Menikah itu Bukan Prestasi

Saya sebagai seorang wanita berumur 23 tahun tentunya sangat tergelitik untuk mengomentari topik ini. Umur 23 tahun memang usia yang secara Undang Undang sudah diperbolehkan untuk menikah. Nggak sedikit teman saya yang melepas masa lajang pada umur ini; umur yang katanya perfect untuk menikah. Nggak sedikit juga teman saya yang sudah menikah, bahkan sebelum usia mereka menginjak 23 tahun. Dan nggak jarang juga pada setiap kondangan yang saya datang akan terselip pertanyaan laknat "Kapan nyusul?" dari beberapa teman.

Ingin rasanya sekali-sekali menjawab pertanyaan itu dengan jawaban "Nanti deh kalau kamu sudah cerai sama suamimu,", tapi kan katanya omongan itu doa. Jangan deh.

Dalam struktur sosial saya dan teman-teman, teman yang sudah menikah juga seakan memiliki status sosial yang lebih tinggi. Dianggap lebih mapan lah, dianggap lebih dewasa lah, dianggap tabungannya lebih banyak lah. Dan kami para kalangan yang belum nikah (dan belum punya calon buat diajak nikah) ini dipandang seperti kaum proletar kelas bawah yang selalu ditindas dengan jokesjokes 'khusus buat yang sudah berumah tangga' yang selalu bersliweran setiap kali nongkrong bareng.

Padahal menurut saya, menikah itu biasa saja.

Di Amerika Serikat saja, statistik bilang kalau lebih dari 500 orang menikah setiap harinya. Belum lagi di Indonesia Raya yang rakyatnya segambreng ini. Ini artinya, ketika kamu menikah hari ini tuh sekian ratus orang di luar sana juga sedang melakukan hal yang sama. Sekian ratus pasangan di luar sana juga mengikat janji suci di hadapan Tuhan dan melaksanakan resepsi dengan memberi makan gratis ke tamu-tamu undangan mereka, kok. Jadi, nggak ada yang spesial dengan hal itu.

Setiap weekend, salah satu gedung di kampus saya (yang saking seringnya dipakai kondangan sampai-sampai kampus saya dijuluki Universitas Gedung Manten) pasti ramai oleh para pengantin yang menggelar resepsi di situ. Setiap weekend pasti ada saja penganten yang menikah, kok. Jadi, kalau kamu menikah weekend nanti, minggu depannya juga bakalan ada orang lain lagi yang nikah kok. Jadi, nggak ada yang spesial dengan hal itu.

Meskipun kalau diajakin nikah sama pacar (yang sampai sekarang belum ketemu) kemungkinan besar saya juga bakalan iya-iya aja, tapi menurut saya itu bukan hal yang spesial. Menikah itu kan cuma melegalkan hubungan kita dengan pasangan, kan. Menikah itu cuma memberikan diri kita dan pasangan hak buat nginep sekamar bareng misal sedang liburan ke luar kota. Yah, walaupun dalam prakteknya pasti konsekuensinya lebih dari itu semua, tapi cukuplah bagi kita semua untuk sepakat bahwa menikah duluan dibandingkan teman-teman lain itu bukan hal yang perlu dibanggakan.

Lha memang nikah itu balapan, kok harus cepet-cepetan?

Walaupun menurut saya nikah itu bukan hal yang spesial, tapi saya ngerti kok kalo memutuskan buat menikah itu adalah sesuatu yang besar. Menikah itu punya segudang konsekuensi, baik dari segi fisik, mental, hingga sosial. Kehidupan setelah menikah itu pastinya akan sangat berbeda dengan kehidupan di masa lajang. Perubahan yang demikian besar juga pasti akan terjadi pada diri kita setelah menikah. Tapi pastinya, besar bukan berarti spesial, kan?

Menurut saya sendiri, masih banyak hal yang lebih pantas buat dianggap sebagai prestasi dibandingkan menikah. Mengambil gelar master, misalnya. Sebagai seseorang yang 'cuma' sarjana, mengambil studi strata 2 dan mempunyai gelar master menurut saya jauh lebih berharga dan bisa dipamerkan. Apalagi dengan kemudahan buat studi ke luar secara gratis oleh beasiswa yang lagi hits itu, siapa sih yang nggak ingin lanjut S2? Lagian, belum tentu juga kalau kita menikah nantinya kita dibolehkan suami untuk sekolah lagi, kan?

Jangan sampai para perempuan punya anggapan bahwa kita tidak perlu jadi perempuan yang pinter untuk menikah

Sebagai seorang individu, saya tentunya juga punya personal goal berisi hal-hal yang harus saya lakukan sebelum menikah. Kalo istilah kerennya sih, Bucket List. Saya masih pengen jalan-jalan ke Nepal, masih pengen belajar masak sama Mama saya, masih pengen belajar menahan emosi, masih pengen ikutan pendakian massal biar bisa kenalan sama mas-mas pecinta alam kampus sebelah, masih pengen nabung gaji buat beli lipstick mahal, dan masih banyak lagi. Masih banyak hal yang pengen saya persiapkan sebelum akhirnya nanti saya menikah.

Dan ngomong-ngomong tentang pernikahan ini sendiri,

menurut saya menikah itu harusnya bukan menjadi tujuan hidup

Sebagai seorang perempuan, saya terbiasa dengan paradigma sosial yang beranggapan bahwa perempuan itu cuma pabrik bayi; yang habis nikah kerjaannya cuma di rumah dan ngurus anak. Banyak juga anggapan yang bilang kalau perempuan itu hidup ya cuma buat menikah dan melayani suami serta keluarga. Tapi tentu, saya nggak setuju sama anggapan itu.

Para perempuan di luar sana seharusnya tidak menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup mereka, karena yang namanya tujuan itu kalau sudah tercapai yaudah; nggak ada lagi yang perlu dilakukan. Padahal, setelah menikah tantangan hidup justru akan semakin banyak

Dalam agama, memang menikah itu dilihat sebagai hal yang mulia. Bahkan dalam suatu agama, menikah itu dianggap sebagai sebagian dari iman. Tapi tentu, banyak kualitas lain yang bisa kita capai juga kan sebagai seorang individu? Menikah bukan satu-satunya label yang harus kita capai kok, sebagai seorang manusia.

Sebagai makhluk sosial, urusan kita tidak berhenti di menikah saja. Karena kita bukan hewan ternak, yang lahir cuma buat kawin dan bertelor.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sarjana Ilmu Politik yang lebih suka bikinin kamu kue dan sarapan tiap pagi daripada harus baca buku World Politics.

5 Comments

  1. Tan Riani berkata:

    Mbak Rizqie Aulia, mantap banget tulisannya. Saya akui kalau tulisan itu memang benar. Benar-benar fakta. (Ya, klo bilang benar ntar saya di bully lagi sama yang baru married).

    Menikah itu benar-benar bukan kayak juara panjat pinang.
    Justru gak hati” nikah itu bisa jadi neraka.

    Apalagi klo misalnya kayak model saya yamg gk gitu jago urusan rumah tangga.

    Pertama saya santai” aja. Hidup saya oke” aja.
    Tapi pas udah dapat pacar yg serius, belum juga dianya ngajak nikah.
    Mamanya yang udh duluan nanya bisa masak apa gak.
    Boro” bahagia, frustasi pula.

    Saya akui si ya, saya pasti mau la nikah. Siapa yg gak mau pake gaun cantik plus sama org yg disayangi?

    Tapi kayaknya bahagia cuma di detik itu aja. Sisanya kebahagian kita mungkin cuma ngandalin faktor” diluar kuasa (tepatnya keinginan) kita : suamimu, keluarga suamimu, mandul gaknya kita, bisa gak beres” rumh plus masak.

    Karena saya berasal dari etnis yang paternalisme nya lebih kuat dari maternalisnya.

    Kayakny cinta n ketulusan kita udah gak masuk hitungan.
    Sori, ini akibat frustasi.

  2. Vanessa Putri berkata:

    Promo Stasiun Poker
    – Bonus 10% New Member
    – Bonus 5% Setiap Deposit
    – Bonus turnover bulanan 0.3%
    – Bonus Referral 10%
    Untuk Pendaftaran dan Deposit anda juga akan bisa di bantu dengan debbylie (5C3F88ED)

  3. Tryana Nuryanti berkata:

    ajigileeee.. tosss ah sesama umur 23, hahahahaaa..

  4. Rizqie Aulia berkata:

    Hai Mbak Tan Riani, maaf untuk reply yang sangat-sangat telat.
    Yup, menurut saya anggapan bahwa pernikahan itu adalah garis finish dari kehidupan seorang perempuan harus dibuang jauh-jauh. Ibarat anak sekolah yang akan naik kelas, menikah itu ibaratnya ujian kenaikan kelas yang akan menguji kita; apakah kita mampu untuk menuju level berikutnya atau tidak.
    Sebagai perempuan pun, terlepas dari bagaimana struktur sosial dan adat istiadat, tidak ada salahnya untuk memantaskan diri sebaik-baiknya sebelum menikah. Memperbanyak pengetahuan tentang berbagai hal, memperkaya pengalaman hidup, dsb.
    Dan jangan lupa, jodoh itu perlu diusahakan. Bukan ditunggu.

  5. Silvano Rikiputra Baru II berkata:

    kalau aku nggak akan pusing cari pasangan dan gak perlu menikah dan sudah janji pada tekad ku utk tidak menikah karena memang pada dasarnya aku memang tidak ingin menikah seumur hidup dan sudah janji utk lebih memilih jadi jomblo abadi yang sukses dan berhasil dan hidup sebebas bebasnya sampai Tuhan panggil aku