Hari ini, Indonesia bersukacita merayakan kemerdekaannya yang ke-73. Biasanya, untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, seluruh lapisan masyarakat di penjuru negeri mengadakan berbagai lomba untuk meramaikan momen tersebut. Bagi kita tentu sudah tidak asing dengan berbagai jenis lomba tujuh belasan yang sangat akrab bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa, misalnya panjat pinang, makan kerupuk, menggambar, lari dan masih banyak lainnya.
Hayo, siapa di antara kita yang langganan juara? Tak hanya lomba tujuh belasan, kita tentu tahu walau tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai hari libur nasional, tetapi anak sekolah, pegawai negeri dan pegawai pemerintah harus tetap hadir ke sekolah atau kantor mengikuti upacara kemerdekaan. Upacara ini dimaksudkan untuk kembali mengenang jasa para pahlawan dan meneruskan semangat mereka dalam mencapai kemerdekaan.
Namun, kita sadar nggak sih kalau peringatan kemerdekaan selalu identik dengan dua hal di atas? Masyarakat masih disibukkan dengan hal-hal seremonial. Belum lagi dalam penghayatan tentang makna kemerdekaan, #MerdekaTapi kita masih digiring pada pemikiran bahwa negara merdeka ialah negara yang bebas dari penjajah asing, tidak ada baku tembak, penguasaan dan penaklukan wilayah serta kerja paksa. Tapi, apa kita sudah benar-benar merdeka?
Berbicara mengenai pahlawan tanpa tanda jasa, berprofesi sebagai seorang pengajar. Saat wawancara seleksi penerimaan guru, hal sensitif dan urgen yang ditanyakan selain latar belakang pendidikan, pengalaman dan komitmen kerja adalah gaji. Tidak hanya berpengaruh terhadap kinerja, gaji juga berdampak pada keikhlasan guru mendidik. Sebab, gaji yang rata-rata diterapkan di sekolah swasta maupun negeri saat ini masih jauh dari standardisasi Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK), kecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Banyak sarjana pendidikan "banting setir" melakoni pekerjaan selain guru lantaran gaji yang "tidak humanis". Tidak hanya yang berstatus Guru Tetap Yayasan (GTY), namun Guru Tidak Tetap (GTT) di sekolah negeri juga sama. #MerdekaTapi Mereka mendapatkan gaji "tidak layak" bahkan jauh di bawah kebutuhan hidup.
Banyak juga sarjana pendidikan bertahan menjadi GTT puluhan tahun karena beberapa hal. Mulai dari "mengejar status" agar tidak dicap "sarjana pengangguran", motivasi diangkat jadi PNS sampai orientasi mendapat sertifikasi. Gaji GTT di sejumlah daerah yang belum menerapkan UMK hanya sekitar Rp 500 ribu bahkan Rp 250 ribu per bulan. Uang sebesar itu jika digunakan membeli bensin dan pulsa saja kurang, apalagi untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan, tentu sangat kurang.
Tidak heran banyak GTT melakukan "kerja sampingan" demi menyambung kebutuhan hidup. Mereka rela dan tidak malu jualan pulsa, tiket, bisnis baju, makanan, hingga menjadi penjaga warnet. Dikarenakan mereka "nyambi" bisnis, maka pembelajaran di sekolah tidak fokus dan ujungnya pasti pada kualitas pendidikan.
Kondisi ini harus menjadi renungan bersama bahwa kualitas pendidikan Indonesia akan stagnan jika kondisi GTT tidak segera dibenahi. Sebab, gaji mereka tidak sebanding dengan tugas administratif, dan tugas utama sesuai Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005.
Jika dibandingkan dengan upah buruh pabrik sangat jauh rentangnya. Buruh pabrik yang kebanyakan lulusan SMP bahkan SD, digaji sesuai standar UMK, namun guru yang lulusan sarjana hanya digaji di bawah UMK. Padahal, tuntutannya lebih banyak guru dibandingkan dengan buruh.
Buruh pabrik bekerja hanya modal fisik. Guru selain modal fisik, juga pikiran, "jiwa" dan mental. Sebab, sedikit saja guru salah menstranfer ilmu, maka sama saja guru "menyesatkan" anak-anak didik. Namun, mengapa gaji mereka di bawah UMK?
Padahal tanpa GTT, kegiatan belajar mengajar di sekolah pasti kacau, apalagi jumlah PNS di sekolah semakin berkurang karena banyaknya guru pensiun dan adanya moratorium pengangkatan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satu profesi yang tidak "neko-neko" dan menuntut pemerintah adalah guru. Selain taat aturan, tidak ada guru "membangkang" aturan. Apalagi, ia menjadi anutan yang "digugu" dan "ditiru" bagi anak didik dan masyarakat. Dengan gaji yang "tidak humanis" itu, harus ada solusi dan terobosan baru agar nasib guru semakin baik.
Penetapan gaji sesuai UMK, baik untuk GTT maupun GTY. Sebab, banyak guru digaji dengan pola "jihad" dan "gaji malaikatan" alias ala kadarnya. Pola seperti ini membuat guru tidak interes dengan pekerjaannya. Padahal, kunci utama guru mendidik adalah "mencintai" pekerjaannya. Jika guru tidak cinta pekerjaannya, pembelajaran pasti setengah hati. Sistem pencairan gaji UMK harus per bulan. Sebab, jika rapel tiga bulan akan berdampak pada pengelolaan dan LPJ dana BOS. Para GTT juga kebingungan jika gajinya keluar tiga bulan sekali, karena tiap hari mereka juga butuh makan.
Pengangkatan GTT menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) harus diperjelas. Meski target pengangkatan berkala pada kurun 2016-2019, namun sampai saat ini juga masih dipertanyakan. Padahal, PPPK menjadi bagian dari ASN yang sudah diatur UU Nomor 51 tahun 2014.
Solusi terakhir adalah "menghapus" moratorium. Syaratnya, menyelenggarakan seleksi CPNS dengan mengutamakan GTT yang berpuluh-puluh tahun mengabdi. Sebab, selama ini perekrutan guru CPNS hanya sekitar 25-50 orang per kabupaten/kota. Artinya, rasio guru pensiun dengan yang diangkat PNS tak seimbang.
Guru harus digaji secara humanis, dan jangan kaitkan antara "gaji humanis" dengan "kesejahteraan". Pasalnya, kesejahteraan posisinya di atas gaji humanis. Tidak ada guru yang "menuntut kesejahteraan", yang ada guru ingin digaji humanis layaknya profesi lain. Adapun kesejahteraan itu hanya "bonus" ketika sudah sertifikasi.
#MerdekaTapi jika tidak digaji secara humanis, penulis yakin kondisi pendidikan akan tertinggal bahkan makin terbelakang. Sebab, hanya guru yang bisa– dan berada di garda terdepan dalam upaya– memajukan kualitas SDM dan majunya bangsa.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”