepanjang malam, dan tak sabar jika balasan tak kunjung tiba, namun menulis surat tetap memiliki tempat di hati semua orang.
Semoga kita tak lupa akan perasaan nyaman itu. Selamat melanjutkan menulis, dan selamat menulis kembali.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.