Nggak Semua Budaya Indonesia Harus Kita Lestarikan

Ada satu kebiasaan orang Indonesia yang tidak bisa saya pahami sampai sekarang: budaya minta-minta.

"Ah, tapi kan sekarang pengemis di jalanan udah mulai dibersihin lho sama pemerintah. Udah jarang kelihatan kok di lampu merah."

Oh bukan, bukan minta-minta itu yang saya maksud. Budaya minta-minta yang saya maksud ini menunjukkan betapa orang Indonesia tidak bisa melihat orang lain senang. Coba, kalau ada teman ulang tahun, biasanya kalian ngucapin apa?

"Eh ada yang ulang tahun, nih. Happy birthday, ya! Kapan traktiran?" #Eh.

Nah kan, lantas kalau ada teman mau jalan-jalan biasanya pada bilang apa?

"Err… Oleh-oleh nya jangan lupa, ya."

Tuh, jangan mesem-mesem aja deh kalau kalian termasuk yang suka melontarkan kalimat-kalimat ini.

Saya masih tidak habis pikir dari mana asalnya kebiasaan ini. Apa iya di jaman nenek moyang kita mengarungi samudera, mereka juga ditodong oleh-oleh sama sanak saudaranya di kampung halaman? Ada juga mereka diminta jangan pulang kalau sudah menemukan tempat berlabuh yang lebih baik. Kemungkinan, ini datang dari kebiasaan leluhur kita yang hobi bikin syukuran di kampung kalau ada kejadian baik di keluarga kita. Tapi adanya syukuran ini awalnya undangan ikhlas dari yang punya hajatan alih-alih permintaan dari tetangga-tetangganya, bukan?

Mari kita bandingkan dengan budaya di Jepang dan Perancis karena saya, yang sangat beruntung ini, pernah tinggal di kedua negara tersebut. Di Jepang, teman-teman saya akan sibuk mengadakan pesta di apartemen dan di kantor untuk merayakan ulang tahun saya, dan mereka akan berkali-kali meminta saya untuk tidak perlu ikut membantu. Boro-boro membantu memasak atau mencuci piring, membantu merapikan meja pun tidak mereka ijinkan. Di Perancis, sekalipun saya mengundang teman-teman untuk makan bersama di restoran, tak ada satupun dari mereka yang meminta ditraktir, ada juga mereka yang menraktir makan dan minum saya hari itu, juga membanjiri saya dengan hadiah ulang tahun.

"Itu kan di luar negeri, mungkin mereka sungkan minta ditraktir."

Ini bukan alasan geografis. Waktu saya merayakan ulang tahun di Gili Air dengan teman-teman dari Swiss juga mereka yang menraktir saya secara suka rela di hari itu. Jadi, ini masalah kultur, prinsip, dan kebiasaan.

Setiap kali saya pamit ke teman-teman saya untuk jalan-jalan di akhir pekan, baik di Jepang maupun di Perancis, mereka akan selalu mendoakan yang terbaik untuk perjalanan saya. "Bon voyage", "Have a nice trip", dan "Bonnes vacances" adalah yang selalu tertulis di pesan-pesan mereka untuk saya. Tak pernah sekalipun ada yang minta oleh-oleh ataupun menitip sesuatu dari tempat yang saya kunjungi.

Sedangkan di negara kita, kalimat "Aku nggak minta oleh-oleh kok, kamu pulang dengan selamat aja aku udah senang." justru jadi kalimat olok-olokan, bukan?. Menerima perlakuan seperti ini, tentunya saya malah ingin membawakan mereka oleh-oleh yang manis untuk manisnya sikap mereka kepada saya. Jujur saja, sekalipun saya membuat daftar oleh-oleh sebelum perjalanan, ketika seseorang di daftar saya meminta oleh-oleh, spontan langsung saya coret namanya dari daftar tersebut. Ini bukan masalah pelit, ini masalah prinsip.

Orang-orang yang terbiasa minta-minta ini harus dilatih supaya tidak mempermalukan bangsa dan alma mater di kemudian hari. Bayangkan ketika Indonesia menjadi negara maju dan ada teman kita dari negara asing yang berulang tahun, lalu kita yang berasal dari negara maju ini masih keceplosan minta teman kita dari negara yang kurang maju ini untuk menraktir kita. Ini layaknya Bill Gates minta ditraktir rujak sama pedagang kaki lima. Kalian tega? Ingat, negara maju juga butuh masyarakat yang berpikiran dan berperilaku maju. Katanya mau lihat Indonesia jaya lagi?

Satu lagi tradisi ulang tahun yang saya tidak mengerti adalah tradisi lempar bahan makanan yang umumnya berupa telur atau tepung. Alamak, saudara-saudara kita masih banyak yang kelaparan, mengapa tak kalian kirim saja itu sembako ke mereka untuk tabung pahala di akhirat? Lebih hebat lagi kalau telur dan tepung itu kalian buat jadi kue, malah jadi tak perlu beli kue ulang tahun harga ratusan ribu untuk yang berulang tahun, bukan? Itu lebih kreatif, produktif dan ekonomis. Tak kalian pikirkan kah perasaan si induk ayam yang sudah lelah-lelah bertelur dan merelakan anaknya untuk kita bisa bertahan hidup tapi malah kalian sia-siakan anaknya untuk tradisi yang tidak fundamental ini? Mereka tidak bisa diginiin terus.

"Tapi kami kan pakai telur busuk, jadi memang tidak bisa dimakan lagi. Kadang juga pakai air comberan kok, jadi nggak buang-buang air bersih, 'kan?"

Ehem, saya dengar ada siswa berulang tahun yang kornea matanya rusak akibat bakteri dari telur busuk yang dilempar teman-temannya itu, lho. Plis deh, kalian saya yakin punya otak yang pintar kok, cobalah digunakan dengan lebih optimal untuk memikirkan juga konsekuensi dari tindakan kalian yang tidak bermanfaat ini.

"Tapi dia juga mencaplok muka saya dengan terasi waktu saya ulang tahun kemarin."

Lho? Kok malah jadi ngadu? Lagipula mengapa tiba-tiba membahas ulang tahun kemarin? Bagaimana mau maju kalau kalian selalu hidup di masa lalu? Pertanyaan saya: mengapa sih kalian tidak bisa melihat teman kalian yang sudah sukses bertahan hidup setahun lagi ini merasa senang sehariiii aja? Ada banyak kematian dan kasus bunuh diri lho setiap harinya dan kalian harusnya bergembira teman kalian ini masih bisa berbagi suka dan duka dengan kalian di hari-hari yang akan datang. Kalau tidak ada mereka, siapa yang akan mengucapkan ulang tahun pada kalian tahun depan? Facebook? Google Translate? Atau teman-teman virtual kalian lainnya?

Lihat, kehadiran teman-teman non-virtual kita nyatanya tidak sepele dan sangat perlu kita apresiasi, bukan? Jadi, kali berikutnya ada teman atau saudara kalian yang berlibur atau berulang tahun, ingat betapa berartinya eksistensi mereka dan jangan jadikan mereka kambing hitam untuk nafsu bullying kalian ya. Salam Indonesia jaya!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

traveller. dreamer. hedonist.