Refleksi Watak Kita dalam Kartun Doraemon

Saya tak yakin semua orang Indonesia tahu siapa itu Aliando Syarif, Leonardo DiCaprio atau Donald Trump. Tapi saya yakin seyakin-yakinnya hampir semua orang di negeri ini tahu Doraemon. Tokoh kartun robot kucing bersuara serak dari masa depan yang bisa mengeluarkan benda-benda ajaib dari kantong ajaibnya.

Setidaknya ada lima karakter utama dari serial kartun yang tayang tiap hari Minggu pagi jam 8 itu (kalau jadwalnya nggak berubah). Mereka adalah Nobita, Sizuka, Giant, Suneo, dan tentu saja Doraemon itu sendiri. Kelima tokoh ini mempunyai watak dan perangai yang berbeda-beda, tapi pada dasarnya semuanya (minus Doraemon) memiliki persamaan: sama-sama ingin meraih tujuan kesenangan, dalam hal ini yaitu benda-benda ajaib Doraemon.

Karena sifat keempat tokoh memang berbeda, maka pastinya cara mereka meraih tujuan juga tidak sama satu dengan yang lain. Dan seperti itu pula, bagaimana kita berusaha mengejar setiap tujuan kita dalam kehidupan sehari-hari, sedikit banyak bisa kita refleksikan ke dalam tokoh-tokoh dalam kartun ini.

Nobita. Tokoh pemalas berkacamata yang selalu digambarkan payah dan sial di awal ini mewakili gambaran orang-orang yang malas bersusah payah dan hanya mengandalkan jalan pintas. Selalu merengek cengeng mengeluhkan masalah-masalahnya pada Doraemon, sebelum pada akhirnya meminta alat ajaib untuk membalas dendam. Barangkali perumpamaan teranyar dari ‘golongan Nobita’ adalah para pengikut Kanjeng Dimas Taat Pribadi, orang-orang yang tak mau bekerja keras tapi bermimpi punya uang segudang.

Dan entah kebetulan atau memang di sengaja, Kanjeng Dimas-pun berbadan gempal-bulat, dan bisa mengeluarkan kesenangan (fulus) dari kantong jubah ajaibnya. Dalam kadar tertentu, sungguh saya melihat Kanjeng Dimas adalah Doraemon dalam dunia nyata. (Hati kecil saya berharap moga-moga suatu hari nanti Kanjeng Dimas akan mengeluarkan baling-baling bambu dari kantongnya lalu terbang tinggi kabur dari penjara).

Sizuka. Gadis cantik—yang kabarnya pakaian renangnya kini kena blur—ini adalah representasi mereka yang rajin belajar (baca: bekerja, berlatih) dan penyayang terhadap sesama. Sekilas nampak bahwa Sizuka adalah karakter yang paling tak berhasrat untuk mendapatkan barang ajaib Doraemon. Tapi jika sedikit lebih jeli, kita akan sadar bahwa Sizuka, biarpun menjunjung tinggi etos kerja dan logika, tak pernah menolak saat Nobita menawarinya untuk turut merasakan keajaiban Doraemon.

Bahwa mengapa Sizuka mau menerima ajakan Nobita untuk mencicipi benda ajaib Doraemon, itu tak perlu dibahas karena memang hal tersebut sangatlah normal dan alamiah. Pertanyaannya adalah, mengapa ia bisa selalu menarik perhatian Nobita hingga akhirnya juga turut menikmati benda-benda ajaib Doraemon?

Cantik. Itulah kuncinya. Tak hanya parasnya, tapi juga kepribadiannya, polah pikirnya.

Wajah rupawan sebagai kecantikan luar tubuh mungkin akan menarik perhatian orang lain, tapi kecantikan dari dalam (inner beauty) akan menentukan apakah orang lain itu akan bertahan menyukainya.

Maka dapat kita lihat sekarang, Sizuka selalu berhasil meraih kesenangan (baca: benda ajaib Doraemon) dengan cara memperbaiki kualitas dirinya luar-dalam serta mau bekerja keras. Dengan formula ini—inner beauty plus hard work—siapapun akan mendapatkan hasil yang maksimal dari apa yang ia kejar. Hasil bagus adalah hal mutlak, keajaiban hanyalah efek selingan yang akan datang dengan sendirinya. Sayangnya, di dunia nyata orang yang model seperti Sizuka tak terlalu banyak.

Suneo. Anak cemen berambut jambul dari keluarga kaya raya. Selalu dimanja orang tuanya dan punya banyak mainan yang tidak dimiliki teman-temannya. Suneo adalah cerminan kelompok orang-orang bermodal yang tak terlalu cakap mengelola dan mensirkulasikannya.

Ia juga amat narsis dan labil. Walaupun kerap mampu menciptakan tren baru (dengan mainan-mainan barunya yang selalu mahal), tapi ia juga selalu tergenang mengikuti arus tren lain yang lebih ‘wah’, yakni barang-barang ajaib Doraemon milik Nobita.

Dalam pandangan saya, Sunoe adalah contoh ironi yang (tak) nyata. Ia lebih menyedihkan dari Nobita. Jika Nobita selalu murung dan bersedih, maka itu dikarenakan ia memang berada di titik sulit: keluarga kelas menengah, fisik lemah, dan akal yang tidak terlalu canggih—meskipun itu disebabkan kemalasannya sendiri.

Tapi Suneo lain. Ia terlahir dalam keadaan yang paling stabil (keluarga kaya), namun justru memiliki jiwa yang paling resah karena tak tahu apa harus diperbuat dan gampang iri melihat orang sekitar. Ia tak pernah tahu betapa besar potensi yang ia miliki. Akibatnya ia hanya mengekor pada Giant yang merupakan wujud ‘kekuatan’ utama di antara kawan-kawan sepermainannya. Namun tak jarang ketika arus kekuatan berpindah ke pihak Nobita dengan alat ajaibnya, Suneo terpaksa banting setir berbelok arah supaya dapat ikut mencicipi benda ajaib Doraemon.

Maka Suneo adalah perwakilan dari orang-orang oportunis, yang selalu mengubah-ubah haluan mengikuti ke arah mana angin berembus untuk mendapatkan kesenangan dan keamanan pribadi. Hal ini jamak kita dapati dalam dunia perpotilikan, di mana si Anu yang merupakan kader partai A, bisa tiba-tiba membelot ke partai B. Sudah ah, malas ngomong politik.

Giant. Si anak badung yang mendapat peran antagonis, selalu menindas yang lemah. Hal yang paling menarik dari tokoh bernama asli Takeshi ini adalah bagaimana Fujiko F. Fujio, pencipta dan penulis kartun Doraemon, menyelipkan sedikit latar belakang keluarga Giant sehingga pembaca atau penonton dapat mengambil sudut pandang lain.

Maka bagi saya, Giant adalah karakter yang paling berkesan, atau setidaknya menarik. Ia menjadi nakal dan bengal bukan karena keinginan, tapi karena bentukan lingkungan yakni keluarganya. Sebagaimana kita tahu, sejahat apa pun Giant di depan teman-temannya, ia berubah cengeng dan rapuh jika sudah berhadapan dengan ibunya.

Kita juga ingat betapa Giant kerap memotong waktu bermainnya karena disuruh ibunya menjaga toko. Bayangkan, anak kelas 4 SD, tak boleh banyak bermain tapi harus menjaga toko. Saya menduga, barangkali keluarga Giant memang lemah secara ekonomi sehingga ibunya tak sanggup mempekerjakan dan menggaji orang lain lalu menyuruh anaknya menjadi karyawan tanpa bayaran.

Untungnya, oleh sang pencipta (huruf p kecil) Giant dianugrahi tubuh dua kali lebih besar dari kawan-kawan sejawatnya. Itulah modal yang membuatnya tetap memiliki cara untuk bersenang-senang, yang lagi-lagi dalam hal ini adalah merasakan alat ajaib Doraemon. Maka saya rasa wajar-wajar saya jika Giant tumbuh nakal karena ya itu tadi, kenakalannya hanyalah sebuah akibat dari rangkaian sebab. Reaksi atas sebuah aksi.

Justru saya membayangkan, seandainya Giant berbadan kecil dan kurus seperti Nobita, besar kemungkinan ia akan bersifat minder dan penakut. Maka tak ada lagi yang suka mengganggu dan menyiksa Nobita, yang berarti Nobita tak akan perlu meminta bantuan alat ajaib Doraemon, yang artinya film kartun Doraemon tak lagi punya alasan untuk ditayangkan. Sampai sini kita tahu Giant adalah mata rantai yang amat penting di sini.

Dalam banyak hal Giant kerap mengingatkan saya pada karakter Kojiro Hyuga dalam anime Captain Tsubasa. Mereka punya banyak kemiripan: bertubuh besar menonjol, kuat, datang dari keluarga kelas bawah, dan melakonkan peran antagonis yang kemudian berubah protagonist (antihero).

Agak sulit menganalogikan Giant ke dalam karakter di dunia nyata sebab saya terlanjur melihatnya dengan cara seperti saya tulis di atas. Tap barangkali, bolehlah disebut Giant – sekali lagi dalam pandangan saya – melambangkan kelas bawah, kelas struggle yang berjuang keras untuk mendapatkan apa yang mereka cita-citakan.

Sebagaimana Giant memanfaatkan tubuh besarnya—karena memang hanya itu kelebihan yang ia punya—untuk ikut menikmati benda ajaib Doraemon, golongan kelas pejuang juga kerap mengoptimalkan kelebihannya untuk meraih tujuan mereka. Kadang kelebihan itu berupa otak cemerlang, kemauan untuk bekerja keras, atau kemampuan mempengaruhi teman sekitar (seperti Giant memanfaatkan Suneo). Yang pasti, Giant dan orang-orang menengah ke bawah sama-sama harus pandai-pandai memberdayakan hal-hal disekitarnya—kalau perlu bersifat licik—agar dapat terus bertahan melawan tekanan hidup serta merengkuh apa yang diimpikan.

Nah, demikianlah tipikal-tipikal karakter manusia dalam mengejar cita-citanya yang dapat kita lihat dari tokoh-tokoh Doraemon. Nobita si pemalas penyuka jalan pintas, Sizuka yang lemah lembut dan penyayang, Suneo yang plin-plan dan hanya ikut-ikutan, serta Giant si pejuang dan sedikit licik.

Kira-kira, Anda merasa lebih mirip yang mana?

Kalau saya sih, ehm, mohon maaf, lebih mirip Dekisugi: rupawan, jenius dan baik hati (bagian ini boleh diabaikan).

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengangguran partikelir. Mengidolakan Prince Zuko dan Severus Snape.

3 Comments

  1. Tiffany Leony berkata:

    slamat beraktifitas
    numpang promo Berita : https://goo.gl/F4fDuf
    web terpercaya depo wd dijamin cepat. cs online 24 jam
    lngsg saja klik disini : https://goo.gl/sL1upZ
    Thx ya