Sebuah Kritik Sosial: Tentang Kebiasaan Membicarakan Persoalan Rakyat Sambil Ngudud Dan Ngopi


Ini persoalan yang cukup serius, kawan. Marilah kita ngopi dan ngudud sejenak, kita bahas persoalan rakyat kecil ini. Barangkali, kita akan menemukan solusi yang tepat…


Mungkin seperti itulah yang sering kita temui di tengah-tengah masyarakat. Baik itu dipercakapan di lingkungan nyata ataupun di lingkuang dunia maya(media sosial). Banyak yang menggunakan kata-kata ngudud dan ngopi sebagai isyarat bahwa segala persoalan perlu dibahas dengan pikiran yang tenang dan tanpa sedikitpun tekanan. Agar setiap persoalan bisa dengan mudah ditemukan solusinya dan mengakhiri sebuah perdebatan.

Kedengarannya sungguh indah bukan? Ini menggambarkan betapa tingginya nilai-nilai persahabatan yang dilambangkan dengan ngopi dan ngudud. Kendatipun demikian, kebiasaan seperti ini terdengar sedikit mengganjal dan aneh jika dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang dibicararakan. Katakanlah, pada saat duduk bersama dan sambil melakukan dua ritual tersebut, terjadilah sebuah diskusi membahas persoalan yang terkait dengan kepentingan masyarakat kecil. Seperti nasib para petani, buruh yang terancam PHK, dan persoalan-persoalan lain yang menggambarkan permasalahan rakyat kecil yang masih saja belum terselamatkan.

Saya berpandangan hal ini cukup aneh, bagaimana mungkin kita bisa duduk santai dan bahkan bersenang-senang untuk membahas suatu persoalan yang tengah menyulitkan rakyat kecil? Justru aktivitas tersebut malah menggambarkan bahwa persoalan tersebut hanya sebagai komiditas atau bahan pelengkap agar waktu nongkrong kita tidak hambar dan biar terlihat keren.

Karena sambil ngopi kita bisa menyalurkan pemikiran, sambil ngudud kita bisa mempertegas pandagan yang luas dan mendalam terhadap persoalan sosial yang terjadi saat ini. Namun, setelah pertemuan itu selesai, ya sudah, segala pembahasan tersebut hanya menjadi wacana, tanpa dilanjutkan dengan retorika apalagi denga aksi nyata.

Jika ngudud dan ngopi ini dijadikan sebuah perumpamaan. Mungkin kita bisa melihat persoalan ini seperti orang-orang yang duduk bersama dalam sebuah forum yang tengah serius membahas isu-isu sosial. Seperti kemiskinan, pengangguran, anak-anak putus sekolah dan lain sebagainya. Para ahli dikumpulkan dalam sebuah forum, dan kemudian dipertontonkan kepada khalayak ramai.

Menggambarkan betapa pedulinya mereka terhadap persoalan yang tengah dibahas dan seriusnya mereka dalam menemukan solusinya. Namun, setelah forum itu bubar, ya segala pembahasan menguap begitu saja, atau setidaknya menjadi catatan yang tersimpan sebagai arsip atau pelengkap laporan pertanggung jawaban kepada yang mendanai forum tersebut.

Dalam cakupan yang lebih kecil, mungkin kita bisa melihatnya pada obrolan di warung kopi, di depan api unggun pada saat berkemah di hutan, atau di forum-forum pemuda yang serius membahas isu-isu seperti yang disebutkan tadi. Namun, ketika ditanya tentang apa rencana yang akan dilakukan setelah menemukan solusi, atau apa tindakan yang akan dilakukan. Maka, tidak ada satupun yang bisa menjawab dengan pernyataan yang tegas bahwa ia akan turun dan mulai mengupayakan penyelesaian masalah tersebut.

Di lain rupa, kita juga bisa melihat kebiasaan tersebut seperti seseorang yang tengah berusaha untuk terlihat peduli, namun itu hanya sebagai kedok untuk membela kepentingannya sendiri. Seperti contoh, ada beberapa masyarakat yang lantang menyuarakan pembelaan terhadap rakyat kecil pada saat terjadinya kenaikan tarif listrik. Menyalahkan pemerintah dan mencapnya sebagai bentuk penindasan terhadap rakyat.

Namun, pada kenyataannya adalah aksi pembelaan tersebut semata hanya untuk membela kepentingannya sendiri karena tidak terima pada peningkatan biaya yang alami. Sementara rakyat kecil yang ia bela itu, sudah terpelihara oleh subsidi yang diberikan pemerintah. (saya juga persoalan serupa pada kebijakan anti-rokok. Namun sudahlah, terlalu banyak contoh yang dijabarkan,nanti malah membosankan,hehe)

Jadi, rasanya kita perlu untuk kembali mengkritisi sikap kita yang selama ini cenderung melakukan yang bertolak belakang dengan tujuannya sendiri. Membahas persoalan kemisknan sambil bersenang-senang dengan ngopi dan ngudud itu tentulah tidak tepat dan mungkin saja tidak benar.

Ya, bagaimana mungkin kita melakukan beberapa kesenangan, sementara tujuan kita adalah menemukan solusi bagi golongan masyarakat yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk bersenang-senang? Jika alasan kita melakukan hal tersebut untuk menjernihan pikiran, bagaimana jika sebaiknya berpuasa saja? Bukankah dengan berpuasa orang bisa jernih dalam berfikir? Tidak dirasuki ego dan nafsu. Ya, setidaknya berpuasa dari menikmati “nikotin dan kafein” saja,dan itupun untuk sementara.

Ingatlah, kepedulian itu tidak semata dilihat dari apa yang kita wacanakan, namun juga dilihat dari bagaimana cara kita dalam mewacanakannya dan kemudian bagaimana kita dalam mengimplementasikannya. Tidak peduli bagaimanapun hasil yang dicapai, namun kita jika senantiasa memahami bentuk kepedulian dan memperbaiki caranya, tentulah persoalan yang terjadi dapat terselesaikan, sesuai dengan tujuan dari apa yang kita lakukan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini