Saya Takut Kalau Tidak Punya Rasa Takut

BUNTUT TEROR YANG BERKEPANJANGAN

Tagar #KamiTidakTakut, #SurabayaWani, #SurabayaNggakWedi, bertebaran di mana-mana sejak bom meledak di tiga gereja di Surabaya. Rentetan kasus bom dan terorisme bukan saja ke Sidoarjo, tetangga paling dekat Surabaya, melainkan sampai ke Riau. Saat tulisan ini saya buat, polisi sedang menggerebek terduga teroris di Tangerang. Indonesia benar-benar siaga 1.

Di sikon yang mencekam ini, banyak pihak-pihak terutama dari pemerintah menghimbau kita agar tidak takut. Rasa takut menurut banyak pakar justru membuat teror berkelanjutan. Mengapa? Karena tujuan utama teror adalah menciptakan chaos dan rasa takut, sehingga negara lemah. Namun, jauh di lubuk hati kita, apa bisa kita benar-benar tidak takut jika situasi begitu menakutkan?

Faktanya jalan-jalan jadi sepi, pusat perbelanjaan dihindari pengunjung sehingga kosong melompong. Gereja ditutup. Sekolah diliburkan. Apakah semua ini tidak merupakan petunjuk yang kasat mata bahwa kita takut hal yang sama terulang lagi?

Rasa Takut Itu Normal

Rasa takut paling tidak dibagi dua: biochemical dan emotional. Yang pertama built in di tubuh kita. Yang kedua, tergantung daya tahan setiap pribadi. Ada orang yang berani menghadapi risiko yang amat menakutkan. Sebaliknya, ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ditakuti sudah membuat orang tertentu takut setengah mati. Contohnya phobia. Bukankah lucu atau malah tidak lucu jika ada orang yang takut kupu-kupu.

Anak bungsu saya dulu takut air. Mengapa? Karena saat main air di Point Walter, Western Australia, pernah tergelincir dan masuk ke laut, padahal dia tidak bisa berenang. Seorang penyanyi saat saya suruh mundur mendekati air laut dalam rangka pemotretan albumnya tiba-tiba pucat. Rupanya di masa kecil dia juga punya pengalaman hampir tenggelam.

Kalau saya? Takut ketinggian. Sebenaarnya istilah ini tidak tepat. Yang benar adalah takut jatuh. Kalau di tempat rendah, jatuh kan tidak terlalu berbahaya dibandingkan jatuh dari ketinggian.

Rasa Takut Yahud atau Maut?

Jawabannya relatif. Jika kita memakai ‘rasa takut’ untuk menyelamatkan diri sendiri, jelas bermanfaat. Sebaliknya, rasa takut yang melumpuhkan kita sehingga keluar rumah saja tidak berani, jelas lebih banyak mudaratnya.

Contoh sederhana. Jika saya takut ular kobra dan tidak mau mendekat apalagi bermain-main dengannya, rasa takut saya bermanfaat. Namun, jika saya takut air dan kupu-kupu, saya tidak bisa menikmati asyiknya berenang dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan di sangkar kupu-kupu.

Karena takut ketinggian lebih tepatnya takut jatuh dari tempat tinggi tentu saya tidak mau bermain lompat tali di pinggir pembatas gedung pencakar langit. Orang yang dijuluki manusia laba-laba karena keberaniannya memanjat gedung tinggi tanpa pengaman toh jatuh juga karena tangannya lelah dan tidak sanggup menahan tubuhnya. Jadi, kalau untuk menjaga diri ya yahud. Sebaliknya, kalau untuk gaya-gayaan ya maut.

Mengelola Rasa Takut

Bukan hanya uang yang bisa kita kelola, guys, rasa takut juga. Saat tinggal di negara empat musim saya belajar perbedaan pengasuhan anak ala Barat dan Timur. Mengapa anak-anak ‘bule’ relatif lebih berani misalnya dalam ilmu public speaking dibandingin anak-anak bangsa kita. Mengapa? Karena mereka mengelola rasa takut sejak dini.

Anak-anak orang kulit putih biasanya sudah ‘diperkenalkan’ dengan rasa takut sejak dini. Yang lagi ngetrend adalah melahirkan di dalam air. Artinya, sejak bayi anak-anak mereka sudah dikenalkan dengan air sehingga tidak heran jika kita melihat tayangan video singkat yang jadi viral: bayi yang jago berenang, bahkan menyelam.

Demikian juga dalam menghadapi risiko. Orang ‘sono’ lebih berani ketimbang orang ‘sini’. Contohnya, saya kaget ketika seorang sahabat bule membiarkan anaknya bermain lilin menyala. “Nanti tangan anakmu terbakar,” ujar saya mengingatkan.

“Lebih baik jarinya terbakar dan kapok ketimbang seluruh tubuhnya hangus karena tidak tahu bahayanya api,” ujarnya santai.

Rupanya dia ‘mengajar’ anaknya secara langsung. Istilah kerennya experiential learning. Saat anaknya terpapar api kecil, anak itu langsung ‘belajar’ bahwa api bukan obyek mainan, apalagi dipermainkan. Kelak jika dia melihat api, dia akan menghindari karena punya pengalaman yang menyakitkan tentang api.

Teror dan Antiteror

Jadi, kita tidak perlu menjadi anggota Densus 88 yang saat saya menulis artikel ini sibuk luar biasa karena Indonesia siaga 1, melainkan mengajarkan kepada anak nilai-nilai kemanusiaan sejak dini. Salah satu yang paling efektif adalah keteladanan. Jika kita ortu tidak bisa bergaul dengan orang yang beda agama, etnis, warna kulit, tingkat ekonomi dan sebagainya, bagaimana kita berharap anak kita bisa toleran terhadap perbedaan?

Sifat dan tindakan rasis terjadi karena kita merasa ras kitalah yang paling unggul sedangkan bangsa lain mediocre bahkan inferior dibandingin ras kita. Jerman yang membanggakan ras Arianya, lewat Hittler, justru membuat kekacauan dan perang dunia. KKK di barat justru membuat perbedaan warna kulit bukan dianggap sebagai berkah melainkan musibah. Apalagi perbedaan agama. Saat agama dipolitisir, maka demokrasi terciderai.

Jika kita mengajar diri kita dan anak-anak kita entah anak kandung atau anak didik di sekolah dan kampus nilai-nilai universal, yaitu kasih dan kebaikan, saya percaya Indonesia akan menjadi taman bunga terindah di dunia. Bukankah keragaman kita sangat dikagumi orang-orang di luar negeri? Mengapa kekayaan ini justru kita hancurkan dengan kemiskinan cara berpikir kita? Mari kita ganti tagar-tager permusuhan menjadi #KitaSatu?

Xavier Quentin Pranata, dosen dan pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini