Teman-temanku yang baik hati, aku menyadari bahwa tidak semua perlakuan baik dilakukan manusia karena semata-mata mengharapkan upah atau mengharapkan balasan pahala. Tidak semua kebaikan menuntut balasan materi, maupun hal-hal yang membayar kebaikan itu. Di sela-sela waktu hidup yang cukup panjang, pasti ada beberapa kebaikan yang kita lakukan tanpa sedikitpun mengharapkan balasan apapun. Walaupun pada akhirnya, semua manusia mengharapkan sebuah kebahagiaan.
Banyak orang ingin menjadi baik, namun mereka tak punya alasan yang kuat, mereka tidak melihat bahwa ada kekuatan dalam kebaikan, mereka tidak menyadari bahwa kebaikan membaluri jiwanya dengan keperkasaan dan kewibawaan. Mereka juga lupa bahwa mereka terlahir dari Cinta, yang diikat oleh sebuah komitmen. Minimal, yang sadar harus mengingatkan yang belum sadar, yang tahu harus memberitahu yang belum tahu, yang tidak mau tahu, jangan dihiraukan, tinggalkan saja. Karena “memaksa” juga tindakan yang melunturkan nilai-nilai kebaikan. Yang perlu teman-teman ketahui, bahwa titik akhir dari sebuah kebaikan adalah kebahagiaan.
Tulisanku kali ini tidak akan membahas kebaikan secara utuh, aku juga belum merasa layak menjadi pewarta nasihat seputar kebaikan, tentunya karena belum benar-benar menjadi orang baik. Aku hanya ingin memberikan gambaran tentang betapa eratnya hubungan antara kebaikan dengan kebahagiaan. Ayo kita telusuri.
Ternyata, kebahagiaan adalah sebuah peristiwa intelektual yang berefek secara emosional dan fisikal. Kebahagiaan bukanlah persepsi atau semacam ekspresi yang dibuat-buat karena kita berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan. Kebahagiaan adalah stage final perjalanan intelektual atau sebuah titik akhir dari pemahaman, mengapa pemahaman? Karena untuk bahagia, kita harus memahami bahwa hal ini membahagiakan kita. Banyak orang yang secara normatif, seharusnya mencapai kebahagiaan, namun karena mengabaikan perenungan dan peran akal sehat, ia justru terpuruk dalam jurang penderitaan.
Tampak dari rumahnya yang besar, mobilnya yang mewah, pacar/istrinya yang cantik, syarat-syarat kebahagiaan telah ia miliki, namun banyak dari kalangan borjuis dilanda penyakit mental dan depresi, itu karena ada beberapa hal yang diabaikan olehnya. Pengabaian peran intelektual dalam memandang kehidupan akan berdampak pada jiwa.
Intelektual di sini jangan dipahami sebatas kecerdasan akademis atau sebuah prestasi akademik yang diperoleh diperguruan tinggi maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya, intelektual yang aku maksud adalah ketulusan nalar dan kesadaran terhadap apa yang ia miliki, tidak melihat segala sesuatu sebagai hal yang harus ia miliki, akal sehatnya bekerja dengan baik untuk menjaga dirinya, selalu memerintahkan dirinya untuk merasa cukup dengan apa ia miliki, karena sedikit apapun harta yang kita miliki dengan kerja keras, jauh lebih baik ketimbang harta yang banyak tapi hasil menipu atau hasil pemnberian orang.
Intelektual yang seperti ini jarang diperhatikan, karena tidak ada kertas pengesahannya, tidak ada lembaga yang mengapresiasi kecerdasan yang seperti ini, sehingga banyak orang yang berebut mengejar gelar intektual formal dengan mengabaikan intelektual yang lebih penting untuk kehidupan ini.
Dan lagi, kebahagiaan kadang bertolak belakang dengan kesenangan, banyak orang yang keliru memahami ini, menganggap kesenangan sensual adalah kebahagiaan, padahal itu justru menjadikan intelektual dan emosional semakin terpuruk, sehingga yang ia dapatkan hanya kesenangan utopis dan berakhir pada penderitaan yang nyata. Mudah-mudahan kita bukan termasuk orang yang menderita hal ini, tapi jika kamu termasuk, segeralah perbaiki kesadaran mu tentang arti kebahagiaan. Lanjut.
Kebahagiaan juga merupakan hasil distribusi kebaikan-kebaikan yang disebar sejauh mungkin, pancaran kebaikan yang lebar semakin memperkuat ruang kebahagiaan jiwa. Banyak orang menganggap bahwa kebahagiaan adalah kesenangan individualitas, padahal itu mustahil, kita manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa ada manusia lainnya.
Kebahagiaan hakiki adalah dominasi intelektual yang jernih atas raga yang rapuh ini. tidak semata-mata memanjakan kepuasan raga dengan menyepelekan akal sehat. Kesengsaraan hakiki adalah dominasi raga atas intelektual yang kita miliki. Kita membiarkan raga kita termanjakan, dengan segala kesenangan semu dan membiarkan akal sehat terinjak-injak oleh peristiwa yang menimpa jiwa.
Jika kita masih bingung dalam menilai, apakah diri kita termasuk orang yang bahagia atau tidak, kita bisa memulainya dari hal yang paling sederhana, tanyakan kepada dirimu “Apakah intelektualmu membatasi keinginanmu?”, jika iya, maka kamu adalah orang yang bahagia. Lalu “Apakah keinginan yang bertentangan dengan intelektualitasmu selalu kamu manjakan?”, jika iya. Maka kamu adalah orang yang paling menderita. Kejujuran pada diri adalah awal dari kebahagiaan. Sebelum aku menutup artikel ini, ada sedikit syair:
Belajarlah tentang arti kebahagiaan dari mereka yang menderita.
Belajarlah tentang arti kebersamaan dari dia yang sering sendiri.
Belajarlah tentang arti ketulusan dari mereka yang dikhianati.
Belajarlah tentang arti pendidikan dari mereka yang tak punya biaya sekolah.
Harapan mereka sederhana, tak terpropaganda kata. Hidup mereka tercerai dari rasa bangga diri. Dunia yang mereka lihat tak sepenting cara mereka bertahan hidup.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
This article opens my mind