Mengapa Kita Harus Berhenti Menghakimi Orang Lain

Saya terinspirasi menulis artikel ini saat saya masih ingat reaksi saya membaca berita sekitar 3 bulan yang lalu mengenai Taylor Swift – Tom Hiddleston. Buat saya, kabar ini sangat menghebohkan karena Taylor Swift sendiri baru putus dengan Calvin Harris sekitar 2 minggu yang lalu dan hanya dalam jangka waktu sekitar 2 minggu, Taylor Swift ternyata sudah dekat dengan pria lain yang tak diduga oleh siapapun, Tom Hiddleston.

Tentunya kabar ini sangat menghebohkan banyak orang karena siapa yang akan menyangka Taylor dan Tom akan jadian? Banyak khalayak yang langsung menuduh Taylor sebagai wanita yang kurang baik karena dia bisa begitu “mudahnya” memiliki kekasih baru seakan-akan hubungannya dengan Calvin tidak ada artinya.Sepertinya saya semakin lama bisa menjadi reporter gossip bila saya terus bercerita mengenai Taylor – Tom, jadi mari kita sudahi saya mengenai gossip ini. Intinya adalah saya sendiri juga menghakimi Taylor dan sempat menyebut dia sebagai wanita yang kurang baik. Setelah dipikir-pikir, saya tertawa karena bisa-bisanya saya terpengaruh oleh media yang belum tentu benar pemberitaannya. Betapa mudahnya bagi saya untuk langsung menuduh Taylor sebagai pihak yang bersalah sedangkan saya sendiri tidak mengenal Taylor secara pribadi dan saya pun tidak mengetahui kebenaran sesungguhnya.

Post kali ini tidak saya tulis hanya untuk menceritakan mengenai Taylor Swift. Dia hanyalah contoh dari kebiasaan saya yang mudah menghakimi orang lain. Tidak perlu artis, bahkan bisa aja saya menghakimi teman, keluarga, dan orang yang saya tidak kenal. Saya bisa begitu mudahnya menganggap bahwa ada yang bodoh, pintar, kurang beretika, kurang sopan, dll karena saya melihat hal-hal yang mereka lakukan dari pandangan saya sendiri. Padahal, perspektif mereka bisa saja meihat hal yang mereka lakukan sebagai hal yang berbeda.

Bukan berarti saya membenarkan saat mereka melakukan sesuatu yang illegal seperti mencuri atau berbohong, tetapi bila kita hanya menghakimi seseorang tanpa mengetahui cerita di balik tindakan mereka, bukankah kita berlaku tidak adil terhadap mereka? Bagaimana bila kita menjadi pihak yang dituduh oleh orang lain sebagai orang yang kurang baik, sebagai orang yang jahat, oleh orang lain atau bahkan banyak orang di sekitar kita, tanpa mereka mau mengerti siapa kita dan alasan kita untuk melakukan sesuatu?

Terkadang saya melihat kecenderungan ini didasarkan dari kepercayaan, budaya, nilai-nilai yang kita anut dan juga lingkungan yang kita tempati. Tidak salah memiliki sebuah kepercayaan atau sebuah budaya, budaya dan kepercayaan tersebut memang memberi kan kita identitas mengenai siapa kita dan membuat kita merasa lebih mengenal dunia seperti kita. Sebagai warga negara Indonesia, memang kita harus memegang erat nilai-nilai yang diajarkan oleh nenek moyang kita seperti gotong royong, ramah tamah, dll. Tetapi, ketika kita menjadi seorang yang fanatis terhadap kepercayaan kita, maka kita akan menjadi orang paling tidak beruntung sedunia.

Mengapa? Karena kepercayaan kita mungkin benar untuk kita, tetapi kita bukanlah satu-satunya orang yang tinggal di Indonesia. Kita tinggal bersama 250 juta orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Tidak mungkin kita selalu memliki pemikiran yang sama dengan 250 juta orang yang lain. Kalau kita tidak bisa menerima fakta bahwa setiap orang memiliki kepercayan dan kebudayaan masing-masing, bisa terbayang betapa sulitnya bagi kita untuk hidup berdamai dengan orang-orang di sekitar kita.

Lagipula, kita hanyalah manusia biasa. Saya tidak akan menasehati Anda panjang lebar untuk tidak menghakimi orang lain dengan saya merasa bahwa saya sudah bebas dari kebiasaan menghakimi sesama. Terkadang saya merasa bahwa saya adalah orang yang sangat pintar dan saya sudah memiliki semua pengetahuan yang saya rasa cukup untuk bisa menilai orang lain tetapi saya salah. Saya tidak memiliki terlalu banyak pengetahuan dan saya belum pernah ke setiap negeri di bumi ini sehingga saya pun tidak selalu tahu bagaimana kebudayaan orang lain yang tinggal di negara lain.

Menurut saya, adalah sebuah kebodohan saat kita merasa kita paling pintar dan apa yang kita percayai adalah satu-satunya kebenaran di dunia ini sehingga kita bisa seenaknya menghakimi orang lain dan selalu mengatakan bahwa kita lebih tinggi daripada mereka. Kita bukanlah Tuhan yang memiliki pengetahuan tidak terbatas, kita hanyalah manusia yang fana yang memiliki pengetahuan yang terbatas. Hanyalah Tuhan yang mampu menghakimi ciptaanNya dan kita sama sekali tidak punya hak menghakimi siapapun, walaupun mungkin kita memiliki pengetahuan yang lebih banyak daripada orang tersebut.

Untuk menutup refleksi ini, saya hanya berpikir bahwa di zaman dimana hidup sudah semakin sulit, kenapa sih kita membuat hidup kita lebih sulit dengan menjadi hakim bagi sesama kita? Kenapa kita tidak bisa belajar dari setiap orang yang kita temui untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik? Lagipula, apakah ada untung bagi kita saat kita menghakimi seseorang? Saya mau mengejek Taylor Swift sampai saya puas pun tidak akan memberi hasil apa-apa bagi saya. Taylor akan tetap kaya, cantik dan sukses sedangkan saya akan menjadi orang yang negatif karena saya senantiasa hanya melihat kejelekkan orang untuk bisa menaikkan harga diri saya.

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Saat kita merendahkan orang lain untuk meninggikan diri sendiri, saya merasa bahwa kita patut sadar bahwa kita tidak membuat diri kita lebih baik, kita hanya melakukannya untuk mencoba kabur dari fakta bahwa kita lah yang sebenarnya tidak memliki hidup yang lebih baik daripada orang tersebut. Marilah kita berhenti menjadi cermin bagi orang lain sedangkan kita sendiri enggan untuk bercermin. Perlu bagi kita untuk senantiasa bercermin diri, bukan untuk menjadi rendah diri, tetapi untuk menjadi rendah hati.

Saat kita mampu untuk bisa jujur dan rendah hati terhadap diri sendiri, hidup akan terasa lebih tenang dan damai karena saingan kita hanyalah diri kita sendiri, bukanlah orang lain.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An introvert who enjoys her solitude as a time to contemplate about the meaning of our existence in this world. People's thoughts and behaviours intrigued her a lot and have often time become the source of her writings. Writing for her is therapeutical as it helps her to make more sense of this complicated world around her.

6 Comments

  1. Keke Effendi berkata:

    Hai Mas Fendy, maaf saya baru baca komentarnya, terimakasih untuk feedback nya.